-- Umumnya orang mencari alasan karena takut mendapatkan dampak buruknya. Akibatnya kita cenderung mencari-cari alasan bahkan cenderung berbohong--
“Ketika ada niat kamu akan mencari jalan, ketika tidak ada niat, kamu akan mencari alasan!”
Di dunia ini kita mengenal orang-orang yang mencari alasan (excuser) serta orang-orang yang mencari jalan keluar (problem solver). Seorang excuser, selalu saja ada alasannya mengapa dia melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Sementara itu, seorang problem solver, selalu mencari solusi dan kalaupun belum ketemu, akhirnya dia akan berusaha mencarinya!
Keduanya, saya ibaratkan dengan kisah ini. Ada dua penjelajah yang memutuskan untuk melakukan perjalanan yang jauh. Sama-sama keduanya sudah siap. Namun, hingga sore hari dan keesokan harinya, yang satu telah berjalan dan sudah melangkah jauh.
Sementara yang satunya lagi, masih mikir-mikir soal apakah itu waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan. Masih mikir soal apakah perbekalannya mencukupi atau tidak, dan lainnya. Hingga akhirnya, si pengelana kedua ini menunggu berhari-hari serta tidak jalan-jalan, kerena terus beralasan soal tidak siapnya dia untuk melakukan perjalanan itu.
Ilustrasi dua pengelana di atas, menggambarkan si pencari jalan serta pencari alasan. Dalam berbagai situasi, seorang pencari jalan akan mencari solusi. Bahkan dalam situasi dan pertanyaan yang sulit sekalipun, seorang yang terbiasa mencari jalan, akan berusaha menemukan jalan keluarnya.
Misalkan saja, saya teringat ketika melakukan suatu wawancara sewaktu di perusahaan saya dulu, salah satu pertanyaan yang iseng-iseng saya tanyakan adalah, “Berapa banyak bola kasti yang bisa dimasukkan ke dalam pesawat?.”
Nah, menyikapi pertanyaan ini, seorang pencari alasan akan berkata, “Mana saya tahu.” Namun, seorang pencari jalan keluar akan berkata, “Saya akan cari denah pesawat untuk tahu ukuran pesawat serta ukuran bola kastinya dan saya akan hitungkan!”
Hal itu mungkin contoh yang tampaknya berlebihan. Namun intinya, ketika dihadapkan pada masalah, maka seorang pencari jalan akan berusaha berpikir keras serta menemukan jalan keluar dari situasi yang dihadapinya. Mereka pun tidak mudah menyerah.
KENAPA SUKA CARI ALASAN?
Pertama, umumnya orang mencari alasan karena takut mendapatkan dampak buruknya. Inilah hal yang kita pelajari sajak kecil. Akibatnya kita cenderung mencari-cari alasan bahkan cenderung berbohong. Misalkan saja seorang supir ketiduran di parkiran, dan ketika dipanggil-panggil atasannya. Akhirnya, setengah jam kemudian, barulah supir itu muncul.
Tatkala ditanya kenapa dipaggil tidak menjawab, si supir itu berkata, “Sinyal di sini buruk Pak!.”Atau misalkan ketika seorang anak tidak mengerjakan PR-nya lalu ditanya sang guru, “Kenapa tidak mengerjakan?” Jawabnya, “Kemarin saya sakit, Pak.”
Kedua, alasan dibuat untuk mencari pembenaran atas apa yang dilakukan. Misalkan saja seorang remaja memukul seorang pengunjung lain di sebuah diskotik. Lantas, dia ditanya mengapa memukulnya, jawabnya adalah, “Habis dia senggol saya duluan.”
Ketiga, alasan biasanya dibuat agar seseorang dapat dimaafkan ataupun diterima perilakunya. Misalkan, ketika seorang istri ngambek karena suaminya pulang sangat telat, lantas suaminya berdalih, “Mama jangan marah lagi, kan ayah pulang malam demi cari nafkah buat anak-anak!”
Keempat, adalah karena tidak ada niat sama sekali, sehingga dibuatlah berbagai alasan. Misalkan saja, seorang karyawan ditanya mengapa tidak mengikuti suatu SOP (standard operating procedure) yang baru. Ternyata, dia beralasan, “Habis prosedurnya sulit dipahami Bu!”
Padahal, kalau diteliti lebih lajut, sebenarnya si karyawan ini sama sekali tidak suka dan tidak ingin menjalankan prosedur yang baru, tetapi daripada dibilang tidak kooperatif, maka dia pun mencari-cari alasannnya.
MELUMPUHKAN ORGANISASI
Berhati-hatilah dengan alasan-alasan yang nantinya, perlahan-lahan bisa membunuh suatu organisasi. Nah untuk itu ada sebuah kisah fabel yang menarik. Diceritakan bahwa di sebuah ladang, terdapat gerombolan domba yang sangat sulit didekati para serigala karena dijaga ketat pemiliknya.
Berbagai cara yang dapat dipikirkan oleh serigala sudah diantisipasi oleh pemiliknya, termasuk membangun pagar yang tinggi. Akhirnya, suatu ketika serigala menemukan bulu domba yang tercecer.
Lantas, dengan pintarnya serigala lalu menyamar menjadi domba dan sejak itulah si serigala bisa bebas keluar masuk perkarangan itu serta memakan satu demi satu domba-domba di sana tanpa ketakuan pemiliknya.
Nah, kisah di atas sebenarnya juga menggambar kondisi oganisasi ketika orang-orang mulai membuat alasan atas apa yang dilakukan ataupun yang tidak dilakukannya. Kalau dikatakan, excuse (alasan) dapat diibaratkan seperti serigala berbulu domba itu. Awalnya kelihatan sepele. Namun, ketika dibiarkan maka makin lama ia akan menghancurkan tim dan juga organisasinya.
Karena itulah, sangat disarankan bahwa perusahaan harus mengakui bahwa excuse (alasan) adalah masalah. Bahkan, bukan cuma sekadar masalah, tetapi masalah serius! Dan karena itulah, organisasi tidak boleh terus-menerus mentoleransi adanya alasan-alasan ini. Dan ke depan, organisasi harus bertekad meminimalisasi berbagai bentuk excuse di kantor!
BAGAIMANA MENYIKAPI?
Pertama, pertanyaan yang paling sering diajukan kepada saya adalah, “Pak, bagaimana caranya kita bisa membedakan apakah itu alasan ataukah itu fakta yang sesungguhnya.”
Ambil contoh, ketika seorang karyawan terlambat menyelesaikan laporan akhir bulan. Tatkala ditanya, dia menjawab dengan serius, “Bulan ini ada banyak laporan lain yang perlu diselesaikan.” Nah, pertanyaannya sekarang apakah ‘banyak laporan lain’ itu tergolong alasan atau fakta yang sebenarnya.
Jawaban saya sederhana. Untuk mudahnya, semua jawaban seharusnya diasumsikan sebagai bentuk alasan. Apapun jawabannya, itulah bentuk alasannya. Sebab, kalau kita mendefinisikan alasan, maka maknanya adalah segala sesuatu yang dijadikan sebagai “pembenaran” atas dilakukan atau tidak dilakukannya sesuatu!
Nah, masalahnya adalah ada alasan yang bisa diterima dan alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Inilah yang kemudian membuat kita menilai apakah suatu alasan itu masuk akal ataukah tidak.
LANGKAH PENTING MENYIKAPI ‘ALASAN’
Ingatlah selalu prinsip 6 “C” untuk menyikapi alasan-alasan di kantor. Mulai sekarang, sebagai pribadi maupun organisasi, belajarlah pertama-tama confront (hadapi dan tantang) alasan yang diberikan, terimalah dulu alasan yang diberikan.
Namun, menerima bukanlah berarti Anda harus setuju. Berikutnya adalah categorize atau kategorikan alasan itu, masuk akal atau tidak. Langkah berikutnya, lakukancareful listening untuk mendengarkan penjelasan lebih jauh atas alasan yang diberikan, dan kalau perlu berikan berbagai pertanyaan untuk menggali alasannya.
Lantas, jika memungkinkan lakukan compare dengan orang-orang yang berada dalam situasi yang sama dengan dirinya. Apakah orang-orang tersebut mampu melakukan ataukah juga dalam situasi yang sama. Dengan demikian, kita bisa tahu apakah ini akal-akalannya untuk bikin alasan saja.
Berikutnya, kalau bisa lakukanlah collection informasi untuk memperjelas alasan yang diberikan. Misalkan kalau terlambat, apakah betul-betul kondisi di jalan memang macet seperti yang dia terangkan. Dan akhirnya langkah yang terpenting adalah compromising less with excuse (tidak berkompromilah dengan alasan-alasan).
Saya teringat dengan sebuah banner di depan pintu masuk ex-kantor saya yang bunyinya bagus, “Alasan-alasan MATI di sini!.” Akhir kata semoga tulisan ini membuat kita lebih produktif mencari jalan keluar, bukannya mencari alasan! (ilustrasi:managewell.net)
*) Anthony Dio Martin adalah motivator dari HR Excellency