Bertanyalah pada William Tanuwijaya, pendiri Tokopedia yang kini memiliki 3.000 karyawan dengan valuasi perusahaan US$7 miliar, ‘ceritakan diri Anda dalam satu kata?’ William pasti menjawab, ‘gigih’.
Bagi William, penting mengenali seseorang dengan mudah dalam satu kata. Pertanyaan itu pula yang selalu dia ajukan kepada setiap orang yang hendak direkrutnya untuk bergabung dengan Tokopedia dari saat masih memiliki puluhan karyawan, hingga ribuan seperti sekarang.
Tentu saja jawaban setiap orang bisa berbeda, tetapi cara ini efektif dalam mengeksplorasi profil calon pegawai. William punya kisah, mengapa dia selalu bertanya seperti itu dan berkaca pada dirinya mengenai sebuah kegigihan.
Berangkat dari kota kecil Pematang Siantar, di pinggiran Danau Toba, Sumatra Utara ke Jakarta dengan menumpang kapal laut pada 1999, William memulai perjuangannya sebagai anak muda dengan mimpi besar.
Jakarta adalah tempat mimpi digantungkan, ia masuk kuliah di Universitas Bina Nusantara.
Karena kondisi keuangan terbatas, William bekerja paruh waktu sebagai penjaga Warung Internet dekat kampusnya di Kemanggisan, Jakarta, Barat. Namun di sinilah kesuksesan Tokopedia bermula. Internet telah meluaskan cakrawala, melampaui apa yang didapatnya dari kampus.
Hampir tak ada yang tertarik saat William mondar-mandir menjajakan perusahaan rintisannya ke calon investor. Pertanyaanya selalu pada rekam jejak, perusahaan mana yang pernah sukses atau dikira sebagai tukang bikin website ketika merekrut karyawan pada sebuah pameran kerja.
Jalan tidak mudah, ketika itu, hampir tidak ada yang peduli dengan pilihan anak muda ini. Tokopedia nyaris bangkrut pada 2014, sebelum Softbank Vision Fund, investor asal Jepang, menggelontorkan dana U$100 juta, dan berlanjut pada November 2018 hingga sebelas kali lipat jadi US$1,1 miliar.
Kegigihan dalam diri William ini tak sebatas Tokopedia, tetapi juga kisah cinta. William mendapatkan komitmen kucuran modal pertama dari Softbank pada 2 Oktober 2014 di Tokyo, hanya sehari setelah dia melamar kekasihnya, Felicia HW, di Osaka.
Tanpa rencana lamaran tersebut, William memastikan mustahil baginya bisa pergi ke Tokyo untuk bertemu, Masayoshi Son —pendiri Sofbank dalam sebuah kesempatan singkat— hanya 5 menit. “Info pertemuan baru didapat pada 29 September. Mana mungkin mengurus visa dalam 2 hari? Kebetulan, saya sedang berencana memberi kejutan dengan menyusul Felicia yang sedang berlibur bersama temannya di Osaka, jadi visa sudah di tangan.”
Menurutnya, terdapat pertalian yang erat antara membesarkan Tokopedia dan romantika saat mendapat Felicia, seorang dokter yang kini menjadi istrinya. Usaha pantang menyerah ini adalah tentang memperjuangkan hidup, juga cinta.
Kisah kegigihan selalu melahirkan inspirasi. Coba cek, berapa juta anak muda yang kini mengidolakan tokoh tokoh disrupsi digital seperti William, atau Nadiem Makarim pendiri Go-Jek, hingga Achmad Zaki, pendiri Bukalapak.
Kreativitas generasi emas milenial ini, telah menciptakan sebongkah harapan bahwa sebuah revolusi tengah berjalan, dan diam-diam bisa mematikan sebuah peradaban. Seperti kata Stephen Elop (Nokia), “kami tidak melakukan kesalahan apapun; tiba-tiba kami kalah dan punah.”
Dengan mudah, kita bisa mendapatkan ribuah kisah inspiratif dari tokoh-tokoh besar lengkap dengan segala kegigihan, juga penderitaan yang mereka alami. Meskipun Jack Ma, pendiri Alibaba, berseloroh, “ketika bukan siapa-siapa, apapun yang Anda lakukan seperti kentut, tetapi saat sukses, Anda kentut pun jadi inspirasi.”
Lalu siapa yang tidak mengenal Jack Ma, pria asal Hangzhou –160 kilometer dari Beijing—pendiri Alibaba, perusahaan internet termahal di dunia setelah Google. Alibaba adalah pusat perbelanjaan virtual terbesar di dunia, dan tidak butuh waktu lama untuk mengungguli Walmart dalam jumlah produk yang dijual.
Jack Ma, kini melambangkan wajah China yang baru. Sebagai idola di negeri sendiri, ia berada di persimpangan antara budaya konsumerisme dan kewirausahaan baru. Ketenarannya meluas, juga gurita bisnisnya, termasuk saat bergabung dengan Sofbank menginjeksi modal Tokopedia.
Kisah hidup Jack Ma adalah refleksi dari sebuah kegigihan. Hal yang paling kita dengar adalah kegagalannya bekerja sebagai pramusaji restoran cepat saji Kentucky Fried Chicken. Dari 24 pendaftar, dia adalah satu-satunya orang yang tidak diterima.
Sepuluh kali pria ini mendaftar ke Universitas Harvard, dan sejumlah itulah ia ditolak. “Tidak ada yang bisa mengetahui masa depan. Yang bisa Anda lakukan hanyalah menciptakan masa depan,” katanya suatu ketika.
Namun, kegigihan telah menyatu dengan Jack Ma yang memiliki moto ‘bertahanlah sampai akhir’. Agar bisa berbahasa Inggris, pada 1979 pria ini menawarkan jasa pemandu wisata gratis ke West Lake, di Hangzhou, sebagai imbalannya turis mengajarinya bahasa Inggris.
“Saya melakukanya selama 9 tahun! Saya juga mengasah bahasa Inggris setiap pagi, dalam keadaan cuaca buruk sekalipun,” kenang Jack Ma dalam buku Alibaba, Kerajaan yang Dibangun oleh Jack Ma, terbitan PT Elex Media Komputindo (2017).
***
Lalu, apakah kegigihan adalah satu satunya kunci sukses semua orang yang kisahnya tertulis di atas? Tidak! Pengusaha T.P. Rachmat percaya, bahwa orang-orang hebat memiliki satu kesamaan, naluri dalam mencapai tujuan yang sangat kuat.
Ini yang disebut grit oleh Angela Duckworth, psikolog asal Amerika Serikat, sebagai faktor kesuksesan. Grit adalah gabungan antara tujuan, gairah, dan kegigihan. Adanya grit membuat orang konsisten, tahan uji, dan tak kenal menyerah mewujudkan misi.
Adanya grit, membuat Jack Ma rela belajar bahasa Inggris hinga 9 tahun dengan menjadi pemandu wisata. Dengan grit, William meninggalkan Danau Toba, masuk belantara Jakarta merintis usaha, juga meraih cintanya.
Jack Ma maupun William adalah orang-orang yang lahir pada periode susah dan miskin.
Grit membuat orang mau bangun pagi, dan pulang paling malam untuk memastikan eksekusi dalam disiplin dan militan.
Grit ini juga tidak mengenal generasi, seperti yang ditunjukkan oleh almarhum Shimon Peres hingga akhir hayatnya. Dia bukan seorang wirausahawan, tetapi presiden yang lebih dikenal sebagai bapak bangsa orang Israel.
Shimon Peres adalah orang yang memiliki sense of mission sangat kuat. Grit ditularkan pada lebih banyak orang, menjadi kekuatan besar. Dia meyakini bahwa padang gurun tandus yang hingga hari ini disengketakan dengan bangsa Palestina, bisa disulap jadi lahan pertanian subur dan menghijau.
Baginya, pertanian adalah 95% tentang sains dan 5% kerja. Dengan keyakinan dan kuasa yang diperoleh, maka Shimon Peres mendorong bangsa Israel yang terpojok di Timur Tengah memenuhi kebutuhan bahan makan dengan mengembangkan teknologi pertanian.
Itulah mengapa Israel unggul dalam bidang pertanian, jauh meninggalkan negara di sekitarnya yang tetap hidup di lahan tandus. Siapa yang menduga, Israel adalah eksportir terbesar pisang ke Arab Saudi?
Di dekat Tel Aviv, Ibu kota negara itu, bertebaran peternakan sapi perah dengan produktivitas tinggi. Dari seekor sapi, peternakan di Israel bisa memproduksi sapi hingga 42 liter per hari —bandingkan dengan produksi tertinggi sapi serupa di Pengalengan Jawa Barat yang hanya 17 liter sehari.
Apa rahasianya, semua didekati dengan sains. Sapi mendapat jatah ‘mandi’ tiga kali sehari, diperdengarkan musik, dipasang cip pada tubuhnya untuk memantau tingkat stres, termasuk kegelisahan saat tengah birahi sehingga diberi kesempatan kawin pada saat yang tepat. Sapi pun sejahtera, produksi susu tak tertandingi.
Semua ini adalah cerita tentang kegigihan para pendiri. Tentu saja perlu modal visi yang kuat sebagai dasar. Hanya dengan keduanya sebuah korporasi bahkan bangsa bisa dibangun dengan nilai para pendirinya, juga kegigihan dalam memenangkan tujuan.