Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Profil Eugene Fama, Ekonom Peraih Nobel yang Sebut Bitcoin Bakal Tak Bernilai dalam 10 Tahun

Bitcoin diprediksi tidak akan bernilai dalam 10 tahun lagi menurut ekonom peraih nobel Euegen Fama
Eugene Fama dan keluarga
Eugene Fama dan keluarga

Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom peraih Nobel meramalkan bahwa mata uang kripto Bitcoin yang kini sedang naik daun pasca Donald Trump menjadi presiden AS, tidak akan bernilai apa pun dalam 10 tahun ke depan.

"Itu hanya emas digital jika ada gunanya. Jika tidak ada gunanya, itu hanya kertas. Bukan kertas, itu udara, bahkan bukan udara," kata Eugene F. Fama dikutip dari The Street.

Dia menambahkan, mata uang kripto merupakan teka-teki karena melanggar semua aturan alat tukar. Mata uang kripto tidak memiliki nilai riil yang stabil. Nilai riilnya sangat bervariasi. Media pertukaran semacam itu seharusnya tidak bertahan lama.

Pernyataan ini tentunya membuat investor bitcoin ketar-ketir. Lantas siapakah Eugene Fama, ekonom peraih nobel tersebut? Berikut profilnya.

Dilansir dari laman Nobelprice.org, Fama adalah asli Sisilia Italia, dan kakek neneknya berimigrasi ke Amerika Serikat dari Sisilia pada awal tahun 1900-an, jadi saya adalah keturunan Italia-Amerika generasi ketiga.

Ayahnya adalah seorang pengemudi truk, tetapi selama Perang Dunia Kedua, dia bekerja di palka kapal perang di galangan kapal Boston. 

Dia lahir di Somerville, Massachusetts, pinggiran kota Boston, tetapi tak lama kemudian orang tuanya beserta salah satu saudara perempuan ayahnya dan suaminya membeli sebuah gedung dua flat di seberang Sungai Mystic di Medford.

Dia melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Katolik untuk Anak Laki-laki, yang juga dikenal sebagai Malden Catholic, di kota Malden, yang berada di sebelah Medford.

Sekolah itu memiliki kurang dari 500 siswa yang tersebar selama empat tahun. Guru-gurunya adalah para Bruder Xaverian. Olahraga sekolah menengah atas merupakan hal yang penting di wilayah Boston (seperti halnya di Chicago).

Saat sekolah, dia hobi olahraga seperti basket, lari, lompat tinggi, sepak bola, dan bisbol.

Dia masuk Universitas Tufts pada tahun 1956, berniat menjadi guru sekolah menengah atas dan pelatih olahraga. Di akhir tahun kedua, dia menikahi kekasih sekolah menengah atasnya, Sallyann Dimeco, yang sekarang menjadi istrinya selama lebih dari 55 tahun.

Mereka memiliki empat orang anak dan sepuluh orang cucu.

Di Tufts, dia mulai dengan bahasa Roman, tetapi setelah dua tahun dia bosan mengulang-ulang Voltaire dan mengambil mata kuliah ekonomi.

"Saya terpesona oleh materi pelajaran dan prospek lolos dari kelaparan seumur hidup dengan gaji guru sekolah menengah. Dalam dua tahun terakhir saya di Tufts, saya banyak mengambil mata kuliah ekonomi. Para profesor, sebagai guru, sama inspiratifnya dengan para bintang penelitian yang kemudian saya dapatkan keuntungannya di Universitas Chicago," paparnya.

Para profesor di Tufts mendorongnya untuk melanjutkan ke sekolah pascasarjana. Dia condong ke sekolah bisnis untuk meraih gelar doktor. Para profesor di Tufts (kebanyakan bergelar doktor ekonomi Harvard) mendorong Chicago sebagai sekolah bisnis dengan kecenderungan ke arah ekonomi yang serius.

Dia diterima di sekolah lain, tetapi pada bulan April 1960 tidak mendapat kabar dari Chicago, dan memutuskan menelepon dekan mahasiswa.

Mereka mengaku tidak memiliki catatan tentang lamarannya.  Akhirnya dia mendapatkan beasiswa yang disediakan untuk lulusan Tufts yang memenuhi syarat. Dia menerimanya.

Selama tahun terakhirnya di Tufts, dia bekerja untuk Harry Ernst, seorang profesor ekonomi yang juga menjalankan layanan peramalan pasar saham.

Bagian dari pekerjaannya adalah menciptakan skema untuk meramalkan pasar. Skema selalu bekerja pada data yang digunakan untuk merancangnya. 

Selama tahun kedua saya di Chicago, dengan berakhirnya pekerjaan kursus dan ujian pendahuluan yang sudah di depan mata, dia mulai menghadiri Lokakarya Ekonometrika, yang saat itu menjadi pusat penelitian di bidang keuangan. 

Di akhir tahun keduanya di Chicago, tibalah saatnya untuk menulis tesis, dimana isi tesisnya menunjukkan (dengan sangat rinci) bahwa distribusi imbal hasil saham bersifat fat-tailed: terdapat lebih banyak outlier daripada yang diharapkan dari distribusi normal sebuah fakta yang ditegaskan kembali dalam episode pasar berikutnya, termasuk yang terbaru. Mengingat tuduhan ketidaktahuan tentang hal ini yang baru-baru ini dilontarkan di media populer, perlu ditekankan bahwa akademisi di bidang keuangan telah menyadari fenomena fat tails dalam imbal hasil aset selama 50+ tahun.

"Tesis saya dan karya sebelumnya orang lain tentang sifat deret waktu imbal hasil termasuk dalam apa yang kemudian disebut sebagai uji efisiensi pasar. Saya menciptakan istilah “efisiensi pasar” dan “pasar yang efisien,” tetapi istilah tersebut tidak muncul dalam tesis saya. Istilah tersebut pertama kali muncul dalam “Random Walks in Stock Market Prices,” makalah nomor 16 dalam rangkaian Selected Papers of the Graduate School of Business, University of Chicago, yang dicetak ulang dalam Financial Analysts Journal (Fama 1965b)," ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper