Bisnis.com, JAKARTA - Sejak duduk di bangku SMP, Evi Rohma yang lahir sebagai anak sulung berinisiatif untuk membantu ibunya mencari nafkah.
Sejak ayah Evi meninggal dunia, ibunya harus banting tulang untuk membiayai kehidupan sehari-hari dan biaya sekolah. Lantas, Evi tidak tinggal diam. Dia membantu ibunya membuat kue hingga menjual kue ke kantin sekolah dan kantor kecamatan.
Merintis bisnis kue dan mencari pangsa pasar bisa dibilang bukanlah hal mudah, sebab Evi dan ibunya harus memperkenalkan kue dan kadang-kadang memberikan tester bagi warga untuk promosi, di tengah keterbatasan dana.
Beruntung, kue yang dimasak oleh ibu Evi disukai oleh banyak warga sekitar, bahkan ada yang menjadi pelanggan rutin saat adanya pengajian, acara sunatan dan perkawinan.
"Saya menekuni bisnis ini sudah 20 tahun, sejak saya SMP dan kini anak saya sudah sarjana. Ibu saya juga sudah meninggal. Awalnya, promosi hanya dari mulut ke mulut," ungkapnya kepada Bisnis, Selasa (22/2/2022).
Saat merintis bisnis kue, katanya, modal awal yang dikeluarkan sekitar Rp300.000. Hingga saat ini, Evi masih tetap mengingat resep dan cara membuat kue, agar kualitas, rasa, dan jumlah pelanggan juga bertambah.
Harga kue yang dijual senilai Rp3.000 per kue. Sebelum pandemi, Evi biasanya berjualan di Pasar Senen. Omzet yang dimiliki bisa mencapai Rp39 juta per bulan. Namun, karena pandemi dia memutuskan berjualan di rumah atau membuat kue sesuai pesanan saja.
Kini Evi dipercayakan menjadi Ketua Klaster Kue Subuh Kanca Otista. Dia juga mulai mengajarkan tetangga untuk ikut membantu dan memproduksi berbagai macam kue. Ada juga tetangga yang sudah menjadi pengusaha kue subuh mandiri dari pelatihan yang diberikannya.
Untuk meningkatkan penjualan menjadi skala besar, maka Evi juga mengajukan pinjaman kredit usaha rakyat (KUR) BRI. Evi mengatakan pinjaman digunakan untuk modal, sebab saat ada pemesanan maka warga hanya memberikan uang muka dengan jumlah yang terbatas.