Bisnis.com, JAKARTA - Limbah minyak goreng atau minyak jelantah yang dapat membahayakan kesehatan jika dipakai berulang kali ternyata memiliki nilai ekonomi tinggi.
Minyak jelantah merupakan salah satu bahan baku yang dapat diolah menjadi bahan bakar bio diesel dengan peluang omzet hingga ratusan juta rupiah.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melihat semua potensi dari berbagai bahan baku untuk bisa dikembangkan secara komersial.
Untuk dapat berkontribusi dalam B30 (30 persen biodiesel tercampur dalam BBM), ada dua prinsip yang perlu dipenuhi oleh biodiesel.
Pertama, secara kualitas harus mencapai standar spesifikasi biodesel. Kedua, secara keekonomian juga harus dapat terimplementasi.
"Jika kedua prinsip tersebut bisa dipenuhi oleh biodiesel dari jelantah, maka potensi jelantah sebesar 3 juta kiloliter per tahun akan dapat memenuhi 32% kebutuhan biodiesel nasional,” kata Analis Kebijakan Ahli Muda, Subkoordinator Keteknikan Bioenergi, Kementerian ESDM, Hudha Wijayanto, melalui siaran pers, Jumat (16/4/2021).
Baca Juga
Saat ini, belum banyak orang yang memanfaatkan limbah dapur tersebut untuk industri biodiesel.
Andi Hilmi adalah salah satu pengusaha yang mampu melihat peluang tersebut, bahkan sejak ia masih sekolah di jenjang SMA.
“Ketika itu kami mengembangkan puluhan diversifikasi energi. Namun, yang paling ideal adalah biodiesel,” kata Andi, milenial asal Makassar yang sudah mempunyai usaha biodiesel berskala industri bernama GenOil sebelum berusia 21 tahun.
Bahan bakar biodiesel dari minyak jelantah bisa mengatasi masalah dari berbagai aspek, termasuk kesehatan dan masalah lingkungan hidup.
“Minyak jelantah yang dibuang sembarangan akan berpengaruh langsung terhadap lingkungan hidup. Jika menumpuk di selokan, akan menimbulkan bau dan air selokan jadi kotor. Jika terserap di tanah, kualitas tanah akan menurun," ujar
Ricky Amukti, Engagement Unit Manager Traction Energy Asia.
Jika tertarik untuk menjajal usaha ini, simak 5 kiat sukses berikut ini:
1. Pastikan Ada Kebutuhan.
Andi terpikir untuk membuat biodiesel dari minyak jelantah karena melihat ketika itu terjadi kelangkaan BBM yang hampir merata di Indonesia. Tak jauh dari kotanya, banyak nelayan tak bisa melaut, karena tak kebagian bahan bakar.
Dia berusaha mencari pengganti energi terbarukan agar bisa digunakan oleh para nelayan dan solusinya sesuai dengan kebutuhan para nelayan.
"Ketika itu, biodiesel bisa menjawab masalah kelangkaan bahan bakar yang mengancam kedaulatan energi di masa mendatang,” kata Andi, yang dalam satu bulan bisa meraih omzet sekitar Rp200 juta.
Selain ada kebutuhan akan bahan bakar alternatif, ada pula kebutuhan untuk menyelamatkan lingkungan dari ancaman perubahan iklim. Biodiesel berpotensi mengurangi 91,7 persen emisi karbon dibandingkan solar.
2. Bangun Jejaring
Andi pernah bergabung dengan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), mencari teman-teman yang memiliki visi serupa. Dia juga pernah memenangkan kompetisi Ideas for Indonesia dan diberangkatkan ke Inggris untuk belajar di berbagai forum.
Di sana dia mendapatkan banyak teman baru dari luar negeri untuk berbagai pengalaman hingga peluang kerjasama.
Adapun, Traction Energy Asia sendiri menginisiasi Asosiasi Pengelola Minyak Jelantah. Ricky menuturkan bahwa tujuannya adalah advokasi kebijakan agar minyak jelantah diatur oleh regulasi.
3. Kedepankan Berpkir Inovatif
Bagi Andi dan Ricky, meski amat menjanjikan, bisnis pengolahan jelantah jadi biodiesel masih memiliki banyak tantangan, antara lain dalam teknologi pengolahan dan proses pengumpulan minyak jelantah.
Untuk mengumpulkan pasokan minyak, Andi membuat bank minyak jelantah RT/RW dengan fasilitas seperti check point dan jerigen. Dengan ini dia dapat mengintegrasi satu kota.
Namun, untuk membuat bank minyak jelantah yang ideal, diperlukan biaya tidak sedikit. Oleh karena itu Andi mengajak perusahaan besar untuk bekerja sama membuat bank minyak jelantah melalui program CSR.
Hingga saat ini dia sudah membuat bank sampah di sekitar 20 sekolah, menyasar 500 siswa yang berarti membidik 500 rumah tangga.
Tantangan lain dari sisi teknis biodiesel adalah karakteristik bawaan dari minyak jelantah yang akan sulit memenuhi tuntutan tinggi kualitas biodiesel untuk B30.
Sedangkan dari sisi bisnis, menurut Hudha, keberadaan minyak jelantah sebagai bahan baku yang tersebar dan tidak terpusat akan menyulitkan membangun pengolahan biodiesel dengan kapasitas yang besar untuk mendapatkan skala keekonomian terbaiknya.
"Jadi mungkin solusi yang baik adalah bagaimana mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati dari minyak jelantah melalui skema niaga langsung ke end user (skema tertutup) di luar dari skema B30 yang berlaku secara nasional," katanya.
4. Jangan Bosan Mengedukasi
Berdasarkan penelitian, dari 16,2 juta kiloliter konsumsi minyak jelantah hanya 3 juta kiloliter minyak jelantah yang mampu dikumpulkan di tahun 2019, 2,43 juta kiloliter di antaranya didaur ulang untuk dikonsumsi kembali.
Padahal minyak goreng yang dipanaskan berulang dan minyak jelantah yang dijernihkan lalu dipakai lagi, berpotensi menimbulkan berbagai macam penyakit, seperti penyakit jantung, ginjal, dan stroke.
Edukasi soal bahaya minyak goreng daur ulang inilah yang dilakukan oleh Andi dan timnya. Ketika memasak, sebetulnya hanya 30 persen minyak goreng yang terserap, sisanya menjadi limbah.
Dia mengajak masyarakat menabung minyak jelantah. Nantinya, tabungan minyak jelantah ini ditukar dengan minyak goreng baru dan nantinya terbiasa mengonsumsi minyak goreng yang sehat.
Andi juga mengedukasi nelayan yang awalnya enggan menggunakan biodiesel karena warnanya berbeda dari solar, sehingga mereka khawatir kapal jadi rusak. Andi memastikan, selain harganya lebih murah daripada solar, biodiesel juga tidak akan merusak mesin kapal.
5. Libatkan Masyarakat di Sekitar
Ricky menyebutkan, sejumlah pengusaha biodiesel di berbagai kota mempekerjakan masyarakat lokal untuk mengolah dan menjual produk olahan jelantah, sehingga ia melihat bahwa usaha ini mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Andi, yang membangun bisnis bersama lima teman, merekrut lebih dari dua puluh mantan preman untuk bantu mencari bahan baku. Dia juga memberdayakan masyarakat untuk mengumpulkan jelantah dan memberi upah berdasarkan sistem profit sharing. Setiap satu kilogram jelantah, Andi memberi Rp1.000.