Stephanus Ardianto, yang biasa disapa Steve, punya pengalaman cukup lengkap di prinsipal otomotif Jepang, Nissan. Kariernya dilalui dari posisi assistant manager di divisi kendali produksi. Dia juga pernah menangani supply chains hingga kendali produksi, ekspor impor bahkan corporate planning. Apa saja kiat sang CEO dalam menjalankan roda bisnis Nissan Motor Indonesia ini? Bisnis mewawancarainya baru-baru ini. Berikut petikannya:
Bisa diceritakan bagaimana perjalanan Anda bisa di posisi saat ini?
Nissan itu sebenarnya company ketiga saya bekerja. Sampai 1998, krisis moneter, kemudian Nissan berganti dari local company, consolidated dengan Nissan Jepang. Terus, kami bikin Grand Livina. Saat itu saya sebagai head of planning dari Grand Livina. Cukup sukses, dan saya dapat kesempatan bekerja di luar negeri untuk memperluas wawasan.
Saya dapat kesempatan menjadi managing director di Nissan Asia Pacific di Singapura, yang kerjanya itu regional. Jadi mengurus negara yang kecil-kecil seperti Hong Kong, Brunei, Singapura, Filipina, Malaysia, teritorial regional. Dua tahun di Singapura, saya lalu pindah ke Thailand karena kantornya juga pindah ke Thailand.
Apa yang jadi tanggungjawab Anda ketika itu?
Jadi, Nissan Asia Pacific itu berganti jadi Nissan Motor Asia Pacific Thailand dan digabungkan, karena waktu di Singapura tugas kami hanya sales marketing. Fungsi ini kemudian digabung dengan manufacturing dan R&D [research and development]. Selama 2,5 tahun di Thailand, basicly melakukan pekerjaan yang sama, tapi cakupannya termasuk manufacturing dan R&D. Lalu pindah ke Jepang dua tahun. Kerjaannya sama tapi dari head quarters dan regionalnya bertambah dengan Oceania. Jadi ini termasuk Australia, Korea, dan Selandia Baru serta beberapa negara kecil. Di Oceania Pasifik lah. Dua tahun di Jepang, dipanggil kembali, mungkin dianggap ilmunya sudah cukup lalu disuruh pulang ke Indonesia untuk mengurus [bisnis di] Indonesia.
Bagaimana perasaan Anda harus balik ke Indonesia?
Waktu balik ke sini, ada senang dan tidak senang. Senangnya, selama saya kerja di luar saya lebih banyak kerja di up stream karena saya di regional office atau di head quarters. Jadi kerjaannya itu kebanyakan strategic and up stream. Jadi, di front line ini, excited tapi stres karena you deal directly operations. Kadang-kadang stres. Customer komplain, ini itu, tapi it’s operations. Apa yang kami buat itu, dampaknya langsung terlihat. Bagus atau jelek, excitement-nya di situ. Jadi, waktu terima kabar harus kembali ke Indonesia, ada excitement karena oke, balik ke front line. Tapi tergantung orangnya ya, kalau saya lebih suka di front line dari pada di head quarter yang mengurusi laporan, compiling, bikin report ke bos. Okelah, two years oke. More than that I get bored.
Pewawancara: Dimas Novita Sari, Lingga S. Wiangga, Farodlila Muqoddam