Bisnis.com, JAKARTA — Taipan Indonesia, Sukanto Tanoto, kembali menambah investasinya di Negeri Tirai Bambu senilai US$1,5 miliar atau setara dengan Rp24,32 triliun melaui perusahaannya, Royal Golden Eagle.
Sukanto Tanoto menggandakan investasinya di China dengan rencana membangun fasilitas senilai US$1,5 miliar untuk memproduksi serat lyocell, bahan mentah yang digunakan untuk membuat kertas dan tekstil, di wilayah China bagian timur, provinsi Shandong.
Melansir Forbes, perusahaan yang berbasis di Singapura itu menandatangani perjanjian dengan pemerintah provinsi Shandong untuk membangun fasilitas tersebut. Fasilitas ini akan memproduksi 600.000 ton serat lyocell setiap tahun ketika memulai produksi komersial.
Investasi terbaru ini terjadi setelah grup tersebut menyelesaikan pengambilalihan perusahaan kertas tisu raksasa China, Vinda International Holdings, senilai US$3,3 miliar pada Maret lalu.
RGE terus memperkuat kedudukannya di China dalam beberapa tahun terakhir. Anak usahanya, Asia Symbol, mengoperasikan fasilitas manufaktur di provinsi Shandong dan Guangdong, dengan pabrik tersebut setiap tahunnya memproduksi 2,2 juta ton pulp, 1,5 juta ton kertas halus, 600.000 ton kertas karton, dan 250.000 ton kertas tisu.
Grup itu juga telah berkembang di Brasil. Pada Januari 2023, unit RGE, Bracel, mengakuisisi OL Papeis dari Brasil dan pada bulan April tahun lalu mengumumkan investasi sebesar US$500 juta untuk membangun fasilitas kertas tisu dan pulp di negara tersebut.
Baca Juga
Berdasarkan data terakhir Forbes, Sukanto Tanoto tercatat memiliki kekayaan bersih sebesar US$3,1 miliar atau sekitar Rp50,27 triliun hasil dari kepemilikannya di RGE, konglomerat terdiversifikasi dengan aset lebih dari US$35 miliar di industri pulp dan kertas, minyak sawit, dan energi, yang mempekerjakan 70.000 orang di seluruh dunia.
Melalui cabang real estatnya, Pacific Eagle Real Estate, dia juga telah memperluas portofolio propertinya di China, Singapura, dan Eropa.
Sukanto Tanoto juga saat ini dikabarkan sedang melakukan pembicaraan dengan miliarder Singapura Kwek Leng Beng, yang keluarganya mengendalikan raksasa real estat City Developments, untuk mengejar peluang potensial di bidang real estat di Inggris.