Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

SUKANTO TANOTO: Kita Bisa Seperti China, Apa Kurang Kita?

Royal Golden Eagle telah berkembang menjadi perusahaan raksasa yang memproduksi berbagai produk buatan Indonesia dengan merambah pasar di lebih dari 75 negara.
Sukanto Tanoto
Sukanto Tanoto

Bisnis.com, JAKARTA - Royal Golden Eagle telah berkembang menjadi perusahaan raksasa yang memproduksi berbagai produk buatan Indonesia dengan merambah pasar di lebih dari 75 negara.

Bagaimana kiat dan lika-liku Sukanto Tanoto, sang founder Grup Raja Garuda Emas menjadikannya sebagai salah satu bisnis pengolah sumber daya terintegrasi terbesar di Asia Pasifik. Bisnis Indonesia mewawancarai Chairman yang juga merupakan salah satu orang terkaya di Tanah Air ini baru-baru ini. Berikut petikannya:

Bisa diceritakan perjalanan Anda merintis bisnis hingga bisa berkembang menjadi kelompok usaha yang besar seperti sekarang?

Bisnis ini sudah 48 tahun dimulai pada 1967.  Saya memulainya sebagai pengusaha kecil, hanya dengan tiga orang pegawai. Modalnya saat itu sekitar Rp3 juta atau Rp4 juta. Itu tahun 1967. Pada 1966 sekolah saya tutup karena peristiwa G-30S tahun 1965. Lalu saya membantu orang tua yang buka usaha di Medan.

Awalnya saya lahir di Belawan terus ke Medan. Nah dari sana membuka toko. Itupun tidak bisa beli. Jadinya sewa saja di bagian bawahnya. Tidurnya di belakang toko. Jualan di sana. Lalu usaha leveransir [memasok peralatan dan kebutuhan bagi perusahaan] Pertamina di Pangkalan Brandan lalu jadilah kontraktor.

Lumayan-lah [saat itu booming minyak] saya pikir-pikir ini customer cuma satu [Pertamina], saya harus menambah pelanggan dan diversifikasi usaha agar berkembang.

Waktu itu semua orang ramai ekspor kayu gelondongan, kalau dapat izin HPH, cut a tree satu kapal US$1 juta dan saya lihat kayunya diekspor ke Singapura, Taiwan dan Korea Selatan [untuk diolah menjadi kayu lapis/plywood]. Kemudian Indonesia beli plywood lagi [karena belum ada pabrik pengolahan kayu]. Ini bisnis bagus. Saya pikir ngapain beli lagi, bodoh dong.

Lalu saya berpikir untuk membangun pabrik. Pemerintah juga appreciate, namun memang minta izinnya tidak gampang. Saya sampai kenal Pak Yusuf, Menteri Perindustrian saat itu. Saya sampaikan, semua orang ekspor kayu gelondongan, tetapi saya mau bangun pabrik plywood. Ditanya kapan selesai? Saya bilang 18 bulan selesai, lalu diminta lapor kalau sudah selesai. Itu 1973. Target selesai 18 bulan tapi 14 bulan sudah selesai dan pada 1975 saya lapor ke Pak Menteri Yusuf dan langsung disampaikan ke Presiden Soeharto untuk meresmikan.

Sekarang daerahnya aman, di perbatasan Aceh.  Dulu kan ada Gerakan Aceh Merdeka [GAM] di sana, tapi Pak Menteri bilang kalau soal keamanan itu urusan negara.

Nah, ini pabrik kalau dikembangkan sekian juta kubik yang diproduksi bisa menyerap tenaga kerja ribuan orang. Kemudian bisnisnya [pabrik olahan kayu] lumayan berkembang hingga ada asosiasi Apkindo.

Setelah itu mulailah diversifikasi usaha, saya melihat potensi kebun [sawit]. Dulu swasta mana mau buka kebun [karena panennya lama]. Ini kan [Sumatra] dekat Malaysia. Di sana besar-besaran buka kebun. Lalu saya hitung-hitung ini Indonesia penduduk 10 kali lebih banyak dari Malaysia, [tetapi tidak ada yang mau buka perkebunan sawit]. Padahal Itu kan untuk bahan pangan, minyak goreng.

Saya bikin komparasi dan akhirnya saya bikin sawit. Kalau melihat tipe kerja di sektor perdagangan dan kerja industri ternyata kerja di sektor perkebunan ini lain lagi.

Kerja di kebun itu nafasnya harus panjang. Karena tanam sawit panen bisa tiga tahun paling sedikit dua tahun buah pasir jadi bisa lima tahun, harus pandai kelola cashflow-nya.

Bagaimana kondisi pasar pada saat itu? Apa pertimbangannya?

Kalau buat sesuatu itu harus serius. Kalau tidak mengerti tanya. Jangan malu bertanya. Kemudian harus lihat juga daya saing, kekuatan, dan kelemahannya apa saja. Jangan hanya asal maju saja, terus karena lihat orang untung, lalu kita mau urus izin juga.

Sepanjang merintis bisnis, keputusan apa yang Anda nilai paling sulit untuk diambil?

Waktu krisis 1998. Saat itu separuh mesin-mesin di sini [Pelelawan, Riau] berantakan. Mana ada jalan diaspal? Semua jalan masih tanah. Lalu saya cari pinjaman modal. Saya kira waktu itu mau pinjam US$2 miliar dengan komposisi sepertiga bank dalam negeri, sepertiga bank ekspor kredit dan sepertiganya bank komersial di Singapura.

Begitu datang yang asing ternyata waktu krisis itu semua negara kaya tidak mau kasih duit. Bank lokal karena mengerti, dia mau menolong akhirnya kasih duit. Bank asing semua juga tahu mana mau mereka kasih duit.

Saat barang [mesin] sudah sampai sini, lalu saya ke New York Capital Market. Ada duit US$600 juta. Pinjam lagi US$1,4 miliar baru cair. Dapat US$300 juta-US$400 juta. Masih enggak selesai. Kurang US$1 miliar. Bangunan mesin terbengkalai. Bank lokal sudah tidak punya dolar sudah bangkrut semua.

Nah akhirnya mikir. Ada aset pabrik kertas di China yang kongsi dengan Amerika, terus akhirnya saya ambil keputusan sulit itu. Saya jual. Aset di sana [China] terkumpul lalu saya bawa US$1 miliar [ke Riau]. Itu [keputusan] sulit, karena saya harus ambil pilihan itu.

Saat itu, kondisinya mesin di sini kalau belum selesai semua habis. Mau cashflow dari mana kalau mesin belum dipasang. Sesudah pasang, baru bisa hasilkan pulp dan kertas. Waktu itu saya khawatir bagaimana dengan krisis ini. Kapan selesainya.

Apakah Anda pernah menyesali keputusan yang Anda ambil?

Menyesali kesalahan selalu lah. Itu menjadi pelajaran untuk tidak terulang lagi. Salah kecil. Salah besar. Selalu ada. Jangan buat kesalahan fatal sampai akhirnya tidak bisa kembali [berusaha lagi].

Lalu apa yang menjadi keputusan monumental bagi Anda?

Saat menjual aset yang di China. Saya bawa duit itu kemari pada 1999—2000. Waktu itu siapa mengira Indonesia bisa kembali seperti ini.
Sejak 1991 kondisi Indonesia bisa aman. Policy, situasi waktu itu dan politik demokrasi. Coba lihat negara-negara lain seperti Mesir berapa lama? Filipina, Marcos pada 1986 turun dan sejak 1990-an belum apa-apa sampai sekarang lumayan baik. Namun mau kemana negaranya kan belum tahu.

Dalam bisnis selalu ada kompetisi. Bagaimana Anda mempersepsikan pesaing?

[Analoginya] pesaing itu ada dua jenis, yaitu sprinter dan boxer. Kalau pesaing untuk sprinter lari  dengan jarak 100 meter sampai 200 meter. Itu lari di track tidak bisa saya dorong sampai dia jatuh.

Ada juga pesaing yang harus boxing di ring. Strateginya berbeda. Bagaimana membuat lawan sampai jatuh, kalau saya mau jadi champion. Lawan harus di-tonjokin dulu kan ha-ha-ha. Ada orang yang kompetisinya dengan boxing, ada pula yang sprinter mana lebih fair? Itu kan tergantung pada orangnya. Sama-sama champion kan? Logikanya begitu.

Lalu bagaimana Anda mempersepsikan customer?

Pelanggan itu yang kasih duit. Raja. Kita [mungkin] bisa bohongi sekali, tapi kalau kita ketahuan mana mau [mereka] kembali lagi. Kita harus jujur. Kalau barang mutunya A ya sebut A. Kalau mutunya B ya sebut B. Harga ya harus bersaing. Soal harga, customer selalu perbandingkan satu sama lain tapi begitu ya.

Kemudian service kepada customer harus bagus. Misalnya; “Pak saya perlu besok, ya kami antar. Dunia itu simple yang penting ‘keep it simple smart’. Dibuat mudah, jangan persulit.

SUKANTO TANOTO: Kita Bisa Seperti China, Apa Kurang Kita?

Boleh dijelaskan kiat Anda mengelola karyawan hingga banyak seperti sekarang?

Tidak mungkin satu orang mengerjakan semua. Jadi harus ada orang yang bantu kami. Mulanya tiga orang, akhirnya 500 kemudian 2.000 akhirnya ada macam-macam bisnis. Mata rantainya juga ada. Cari orang tepat berikan tanggung jawab dan support dia. Bentuk itulah organisasi yang tepat, kan semua orang ada keahliannya [masing-masing]. Ada yang suka ngomong tapi kurang detil. Ada juga akuntan yang ‘tukang ngomong’. Kalau orang pinjam duit, akuntan tidak bisa ngomong ya celaka-lah ha-ha-ha.

Bagaimana cara Anda memperlakukan karyawan ‘nakal’?

Itu ada prosesnya. Pertama beritahu, kasih tahu ini salah, lalu kasih feedback. Sekali, dua kali, kalau sudah berat, tiga kali ya keluarkan. Tapi ya itu kasih peringatan, bimbingan dan kesempatan dulu-lah.

Siapa orang yang paling berperan bagi Anda?

Saya ini perantau. Mulai dari Medan. Pemain daerah terus masuk Jakarta jadi pemain nasional. Terus ke luar negeri menjadi pemain regional, China dan sekarang ya ke Kanada sudah jadi pemain internasional. Tiap perubahan situasi dan kondisi itu ada panutan dan idolanya. Misalnya waktu di Medan dulu ada orang yang membantu sukses. Terus waktu di Jakarta itu, Om Liem orang kuat dan dekat dengan Pak Harto pernah jadi idola. Juga ada Ciputra. Akhirnya kami kerja sama. Jadi idola juga ha-ha-ha.

Leader itu Lee Kuan Yew. Sebab, dia membuat hal yang mustahil sampai bisa terealisasi. Singapura dari tidak apa-apa sampai kini bisa jadi negara paling kaya. Sekarang kan banyak negara punya pemimpin besar tapi saat pemimpin itu lengser tidak ada yang melanjutkan. Tidak ada regenerasi baik regenerasi kader maupun organisasi. Itu yang harus dicontoh.

Bagaimana membagi waktu untuk menikmati hidup dan juga keluarga? Anda masih fit di usia saat ini, apa rahasianya?

Pada saat awal-awal usaha, [saya] habiskan waktu memang untuk bisnis. Saya beruntung punya nyonya yang baik dan menjaga anak. Kalau sekarang sudah banyak organisasi besar dan profesional yang mampu bekerja, maka mulai balance antara keluarga dan pekerjaan.

Dulu hari Sabtu dan Minggu pasti ngantor. Minggu kerja, bawa bahan pulang, dan terakhir Sabtu setengah hari dan Minggu libur. Saya ini 66 tahun loh. Saya suka jalan kaki untuk menjaga kebugaran.

Anda suka seni?

Itu bagus. Makin berumur itu mulailah menyukai seni. Saya juga senang sejarah.

Apa harapan Anda terhadap pemerintah saat ini?

Kasih waktu. All things get done. Memang butuh waktu. Apalagi bursa, market itu misalnya beli saham dua bulan lagi naik, ada naik, ada turun kalau turun itu waktunya investasi.

Anda begitu optimistis dengan kondisi sekarang?

Ini buktinya. Sekarang kami action [APRIL Group baru saja merealisasikan investasi Rp4 triliun untuk membangun pabrik kertas baru pada semester I 2015). Selama ini kami investasi saat krisis dengan alokasi lebih besar.  Kami juga investasi di kebun. Kami buat biogas plant. Barang buangan itu kami buat gas dan dibuat menjadi listrik dengan kapasitas 2 MW—3 MW dan dijual ke kampung sekitar. Sama seperti program listrik masuk desa.

Sebagai entrepreneur, apa pesan Anda untuk dunia usaha kita?

We have a hope. Don’t give up. Go for it. Ini negara besar. Potensi masih besar. China sekarang US$10 triliun. Kalau dilihat di Asean, Indonesia kan paling besar US$880 miliar. Penduduk kita seperlimanya China. Dia punya penduduk 1,3 miliar, sedangkan Indonesia 240 juta lebih penduduknya.

Kondisi kita masih US$880 miliar. Kalau bisa, kita melalui kondisi apa yang China alami dalam 20-30 tahun ini maka Indonesia bakal mencapai US$2,5 triliun. Itu artinya tiga kali dari sekarang. Kita bisa mencapai itu, apa kurang kita? Resources ada. Penduduk banyak yang berusia muda. Market-nya ada.

Jadi memang ini kan pemerintah sekarang lagi adjustment. Saat 10 tahun lalu, SBY [Susilo Bambang Yudhoyono] kan punya gaya. Sekarang [Presiden Jokowi) ini gayanya lain. Kalau dulu itu tiga pilar ekonomi, ekspor, konsumsi dalam negeri dan infrastruktur. Sekarang ekspor menurun, terus konsumsi dalam negeri tidak memungkinkan dan betul-betul pilar ketiga infrastructure investment itu ada private sector dan public investment itu kan baru sekarang selesai.

Pak Menkeu bilang APBN masih ada di bank beberapa ribu triliun rupiah. Itu kalau semua rilis, ekonomi akan jalan. APBN banyak masalah karena sekarang ada prosesnya dan banking system. Habis krisis, duit baru bisa masuk. Sekarang kredit bank hati-hati, kan salah satu sumber dana juga. Ada Amerika tidak cetak, ambil lagi supaya dolarnya masuk lagi, terus dolar yang jadi konsumsi negara itu ditarik lagi tapi tidaklah soal ini sampai menjadi the end of the world. []

Biodata

Nama

Sukanto Tanoto

Tempat/Tgl Lahir

Belawan, 25 Desember 1949

Hobi

Mendengar Musik Klasik

 

 

Pendidikan

Wharton Fellows Program

2001

Harvard Business School, AS

1982

Indonesia Executive Management Program, Insead, Prancis

1980

Perjalanan Karier

Chairman & CEO Raja Garuda Mas International

sekarang

Komisaris Utama PT Inti Indorayon Utama

1983 – sekarang

Dirut PT Saudara Sejati Luhur

1985

Dirut PT Inti Indosawit Sejati

1980

Dirut PT Gunung Melayu

1980

Dirut PT Overseas Lumber Indonesia Medan

1979

Dirut PT Bina Sarana Papan di Medan

1976

Direktur Utama PT Raja Garuda Mas

1973

Direktur CV Karya Pelita di Medan

1972

Pengusaha Toko Onderdil Mobil di Medan

1968

 

 

Keanggotaan Organisasi

Young Presiden’s Organization (YPO)

Mercantile Club

Hilton Executive Club

Indonesia Financial Executive Association (IFEA)

Canadian Pulp & Paper Association (CPPA)

World Presidents Organization (WPO)

Chief Executive Organization

Prince of Wales Business Leaders Forum

 

Pewawancara: Lahyanto Nadie/A. Dadan Muhanda/Arif Gunawan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Lahyanto Nadie
Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper