Bisnis.com, JAKARTA – Kisah tentang taipan properti ini tampak hanya satu dari banyak cerita klasik pengusaha kaya yang pernah hidup miskin. Tapi bahkan seorang Zhang Xin tak menyangka ambisi sederhananya sebagai petani akan 'kandas', dan kini menjadi salah satu wanita terkaya di dunia melalui SOHO China.
Bersama suaminya, Pan Shiyi, kekayaan bersih Zhang Xin mencapai sekitar US$3,6 miliar, berdasarkan data Forbes per 11 Februari 2018. Nama wanita berusia 52 tahun ini pun kerap masuk dalam daftar pebisnis wanita papan atas dunia.
Perusahaan real estat yang didirikannya, SOHO China, didapuk sebagai pengembang real estat perkantoran eksklusif terbesar di Republik Rakyat China, yang membawa warna terhadap pembangunan kota Beijing dengan arsitektur proyek-proyeknya yang modern dan ikonik.
Di antara sejumlah proyek SOHO China yang berskala internasional adalah 'Commune by The Great Wall' di Beijing. SOHO China telah terdaftar di Bursa Efek Hong Kong sejak tanggal 8 Oktober 2007. Perusahaan ini juga beberapa kali menempati jajaran 'Most Admired Companies in China' versi Fortune magazine.
Warna-warni yang berhasil dibawa Zhang melalui perusahaannya justru diawali dengan warna kehidupan yang 'monokrom'. Masa kecilnya dijalani dalam warna kelabu dunia komunis sekitar tahun 60an.
Masa Kecil Kelabu
Baca Juga
Zhang Xin dilahirkan di Beijing pada 24 Agustus 1965 dari pasangan keturunan Burma China, tepat sebelum periode Revolusi Budaya yang diusung tokoh komunis China, Mao Zedong.
Zhang menghabiskan masa kecilnya di sebuah blok lima lantai yang suram di pinggiran kota Beijing. Seringkali ia memakan nasi yang dibuat dari sebuah mangkuk besi di kantin bersama banyak pekerja China.
“Saya lahir dan tumbuh ketika kota ini sangat sepi; tidak ada mobil, tidak ada toko, tidak ada lampu, tidak ada mesin. Orang-orang hanya bersepeda,” katanya di kemudian hari, seperti dikutip CNN. Warga berpendidikan seperti kedua orang tuanya di daerah perkotaan dikerahkan untuk bekerja di wilayah agraris dan dididik kembali oleh kaum petani.
Batu bata berwarna abu-abu membentuk bangunan abu-abu dan semua orang mengenakan seragam kusam. Bahkan alam pun digambarkan kelabu olehnya. “Pada musim semi (kami akan) melihat badai pasir dan seluruh langit akan menjadi abu-abu,” kenang Zhang.
Tumbuh di Beijing selama periode Revolusi Budaya, Zhang hanya berambisi menjadi seorang petani, sebuah pekerjaan yang 'dimuliakan' di mata rezim komunis Mao Zedong. Zhang dan ibunya dikirim ke pedesaan untuk bekerja, sementara ayah dan saudara laki-lakinya tinggal di Beijing.
Hidup Mulai Berwarna
Dilansir CNBC, ketika berusia 15 tahun, Zhang dan keluarganya mengambil langkah berani pindah ke Hong Kong, tempat yang jauh berbeda dengan Beijing. Di Hong Kong ia melihat banyak lampu, kebisingan, dan warna. Hong Kong juga menjadi tempat ia dapat menghasilkan uang untuk pertama kalinya.
“Kami tidak tahu cara untuk hidup, selain mencari pekerjaan apa pun di luar sana untuk memperoleh nafkah,” katanya. Zhang kemudian bekerja sebagai buruh di sejumlah pabrik selama lima tahun, dan berpindah-pindah untuk menghasilkan uang tambahan.
Meski monoton, masa itu memberi kebebasan yang tidak pernah dimiliki sebelumnya. “Saya benar-benar merasa bebas di Hong Kong. Saya bisa membeli apapun yang ingin saya beli. Saya bisa makan apapun yang ingin saya makan. Dan saya bisa memakai apapun yang ingin saya pakai.”
Saat itu Hong Kong masih menjadi koloni Inggris. Itu artinya Zhang memiliki kesempatan pindah ke Inggris untuk belajar. Pada 1985 ia nekat pergi ke Inggris, tapi setibanya di sana ia terkejut. Bukan hanya tidak mengenal siapapun, Zhang juga tidak memahami bahasa Inggris.
“Saya memiliki impian untuk memperoleh pendidikan dan pergi jauh dari pabrik. Tapi akhirnya saya berakhir di 'planet' baru. Pada malam pertama saya sampai di sana, saya ingat duduk di atas koper dan menangis, karena benar-benar merasa takut,” katanya.
Pantang Mundur
Namun semangatnya tak surut, ia bekerja di sebuah toko fish and chip tradisional Inggris yang dikelola oleh pasangan China. Dengan bahasa Inggris yang terbatas, Zhang bolak-balik menawarkan garam dan cuka kepada para pelanggan.
Semangatnya kian membuncah saat menyaksikan Perdana Menteri Inggris saat itu, Margaret Thatcher, dalam suatu acara debat parlemen yang ditayangkan di televisi.
“Saya ingat terkagum-kagum melihatnya dan berpikir: 'Bagaimana dia bisa berbicara sehebat itu? Bagaimana mungkin dia berdebat dengan ratusan pria itu? Dia sangat berani dan begitu hebat. Dan saya pun mengidolakannya,” tutur Zhang.
Ia kemudian berhasil mendapatkan beasiswa masuk universitas dan meraih gelar sarjana ekonomi di Sussex University pada 1987.
Pendidikannya dilanjutkan hingga berhasil meraih gelar master untuk bidang yang sama di Cambridge University pada 1992. Dengan segala prestasinya, ia berkesempatan bekerja di Goldman Sachs di London sebelum ditugaskan di Hong Kong dan New York.
Panggilan Jiwa
Terlepas dari segala pencapaiannya, Zhang memiliki intuisi bahwa sesuatu yang mengasyikkan akan terjadi di negaranya sendiri dan memiliki kerinduan untuk kembali.
Motivasi terakhir datang ketika ia bertemu dan menjalin hubungan dengan bakal suaminya, seorang pengembang real estat bernama Pan Shiyi yang kebetulan tidak pernah meninggalkan China.
“Kami bertemu. Kami jatuh cinta, dan empat hari kemudian dia berkata, 'Aku pikir kamu harus menjadi istriku' Kami kemudian memutuskan untuk menikah,” ungkapnya. “Saya selalu tahu apa yang ingin saya lakukan, dan saya selalu menuju apa yang ingin saya lakukan.”
Tapi jalannya cinta sejati tidak berjalan mulus. Pasangan itu memulai bisnis bersama dengan mendirikan perusahaan real estate bernama Hongshi pada 1995, namun menemui banyak perbedaan.
“Nilai-nilai kami berbeda. Apa yang dia yakini bisa dilakukan berbeda dengan apa yang saya yakini bisa dilakukan, itu menjadi sesuatu yang buruk bagi bisnis dan pernikahan,” kata Zhang. Setelah melalui perdebatan panjang, Zhang memutuskan pergi ke Inggris dan merenungi hidupnya.
Ia pergi meluangkan waktu bersama teman-temannya. Pada suatu pagi di sebuah pedesaan di Inggris, ia ingat terbangun dan berpikir tentang apa yang lebih ia inginkan untuk berhasil. Pernikahan atau bisnis? Ia juga bertanya-tanya apakah ia masih ingin tinggal di China.
Yang ia lebih inginkan ternyata adalah pernikahannya. “Saya kembali dan berkata kepada suami saya: 'Kamu tahu? Saya akan berhenti bekerja. Jalani dan lakukan pekerjaanmu. Aku akan tinggal di rumah, menjadi Ibu rumah tangga dan semoga saja seorang Ibu.”
Kembali Berjalan Seiringan
Pada praktiknya, Pan menjadi sangat sibuk sehingga Zhang harus kembali membantunya. Namun seiring berjalannya waktu, pasangan itu berhasil maju.
“Saya menyadari selama bertahun-tahun bahwa saya memiliki kepekaan yang lebih sesuai dalam merancang produk, merancang bangunan. Dan ini sepadan dengan bakatnya (Pan), bahwa ketika kami membangun sesuatu, bagaimana kami bisa menjual dan bagaimana kami bisa menyewa?"
Masa-masa awal kemajuan bisnis mereka digambarkan sebagai perjuangan. Bagaimana bisa mendapatkan tanah, memperoleh pembiayaan, maupun meyakinkan orang bahwa mereka bisa melakukannya.
“Tentu saja dewasa ini tak terpikirkan siapa pun bisa memulai bisnis seperti itu. Tetapi begitulah bisnis China dimulai pada pertengahan 90an. Dengan hanya memberi tahu orang tentang visi yang dipunyai serta meminta mereka untuk percaya pada visi itu dan mulai mengerjakannya,” kata Zhang.
The Commune
Pada 1998, perusahaan berhasil mengembangkan SOHO New Town dengan luas lantai bruto sebesar 480.000 m2. Pada 2002, Hongshi berganti nama menjadi SOHO China.
Nama Zhang semakin diakui melalui pembangunan 'Commune by the Great Wall', rangkaian vila (saat ini boutique hotel) di sebuah lembah sekitar 70 kilometer utara Beijing. Didukung oleh 12 arsitek asal Asia, Zhang mendapatkan penghargaan Individual Patron of Architectural Works dalam Venice Biennale pada 2002 untuk proyek tersebut.
“Sebelumnya, saya sudah membangun banyak gedung. Tapi (The Commune) benar-benar merupakan karya cinta saya untuk arsitektur. Saya pertama kali menemukan lembah ini di Tembok Besar. Dan saya pikir (ini) ini adalah tempat yang tepat untuk mengajak beberapa arsitek besar, yang masing-masing (akan) merancang sesuatu sesuai imajinasi mereka,” katanya.
Dia mengirimkan surat kepada 12 arsitek naik daun di antaranya dari Jepang, Thailand, Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan. Mereka diberi kebebasan untuk menuangkan desain masing-masing yang akan dibangun oleh Zhang.
Salah satu bagian dari The Commune adalah Kuma's Bamboo Wall House yang memiliki enam kamar tidur, sebuah ruang minum teh di atas air, serta dapur dan ruang makan terbuka, yang dikembangkan sebagai tempat pertemuan.
Menuju Perusahaan Publik
Meski tahun 2002 mencatat perjalanan karir tertinggi bagi Zhang, tahun berikutnya terbukti lebih sulit. “Saya mengalami banyak kegagalan sepanjang perjalanan. Tidak selalu cerah, beberapa kali juga mendung. Kegagalan pertama saya terjadi pada 2003, ketika mencoba membawa perusahaan menjadi perusahaan publik,” ungkapnya.
Sebagian besar investor di Wall Street dinilai masih belum siap bagaimana mengevaluasi pengembang real estat China yang telah menciptakan model bisnis yang sangat berbeda dari luar.
Empat tahun kemudian. SOHO China akhirnya terdaftar Hong Kong stock exchange dan berhasil menghimpun US$1,9 miliar. IPO ini secara otomatis mengerek nilai kekayaan Zhang dan Pan menjadi sekitar US$4 miliar, hanya 12 tahun setelah mendirikan perusahaan mereka pada 1995.
Strategi Baru
Pada 2012, SOHO China mengumumkan peralihan utama dalam model bisnisnya, dari build-sell menjadi build-hold. Model bisnis baru ini menyewakan real estat alih-alih menjualnya, memanfaatkan permintaan untuk ruang kantor di Beijing dan Shanghai, serta bertujuan mempertahankan arus kas yang mantap.
Pada 2016, strategi ini menghasilkan pendapatan sewa sebesar 1.511 juta renminbi (US$225 juta), menurut laporan tahunannya.
Pada pengujung 2012, Galaxy SOHO, sebuah kemitraan dengan mendiang Zaha Hadid dibuka. Menurut Zhang, kolaborasinya dengan Zaha Hadid telah dimulai ketika arsitek ternama asal Irak tersebut belum banyak berkarya di Asia.
“Saya selalu melihat diri saya sebagai jembatan antara talenta hebat di seluruh dunia dan China. Dia (Zaha) dan saya menjalin persahabatan yang sangat dekat, sebagian mungkin karena kami berdua adalah wanita di dunia yang didominasi laki-laki,” tuturnya.
Menjadi wanita di dunia konstruksi yang secara tradisional didominasi pria bukan hal yang benar-benar baru bagi Zhang. Tumbuh di China dan menyaksikan peran wanita di bawah pemerintahan Mao Zedong, ia menegaskan bahwa pria dan wanita sama-sama bekerja.
“Jadi gagasan tentang pria pergi bekerja, wanita tinggal di rumah, dan pembagian kerja semacam itu tidak ada di China saat saya tumbuh dewasa,” kata Zhang.
Membangun Seluruh Dunia
Di luar China, keluarga Zhang telah berinvestasi di New York City, membeli saham senilai US$600 juta di Park Avenue Plaza pada 2011, dan bergabung dengan konglomerat untuk menginvestasikan sekitar US$1 miliar di gedung General Motors pada 2013.
“Keinginan saya selanjutnya adalah membangun di seluruh dunia. Saya ingin membawa ketrampilan yang saya miliki untuk bekerja dengan orang-orang kreatif dan membawa mereka ke belahan dunia dan kota-kota lain yang belum pernah saya kunjungi.”
Terlepas dari Brexit, Eropa dinilai sebagai prospek yang menarik, dengan daya tarik utama terletak pada London, Paris, dan Berlin. “Eropa telah menjadi pusat dunia Barat selama 500 tahun terakhir. Signifikansi budayanya serta sifat historis dan politisnya tetap kuat,” jelasnya.
Strateginya adalah tetap untuk membeli dalam siklus rendah ketika pengembang kurang tertarik untuk berinvestasi. “Itu yang kita sebut buy low. Dan kemudian Anda sell high. Itulah permainannya kan? Saat ini, saya pikir tempat terbaik sebenarnya ada di Eropa,” tambahnya.
Kepada siapapun yang sedang berjuang meniti karir saat ini, Zhang memberi dorongan untuk mendengarkan kata hati dan tidak memedulikan perkataan orang lain.
“Jika Anda ingin menjadi pemain sepak bola, lanjutkan. Jika Anda ingin menjadi seniman, silakan lakukan. Anda hanya akan melakukan yang terbaik jika Anda benar-benar ingin melakukannya. Dan itu, menurut saya, adalah prinsip hidup saya.”