BARU-baru ini, entah benar atau tidak, telah beredar luas berita soal mahasiswa bunuh diri gara-gara tidak bisa mengganti tampilan fotonya di HP-nya. Dan baru-baru ini juga dua eksekutif berkeluh kesah soal staf baru mereka.
Yang satu berkata, ”Belakangan ini, saya bingung dengan anak-anak yang baru masuk kerja di sini. Mereka itu borosnya luar biasa. Namun terus berkeluh kesah soal gaji dan saya lihat kayaknya mereka ini ingin cepat-cepat jadi manager. Kalau bisa hari ini masuk, besok udah mau jadi manager!.”
Sementara itu yang lainnya berkata dengan kesal, ”Saya merasa anak-anak muda yang kami rekrut sekarang karakternya hitung-hitungan, dan cepat menyerah. Paling susah disuruh kerja ekstra dan kalau kerja nggak ada hasilnya, dibiarin dan ngomongnya, ”Nggak bisa pak” tanpa merasa bersalah bahwa mereka belum berusaha!.”
Pada awal 2000, seorang psikolog Jepang yakni Tamaki Saito juga mulai memperhatikan suatu fenomena aneh pada generasi muda di Jepang, dan seluruh dunia. Akhirnya, dia pun memunculkan sebuah istilah yakni ”hikikomori.” Yakni kecenderungan anak muda untuk menarik diri dari pergaulan sosial, tidak peduli dengan kondisi sosial dan sulit untuk bergaul.
Namun herannya, di sisi lain media sosial makin tinggi angka penggunanya. Berbagai fenomena di atas itulah, membuat saya tertarik untuk membahas soal generasi kerja muda yang mulai memasuki dunia kerja sekarang yang disebut sebagai generasi Y atau generasi Z. Sebuah generasi yang lahir setelah tahun 1980-an.
Tidak mengherankan, bila beberapa psikolog menyebut generasi ini sebagai generasi kepompong. Mengapa ’kepompong’?
Anthony Dio Martin (Managing Director HR Excellency, Best EQ Trainer Indonesia, ahli Psikologi, penulis buku-buku best seller)
Baca selengkapnya: http://epaper.bisnis.com/index.php/ePreview?OldID=11#