Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Samudera Indonesia, Shanti Lasminingsih: Kunci Suksesnya Ada pada Distribusi

Nama besar PT Samudera Indonesia Tbk sepertinya sulit dipisahkan dari almarhum Soedarpo Sastrosatomo. Sejak didirikan pada 1950-an, pionir perusahaan pelayaran yang menggarap rute internasional itu kini menjelma menjadi perusahaan transportasi terpadu.

Nama besar PT Samudera Indonesia Tbk sepertinya sulit dipisahkan dari almarhum Soedarpo Sastrosatomo. Sejak didirikan pada 1950-an, pionir perusahaan pelayaran yang menggarap rute internasional itu kini menjelma menjadi perusahaan transportasi terpadu.

Untuk mengetahui kondisi perseroan dan sepak terjangnya di luar negeri, Bisnis mewawancarai Shanti Lasminingsih Poesposoetjipto, Komisaris Utama PT Samudera Indonesia Tbk yang juga generasi kedua Soedarpo.

Lulusan Technical University, Munich, Jerman itu membeberkan pula kondisi pelayaran nasional dan perlunya perbaikan pola kerja di pelabuhan. Berikut petikannya:

Apa fokus bisnis yang menjadi kontribusi terbesar perusahaan saat ini?

Paling besar logistik dan pengelolaan pelabuhan, baru menyusul kemudian sektor pelayaran. Sebetulnya seluruh sektor bisnis kami jalan, tetapi kontribusi terbesar itu logistik dan pengelolaan pelabuhan.

Kami punya pelabuhan di Kalimantan, di Samarinda, pelabuhan peti kemas itu sudah beroperasi selama 3 tahun. Itu akan kami ekspansi lagi. Kita juga melihat ada permasalahan di sektor pelayaran dunia.

Ada banyak merger di pelayaran dunia. Seberapa jauh penurunan di sektor pelayaran?

Iya merger karena jumlah suplai da ri kapal di dunia itu melebihi dari jumlah muatan yang ada. Jadi industri ini sangat, istilahnya apa ya, artifisial. Jadi jumlah armada yang disediakan atau armada dipakai di pasar saat ini itu diatur sedemikian rupa agar bisa mengimbangi jumlah muatan yang ada karena pengaruh resesi ekonomi di AS dan Eropa.

Pengaruhnya ke perseroan apa?

Selama ini, pembeli terbesar dalam industri kita itu negara maju. Pengaruh tentu saja. Kalau dulu usaha pelayaran itu punya titik keberhasilannya yakni pergi dan pulang ada muatan. Kalau pergi berlayar ada muatan tapi pulangnya enggak ada kan jadinya bagaimana? Harga barang bisa jadi naik dua kali  lipatnya. Ini yang jadi masalah yang ada di dunia pelayaran kita saat ini.

Jika dulu itu ada pembagian peran dalam sektor pelayaran, kapal besar da tang ke Pelabuhan Singapura karena pelabuhan di sana cukup dalam, sedangkan distribusi barang ke wilayah Asia Tenggara itu kita bisa ja di feeder atau pe nyambung.

Tapi karena sekarang perusahaan perusahaan pelayaran besar saja muatannya juga kurang mereka akhirnya mengangkut apa saja, dari pada kapal mereka enggak beroperasi.

Mereka juga mesti bertahan hidup karena ada pinjaman dari bank misalnya, sehingga mereka harus punya pendapatan. Imbasnya, barang berapa pun juga dia angkut saja. Makanya kita sekarang bersaing de ngan mitra kita sendiri yang dulunya kita jadi feeder karena sekarang mereka juga kosong muatannya.

Lantas bagaimana kesempatan di Indonesia?

Nah di Indonesia, salah satunya katakanlah tanda kutip keberuntungan nya karena pelabuhan di kita ini pelabuhan tua sehingga kapal mo dern juga belum bisa berlabuh. Maka dengan adanya asas cabotage, de ngan itu mengundang tantangan baru. Disebut demikian karena jenis-jenis kapal yang ukurannya bisa dilayani oleh pelabuhan-pelabuhan kita yang masih tradisional.

Jadi di sini ada campuran bisnis ang kutan pelayaran tra disional [atau bulk] dan kita di sini kan sedang membangun [pelabuhan]. Dengan begitu kita ti dak hanya pada angkutan peti ke mas saja te tapi juga sebetulnya membutuhkan pelabuhan yang namanya kon ven sional atau bulk.

Pemerintah tengah meng ubah pe labuhan konven sio nal jadi peti kemas, Bagaimana menurut Anda?

Itu dia, sekarang kan mestinya diimbangi. Karena itu belum dimengerti, ya katakanlah oleh pemerin tah, jadi kami dari pelaku industri mencoba membuka mata. Anda bisa lihat sendiri, ini [bisnis PT Samudera Indonesia] jalan karena distri busi. Sebagai negara kepulauan kunci utamanya adalah distribusi.

Ambil contoh solar. Kalau di mata ran tai itu ada yang enggak benar main nya, ya akan terjadi namanya stag nasi. Jadi kadang saya menilai soal distribusi solar itu bukan [salah] Pertamina, tapi ada pada sim pul-simpul mata rantai lain.

Seharusnya bagaimana?

Indonesia sendiri merupakan pa sar yang menggiurkan maka kalau kita
bisa mengatur dengan baik distribusi bahan pangan dengan baik, cost-nya
juga rendah, negara kita bisa makmur.

Itu dulu adalah visi dari Pak Darpo [Soedarpo Sas tro sa to mo]. Sebagai negara kepulauan, kunci ke makmuran Indonesia itu adalah distribusi dan komunikasi. Makanya waktu dulu Pak Harto [Mantan Presiden Soeharto] melempar satelit Palapa, ya kita akhirnya bisa nonton te levisi di seluruh Indonesia, kalau enggak ada satelit mau pakai apa? Mau menanam kabel? Kuncinya itu sebab informasi juga bisa tersebar.

Bagaimana soal tarif peti kemas di pelabuhan?

Tarif itu bergantung dari muatan. Di Indonesia itu tarifnya tinggi karena pelabuhan kita itu tidak bisa melayani kapal dengan tepat waktu atau on time. Kalau sampai kapal mesti antre itu biaya lagi. Kapal berhenti itu juga cost. Misalnya di sini kapal curah atau bulk di Tanjung Priok bisa sampai 3 hari-4 hari, ma kanya timbul dwelling time lama. Itu yang membuat biaya angkutan ma hal.

Kapan barang itu bisa tiba, artinya betul-betul barang cepat sampai di ujungnya. Kita mestinya terbiasa dengan bekerja 24 jam 7 hari. Pelabuhan kan mau enggak mau 24/7. Tarif di pelabuhan naik memang mesti ada investasi, misalnya nambah crane dan lain nya tapi mesti efisien.

Soal beyond cabotage dan pendulum itu bagaimana?

Ini sudah banyak disinggung oleh aso siasi. Kuncinya sama, yang kami ha rapkan itu agar kita secara efisien bisa memberdayakan sarana dan infrastruktur kita apakah itu pelabuhan nya, operasi kapalnya, dan pengelolaan pelabuhan.

Keberadaan pelabuhan itu satu cerita, tapi pengelolaannya itu semua harus tersambung. Yang harus dipegang adalah, soal pendulum itu perjalanan pergi dan pulang itu mesti ada nilai ekonomis. Contoh, jarak angkutan bus Jakarta-Bandung, kalau tidak ada yang mengangkut itu bagaimana? Jadi mesti ada demand atau permintaan bukan hanya menentukan rute pelayarannya.

Kalau tidak ada yang di angkut bagaimana? Jadi fokusnya adalah demand terlebih dahulu, itulah yang sering di-counter oleh INSA. Dan umumnya infrastruktur pe labuhan
belum sama di seluruh In donesia, umumnya di Jawa paling da lam itu 8 LWS, tapi kapal besar butuh 12 LWS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : M. Tahir Saleh
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, 13/9/2013
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper