Bisnis.com, JAKARTA - Masih ingat dengan hebohnya kontroversi sengketa terkait merek Kopitiam sekitar 2-3 tahun yang lalu, dan kasusnya terus berlangsung hingga awal tahun ini?.
Saat itu, banyak pelaku usaha kedai kopi yang menggunakan kata Kopitiam terpaksa harus berganti nama, bahkan menempuh jalur hukum akibat Kopitiam didaftarkan sebagai hak merek.
Padahal, kopitiam bisa diartikan sebagai kedai kopi dalam bahasa Hokkian sudah menjadi domain umum yang banya dipakai di daerah yang memiliki banyak penduduk keturunan Tionghoa.
Selain kasus Kopitiam, kasus lainnya yang cukup heboh adalah menyangkut merek keripik singkong pedas asal Bandung Maicih. Keripik tersebut pertama kali dipopulerkan dan dipasarkan oleh Dimas Ginanjar, Arie Kurniadi dan Reza Nurhilman yang merupakan saudara kandung.
Entah karena alasan apa, akhirnya tim tersebut pecah dan terbagi menjadi dua yaitu Maicih versi Dimas Ginanjar dan Maicih versi Reza Nurhilman. Kedua versi Maicih tersebut sama-sama sukses di pasaran dengan strategi marketing masing-masing.
Tetapi, pada 2011 Dimas mendaftarkan merek keripik Maicih ke Dirjen HKI, dan pada 2013 merek tersebut telah teregistrasi atas nama Dimas Ginanjar. Dengan itu, Reza sudah tidak memiliki hak untuk menjual produk keripik pedas dengan merek Maicih, kecuali telah terjadi perjanjian tersendiri antara Dimas dan Reza.
Nah, kasus serupa bisa saja terjadi kepada siapa pun, termasuk para pelaku usaha mikro kecil dan menengah. Untuk itu diperlukan sebuah perlindungan hukum yang bisa menjamin merek dagang si pelaku usaha.
Pasalnya, merek merupakan salah satu bentuk aset yang berfungsi untuk membedakan suatu produk atau jasa dengan produk serupa, sehingga konsumen bisa dengan mudah memilih produk dan jasa yang ditawarkan.
Konsumen yang merasa puas dengan suatu produk tertentu, akan membeli atau memakai kembali produk tersebut di masa yang akan datang. Bahkan tak jarang konsumen yang memiliki fanatisme terhadap merek tertentu, sehingga menjadi salah satu keuntungan bagi pemilik merek.
Sayangnya, kesadaran akan pentingnya merek serta pendaftaran merek belum banyak dimiliki oleh para pelaku UMKM di Indonesia. Masih banyak pelaku usaha yang sekadar memilih nama merek, bahkan dengan sengaja menggunakan merek yang sudah terkenal untuk produknya.
“Banyak pelaku usaha yang memproduksi barang dengan merek-merek terkenal, dan itu tentu saja bertentangan dengan hukum dan bisa tersandung kasus hukum,” papar Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Ahmad M. Ramli.
Ramli mengatakan dengan tidak adanya pendaftaran atas merek tersebut, bisnis UMKM cenderung tidak bisa berkembang dengan pesat, belum lagi jika tersandung kasus hukum karena menggunakan merek yang ternyata sudah dimiliki dan didaftarkan oleh orang lain.
Untuk merangsang kesadaran pelaku UMKM terkait dengan HKI tersebut, pihaknya telah memberi insentif berupa potongan biaya, dari yang awalnya Rp1 juta per merek, menjadi Rp600.000.
“Pada tahun ini, kami juga berencana untuk memberikan insentif lagi berupa pendaftaran merek gratis khusus bagi UMKM. Hal itu sebagai upaya untuk ikut mendukung kebangkitan UMKM,” katanya.
Ramli menilai, dengan adanya insentif tersebut mulai terjadi pertumbuhan jumlah merek UMKM yang terdaftar di Direktorat Jendral HKI. Sekarang, sekitar 25% dari total pemohon pendaftaran merek yang mencapai 60.000 per tahun merupakan UMKM. []