Bisnis.com, JAKARTA - Tak selamanya pandemi Covid-19 berdampak buruk bagi para pelaku usaha mikro kecil dan menengah.
Beberapa pelaku usaha justru berhasil meraup keuntungan di masa pandemi ini, asalkan jeli melihat peluang dan mampu memaksimalkan branding digital marketing.
Salah satu pelaku usaha yang berhasil mendulang berkah di masa pandemi ini adalah Ruth Gabriel pemilik usaha Chickocang. Wanita yang telah menempuh pendidikan jurusan Culinary Art di Singapura ini memulai bisnisnya pada awal pandemi Covid-19, tepatnya di bulan April 2020.
“Saat itu aku baru selesai kuliah dan balik ke Jakarta. Lalu berpikir untuk membuka bisnis karena banyak peluang bagus, yaudah akhirnya aku mulai sekitar bula April,” ujarnya.
Namun, ketika itu dia belum terlalu fokus mengembangkan brand hingga akhirnya Ruth bertemu dengan partner yang memiliki ketertaikan dan kemampuan di bidang branding digital marketing. Mereka lantas berkolaborasi membangun brand bisnis kuliner yang diberi nama Chickocang.
Baca Juga
Ruth mengakui bahwa nama Chickocang sendiri baru tercetus ketika dirinya benar-benar fokus mengembangkan bisnisnya sekitar bulan November 2020.
“Waktu bertemu partner bisnis dia bilang bahwa nama atau brand itu perlu banget agar mudah diingat orang. Lalu muncul nama Chickocang yang berarti chicken o bacang karena kami menggunakan nasi gurih bacang,” tuturnya.
Namun, jenis ayam panggang yang dikreasikan oleh wanita berusia 22 tahun ini berbeda dibandingkan dengan yang umum ada di pasaran. Sebab, Chickocang ini berupa ayam panggang utuh tanpa tulang yang dimarinasi seharian sehingga memiliki tekstur yang lembut dan bumbu yang meresap sempurna.
Menariknya, ayam panggang utuh ini memiliki isian nasi gurih yang di dalamnya terdapat telur asin tersembunyi. Untuk menambah cita rasa pedas atau asem, di dalam paket Chickocang ini sudah ada sambal, potongan timun, kecap, dan jeruk limau yang semuanya disajikan secara segar dan steril.
Ide awalnya mengkreasikan jenis ayam panggang tanpa tulang tersebut bermula dari keinginannya untuk menikmati ayam tanpa perlu repot dengan tulang. “Idenya itu sesimple mikir bagaimana caranya agar orang makan ayam tapi ngga perlu ribet jadi tulangnya dihilangkan tetapi bentuknya masih berbentuk ayam utuh,” terangnya.
Bentuk tersebut juga terinspirasi dari model ayam kodok tetapi umumnya bagian dalam ayam kodok berisi daging dan sayuran. Untuk membedakannya, Ruth kemudian mengganti sayuran tersebut dengan nasi gurih yang kaya rempah serta diberi tambahan telur asin tersembunyi di dalamnya sehingga memiliki cita rasa khas nusantara.
Tidak hanya membangun branding dengan membuat nama unik serta bentuk dan cita rasa yang khas, Ruth juga benar-benar memperhatikan proses pengemasan yang dibuat semenarik mungkin, mewah dan bernuansa tradisional khas Indonesia.
Yaitu berupa besek bambu dan tas rajut pasar yang diproduksi oleh pengrajin-pengrajin lokal.
“Melalui kemasan pelanggan sudah dapat melihat identitas makanan tersebut, seperti dari mana makanan itu berasal,” ucapnya.
Selain itu, Ruth juga membangun branding dan menjadikan Chickocang ini sebagai oleh-oleh Khas Jakarta. Alasannya, karena saat ini belum ada oleh-oleh khas Jakarta yang bisa dibawa pulang seperti halnya Ayam Betutu dari Bali, Ikan Bandeng Presto dari Semarang, atau Ayam Goreng Kalasan dari Yogyakarta.
“Kalau kayak Soto Betawi itu kan sulit di bawa keluar daerah. Nah, berhubung aku orang Jakarta dan produksinya juga di Jakarta maka aku pikir sepertinya cocok jika Chickocang ini dijadikan makanan khas Jakarta yang bisa dijadikan oleh-oleh dan dibawa ke luar daerah,” ujarnya.
Ternyata, sambutan masyarakat begitu antusias. Tak sedikit diantara customernya yang membeli untuk dibawa ke kampung halaman atau oleh-oleh untuk teman kantor di kota lain. Selain itu juga banyak yang memesan untuk di makan bersama-sama pada acara tertentu seperti ulang tahun, hari raya, atau sekadar untuk dimakan di kantor bersama teman kantor.
Saat ini, Chickocang sudah dibanjiri pesanan setiap harinya dengan kapasitas produksi rata-rata sekitar 20 paket per harinya atau sekitar 500 hingga 600 paket per bulan. Adapun menjelang hari besar seperti Natal, dan Imlek jumlahnya bisa melonjak hingga 3 kali lipat atau 60 pesanan per hari.
Untuk range harganya sendiri Chickocang dibandrol seharga Rp 250.000 per ekor di luar ongkos pengiriman. Makanan halal ini, memiliki varian rasa yang bisa dipilih sesuai dengan lidah pelanggan. Saat hari-hari istimewa seperti Imlek dan Natal biasanya ada paket khusus, misalnya di saat Natal, ayam Chickocang akan dibundling dengan kue lapis legit dengan harga per paket Rp488.000. Adapun keuntungan bersihnya bisa mencapai hingga 70%.
“Kami menerima pesanan setiap harinya tetapi karena produknya benar-benar fresh maka sistem pemesanannya harus pre order minimal 2 hari sebelumnya, atau jika memang benar-benar mendesak bisa H-1,” terangnya.
Chickocang sendiri bisa bertahan hingga beberapa hari apabila disimpan dikulkas dan cukup dihangatkan sesuai petunjuk yang ada yaitu panaskan di oven sekitar 20 menit atau kukusan sekitar 40 menit, dan siap disantap bersama-sama.
Untuk menjaga kualitasnya, Ruth, telah memberikan panduan di setiap pesanan, terutama untuk cara penyajian yang terbaik. Apalagi ayam utuh tanpa tulang ini memiliki teknis dan kesulitannya sendiri sebab tidak semua orang paham bagaimana melucuti tulang ayam dengan benar tanpa merusak kulit dan dagingnya.
Meski harganya terbilang cukup premium, tetapi penjualan Chickocang terus meningkat setiap harinya. Bahkan sejak pertama kali mengembangkan branding Chickocang di bulan November lalu dengan modal awal Rp10 juta, Ruth mengaku telah balik modal setelah usahanya berjalan 2-3 bulan.
“Dalam menjalankan bisnis ini, kami benar-benar fokus mengembangkan brand. Bahkan dari modal awal Rp10 juta, sekitar 50% diantaranya itu dialokasikan untuk branding seperti membuat kemasan, stiker, atau mengirimkan makanan kepada para influencer, food vlogger, atau endorse untuk memberikan review produk,” tuturnya.
Bahkan tak sedikit food blogger atau food vlogger yang kemudian menghubunginya untuk memberikan review. Dalam hal ini Ruth mengaku tidak memberikan fee dan hanya menyediakan produk untuk direview.
Selain memanfaatkan media sosial melalui akun instagam @chickocang dan media digital, dia juga aktif menjalin kerjasama dengan sejumlah media massa yang meliput keunikan serta inovasi produk yang ditawarkan Chickocang. Ini pula yang membuat usahanya terus bertumbuh meski di masa pandemi Covid-19.
Apalagi ketika sebagian besar masyarakat beraktivitas di rumah, tak sedikit yang mulai mencari berbagai menu-menu unik untuk dinikmati di rumah bersama keluarga melalui media digital.
“Puji Tuhan, dengan adanya branding melalui media digital maupun media massa penjualan kami melonjak signifikan, dari yang sebelumnya hanya 10 pesanan perminggu sekarang bisa mencapai 20 pesanan per hari dan bahkan 60 pesanan pada hari-hari spesial,” ujarnya.