Bisnis.com, JAKARTA - Suryo Pratomo bercerita tentang kesibukan akhir pekan lalu, 28—29 November 2020. Dia mengundang tamu penting malam itu, sejumlah konglomerat Indonesia yang sementara terpaksa tinggal di Singapura karena pandemi Covid-19.
Tommy, panggilan akrab Suryo Pratomo yang kini menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Singapura, sengaja mengundang para pengusaha kawakan tersebut makan malam di Rumah Kedutaan Indonesia, Jalan Chatsworth No. 3, Singapura. Pertemuan sangat spesial, sekaligus perkenalan dirinya yang baru 1 bulan bertugas.
Sebenarnya, Tommy telah dilantik sebagai duta besar oleh Presiden Joko Widodo sejak 15 September 2020. Namun, dia baru benar-benar bertugas dan berada di Singapura satu setengah bulan setelahnya, 30 Oktober dan harus menjalani karantina selama 14 hari dengan pengawasan sangat ketat dari pemerintah setempat.
Saya bertanya mengapa harus dibuat dua sesi makan malam?
Suryopratomo
Itu semata-mata untuk membatasi jumlah peserta agar tidak menimbulkan kerumunan. Kendati kasus baru di Singapura sudah sangat kecil, bahkan pernah 14 hari dengan nol kasus, tetapi kehidupan telah berubah. Negara kota ini sangat ketat dalam menjalankan protokol kesehatan.
Baca Juga
Anda pasti ingat, Singapura adalah negeri penuh aturan dan dijalankan dengan ketat dan disiplin. Beberapa pekan lalu, sempat viral video seorang perempuan pengunjung sebuah pusat perbelanjaan ditangkap petugas keamanan gara-gara ngeyel tak mau pakai masker.
Pada Sabtu malam, sejumlah tetamu datang. Saya sempat melihat daftar yang hadir, antara lain pengusaha Prajogo Pangestu, Franky Widjaja, dan Aguan.
Prajogo adalah pemilik Grup Barito yang juga mengendalikan raksasa petrokimia PT Chandra Asri Petrochemical Tbk.
Franky Widjaja tak lain adalah salah satu pewaris Kelompok Usaha Sinarmas, konglomerasi terkaya kedua di Indonesia setelah Grup Djarum. Adapun, Aguan alias Sugianto Kusuma seorang pengusaha properti kawakan pemilik Agung Sedayu Group.
Pada Minggu malam, konglomerat yang hadir tak kalah ternama. Mereka antara lain Mochtar Riady, pendiri Kelompok Usaha Lippo yang sejak pandemi Covid-19 merebak belum kembali ke wilayah Indonesia.
Mochtar Riady
Ini saya ketahui dari sejumlah postingan Instagram John Riady, cucu Mochtar yang kini dipercaya menakhodai kapal besar usaha Grup Lippo.
Selain itu, hadir orang terkaya di Indonesia Budi Hartono, pemilik Grup Djarum yang juga memiliki mayoritas saham PT Bank Central Asia Tbk. Robert adalah orang paling tajir di Indonesia versi majalah Forbes lebih dari satu dekade terakhir.
Selain itu, juga tampak Eddy Katuari, pemilik Wings Group yang belakangan sangat ekspansif dalam mengembangkan bisnis mi instan melalui merek Mi Sedaap, pesaing sepadan Indomie besutan Indofood.
Hendro Gondokusumo, pemilik Grup Intiland, juga menjadi salah satu tamu.
"
Upaya mengubah perilaku masyarakat agar disiplin dan patuh menjalankan protokol kesehatan ternyata sangat sulit."
Sudah menjadi rahasia umum, Singapura adalah tempat singgah utama para konglomerat di Indonesia, bila tak boleh disebut Tanah Air kedua. Mereka ini tak sebatas pengusaha keturunan Tionghoa, tetapi juga konglomerat pribumi, seperti Garibaldi ‘Boy’ Thohir ataupun Chairul Tanjung.
Bahkan, di negeri Singa inilah sebagian bisnis para konglomerat dikendalikan. Selama pandemi, taipan itu diketahui tinggal di sana.
Tommy menuturkan, pertemuan dua malam itu tentu saja banyak membahas kondisi terkini terkait dengan pandemi Covid-19 yang masih melanda Tanah Air.
Inti dari semua diskusi, kita kira begini, kegiatan bisnis akan benar-benar bisa kembali ketika dunia sudah bisa mengatasi penularan virus dengan baik.
Para tetamu juga sepakat, prioritas utama sekarang adalah mengendalikan kasus. Semua usaha menggerakkan perekonomian melalui berbagai stimulus akan berakhir sia-sia jika penularan masih terjadi.
Pemerintah Singapura misalnya, telah memproyeksikan kegiatan ekonomi baru akan berputar penuh pada 2022.
Padahal, Singapura praktis telah mengendalikan kasus dengan tingkat penularan harian yang bisa dihitung dengan jari.
Namun, itu bukan jaminan ekonomi berputar normal karena kegiatan bisnis sangat bergantung pada negara lain yang masih berjibaku melawan Covid-19, termasuk Indonesia.
“Singapura ini sempat hendak membuka penerbangan Singapura-Hong Kong setiap hari karena di kedua negara sudah tidak terjadi penularan virus. Namun, rencana ini langsung ditunda begitu diketahui ada 8 kasus baru muncul di Hong Kong,” tutur Tommy.
Singapura
Menurutnya, para pengusaha kawakan yang diundang sepakat, bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan oleh investor pada saat seperti ini di Indonesia.
Itulah mengapa, kita tidak boleh kehilangan fokus dalam menangani penularan Covid-19 dengan mulai mengabaikan protokol kesehatan, lalu penularan kembali meningkat.
Saya pikir, benar juga pendapat para jagoan bisnis ini. Kita selama ini memang mencoba menjaga keseimbangan rem dan gas dalam strategi melawan Covid-19.
Rem dipakai untuk menekan penularan, sementara gas dipakai agar ekonomi tetap terjaga atau setidaknya agar dapur keluarga Indonesia tetap ngebul.
Itu pula yang menjelaskan mengapa sejak Juli 2020, pemerintah Joko Widodo membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) yang mencerminkan keseimbangan antara rem dan gas tersebut.
Diharapkan pembentukan komite yang separuhnya ditujukan untuk mengawal pemulihan ekonomi nasional, bisa menyelamatkan Indonesia dari resesi, yakni kondisi ketika ekonomi minus dalam dua kuartal berturut-turut.
Hasilnya, ternyata kita tetap masuk ke dalam resesi, yang sekaligus membuktikan bahwa selama penularan belum sepenuhnya dikendalikan, sulit berharap ekonomi pulih.
Sebaliknya, beberapa negara seperti China yang telah mampu melawan pandemi, pertumbuhan ekonominya telah kembali positif.
Ini sebenarnya bisa menjadi pelajaran besar bagi Indonesia yang masih berkutat dengan peningkatan kasus penularan. Upaya mengubah perilaku masyarakat agar disiplin dan patuh menjalankan protokol kesehatan ternyata sangat sulit.
Mayoritas orang sudah tahu seperti apa protokol kesehatan - memakai masker, menjaga jarak, dan menjauhi kerumunan, serta mencuci tangan pakai sabun dengan air mengalir - adalah benar. Namun, seberapa disiplin dan patuh masyarakat adalah hal berbeda.
Padahal, kita saat ini tidak punya kemewahan waktu dalam melawan pandemi ini. Kita mesti berubah cepat, dan itu harus dilakukan secara serentak dengan tingkat disiplin tinggi.
Persoalannya, Covid-19 begitu nyata dan semakin dekat di antara kita. Tak ada kompromi lagi bagi sebagian dari kita untuk mengabaikannya.
Kondisi Covid-19
Upaya menekan kasus penularan baru mestinya menjadi titik berat seluruh pemangku kepentingan, baru kemudian kita bisa menengok upaya pemulihan ekonomi yang paling pas. Semua ini tidak bisa bisa tiba-tiba, juga tak pernah mudah.
Namun, kita sering lupa, bahwa ketika penyebaran kasus mulai dikendalikan, orang bisa sesukanya beraktivitas, mobilitas manusia kembali bebas, dan protokol kesehatan selanjutnya bisa dikendurkan.
Atau pada lain waktu, kita merasa bahwa pandemi ini segera tumpas, karena vaksin telah ditemukan, lalu penyuntikan massal segera dilakukan.
Padahal, bila merujuk data, tingkat positivitas hasil pemeriksaan melalui tes usap masih di atas 10 persen. Jadi, antara jumlah sampel yang diperiksa dengan temuan kasus baru masih sangat tinggi.
Salah satu sudut ruangan IGD di Wisma Atlet.
Para pakar kesehatan menyarankan agar tingkat positivitas ditekan hingga di bawah 5 persen sebagai indikator penularan bisa dikendalikan.
Kamis (3/12/2020), tercatat 8.369 kasus baru penularan Covid-19 dari hasil pemeriksaan 45.479 orang, rekor tertinggi sejak kasus pertama ditemukan di Indonesia pada awal Maret 2020. Semakin banyak kasus diperiksa, temuan kasus terus membesar.
Bila dirunut lebih dalam, temuan kasus yang semakin besar ini sejalan dengan jumlah spesimen yang diperiksa.
Saat ini, Indonesia memiliki 466 laboratorium pemeriksa Covid-19 di seluruh Indonesia, cukup memadai sesuai standar WHO yang menghendaki pemeriksaan harian sebanyak 1.000 orang untuk setiap sejuta populasi.
Dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini yang mencapai 267 juta, maka target WHO menghendaki pemeriksaan kepada 267.000 orang per minggu. Pekan lalu, jumlah orang yang diperiksa berada pada level tertinggi, yakni 90,64 persen dari standar yang dikeluarkan WHO.
Jadi, memang tak ada pilihan lain bagi kita saat ini selain memusatkan segala daya dan upaya untuk menekan kasus.
Pada akhirnya, semua kerja keras memulihkan ekonomi yang menelan lebih dari Rp600 triliun anggaran negara tahun ini hanya akan sia-sia bila penularan tak terkendali.