Bisnis.com, JAKARTA – Tak dapat dipungkiri pandemi Covid-19 memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan hampir semua manusia di seluruh dunia, tak terkecuali di Tanah Air.
Pergerakan manusia dibatasi agar penyebaran virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China, itu tidak meluas. Sebagian besar aktivitas manusia juga harus terhenti atau dilakukan dari rumah masing-masing.
Dampaknya, sebagian sektor usaha terpuruk akibat pandemi ini, akan tetapi sebagian orang justru malah berhasil menemukan peluang usaha yang prospektif.
Tentunya, peluang yang dimaksud bukanlah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan seperti menimbun masker atau cairan pembersih tangan (hand sanitizer) untuk kemudian dijual dengan harga tinggi.
Salah satu peluang usaha yang dimaksud adalah usaha makanan olahan siap saji. Satu dari sekian banyak orang yang berhasil menemukan peluang usaha di tengah kondisi yang sulit adalah Fachry Dwiprihanto.
Dia yang berhasil menemukan peluang usaha baru lewat produk sambal cumi-cumi siap saji dalam toples.
Sambal cumi-cumi siap saji berlabel “MICUMI Sambal Baby Cumi” itu dia produksi dari dapur rumahnya di Malang, Jawa Timur. Dia dibantu oleh seorang rekannya seorang mahasiswi jurusan Tata Boga di Universitas Negeri Malang (UM).
Adapun, untuk pemasarannya selain dari mulut ke mulut, dia juga mengandalkan sosial media dan platform dagang el, Shopee.
Awalnya tak pernah terbesit di benak Fachry untuk berbisnis kuliner seperti saat ini. Namun, pandemi Covid-19 mengubah segalanya.
Pendapatan dari bisnis biro wisata yang dia kelola bersama sejumlah rekannya di Surabaya tak lagi bisa diandalkan. Satu-satunya jalan agar dapur tetap ngebul tentunya dengan banting setir ke sektor usaha lain yang tak terlalu terpengaruh.
“Mulai awal Maret kemarin coba jualan sambal baby cumi. Pokoknya sekarang gimana caranya bisa cari uang yang halal sajalah,” katanya kepada Bisnis belum lama ini.
Layaknya produk rumahan pada umumnya, produk sambal cumi siap saji Fachry tak menggunakan bahan pengawet. Oleh karena itu, daya tahannya juga tak selama produk serupa yang dijual di beberapa pasar swalayan.
“Kira-kira satu bulan jika disimpan di freezer, kalau mau dimakan tinggal hangatkan saja,” ujarnya.
Untuk menyiasatinya, Fachry tidak menyimpan produknya dalam jumlah banyak. Dia memilih untuk memasak sekali dalam sepekan atau ketika menerima pesanan dalam jumlah besar.
Biasanya, setiap kali memasak dia bisa memproduksi 10 toples yang per toplesnya dihargai Rp35.000. Adapun, sampai saat ini Fachry berhasil menjual lebih dari ratusan toples yang pembelinya tidak hanya datang dari dalam Kota Malang saja.
“Ada pesanan dari Blitar, Surabaya, Bekasi, Cikarang, teman dari Jakarta juga pesan,” paparnya.
Fachry menyebut pesanan terus mengalir sejak bulan Ramadan. Tak dapat dipungkiri produk makanan olahan siap saji,tak terkecuali sambal banyak dicari lantaran praktis untuk berbuka puasa maupun sahur.
Terlebih sudah banyak kota-kota besar yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) disertai dengan jam malam. Alhasil, ruang gerak untuk sekadar mencari makanann untuk berbuka puasa atau sahur makin terbatas.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan perubahan pola konsumsi masyarakat untuk menjaga stok bahan makanan di rumah akan berkorelasi dengan kebutuhan makanan olahan (pre-cook) seperti makanan siap saji dan makanan beku (frozen food).
Dia memprediksi bahwa selain makanan olahan, minuman seduh juga akan mengalami peningkatan permintaan.
“Yang paling penting untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) perlu mulai terjun ke platform marketplace digital. Hal ini akan meningkatkan penjualan dan memudahkan promosi,” katanya pada Jumat (1/5/2020).
Laporan berjudul ‘Consumer Behavior New Normal After Covid-19, The Predictions’ yang dikutip oleh Bisnis menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 membuat banyak orang berdiam diri di rumah sehingga toko daring menjadi pilihan untuk berbelanja.
Pembelian konsumen pun mulai bergeser dari produk-produk yang sifatnya keinginan menjadi produk-produk yang sifatnya kebutuhan. Permintaan tertinggi pada umumnya ada di produk-produk sehari-hari, groceries, dan produk kesehatan seperti vitamin dan pencegahan penyakit.
Situasi pembatasan sosial menyebabkan masyarakat terutama kaum milenial terbiasa membeli makanan dalam bentuk beku atau siap masak karena lebih mudah dan efisien dalam hal penyajian.
“Milenial lebih suka memasak yang simple dan convenient di mana frozen food akan menjadi pilihan,” tulis laporan tersebut.