Bisnis.com, JAKARTA - Supriyatna Dinuri tidak pernah menyangka dirinya bisa memiliki perusahaan kopi luwak setelah sebelumnya hanya bekerja sebagai petani kopi biasa.
Pada mulanya, pria kelahiran Pengalengan, Bandung 24 September 1965 ini, menekuni bisnis sayuran karena sebagian besar keluarganya mempunyai profesi yang sama.
Usaha milik lulusan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Jurusan Peternakan tersebut akhirnya tumbang pada tahun keempat. Penyebabnya, risiko merugi di bisnis sayuran sangat tinggi.
Tidak lama meratapi kegagalan, Supriyatna mencari informasi mengenai komoditas yang prospektif serta cocok untuk ditanam di lahan dataran tinggi. Akhirnya, kopi arabika menjadi pilihannya.
Ayah dari dua anak tersebut lan tas membeli 10.000 bibit kopi dengan menguras isi tabungan miliknya senilai Rp15 juta. Tak hanya itu, mobilnya pun ikut dijual guna menutup biaya tanam kopi sebesar Rp48 juta.
Memasuki masa panen tahun ketiga penanaman, seluruh pohon kopinya mati. Pengalaman ini membuka matanya. Dia sadar bahwa dalam menjalankan usaha harus memiliki bekal berupa pengetahuan, bukan hanya uang.
Pak Nuri, sapaan akrabnya, tetap bertahan dan memilih belajar mengenai budidaya kopi.
Dinas perkebunan setempat juga sering mengajaknya untuk mengikuti berbagai pelatihan guna mengembangkan kebun kopi yang hanya 8 hektare dengan jumlah tanaman 45.000 batang.
Pembelajaran mengenai dunia perkopian membuatnya tertarik un tuk memproduksi kopi luwak. Komoditas eksotik ini merupakan produk asli Indonesia karena sangat jarang bisa diproduksi di negara lain.
Kopi luwak diklaim berkualitas tinggi karena sang produsen ‘meminjam’ naluri alami musang atau luwak dalam Bahasa Jawa, untuk menyortir kopi dengan cara dicerna. Pembeli kopi luwak di pastikan masyarakat kelas menengah ke atas karena harganya yang selangit.
Sejak 2006, penerima penghargaan Ketahanan Pangan 2009 ini, lantas fokus untuk mengembangkan usaha barunya itu. Kopi luwak berkualitas tinggi hanya bisa di hasilkan dari luwak yang sehat. Jumlah dan kualitas makanan musang harus diperhatikan agar musang tetap produktif.
Menurutnya, prinsip yang harus dipegang oleh peternak adalah luwak tersebut mengonsumsi buah kopi bukan sebagai ma kanan pokok, melainkan suplemen tambahan. Jika luwak hanya mengonsumsi kopi, kopi luwak yang dihasilkan tidak berkualitas.
“Di tempat saya, luwak itu sudah kenyang dan memakan buah kopi karena memang butuh untuk tambahan nutrisi. Pagi hari kami berikan telur ayam kampung beserta madu, sedangkan sore giliran buah-buahan agar tetap sehat,” ucapnya saat ditemui Bisnis di sela-sela pameran In trade 2013 di Kuala Lumpur, Selasa (26/11/2013).
Mamalia yang mempunyai nama latin Paradoxurus hermaphroditus ini membutuhkan penanganan khusus sesuai dengan habitatnya. Contoh, kandang harus dibuat luas karena luwak merupakan hewan yang aktif. Nuri dibantu oleh tiga orang sanak keluarga dan dua karyawan.
Belum adanya mesin panggang dan pembubuk membuat Nuri memproduksi kopi luwak secara tradisional yakni dipanggang menggunakan alat penggorengan dan ditumbuk.
Perlahan tapi pasti, usaha Nuri yang menggunakan nama Malabar Kopi Luwak berkembang pesat. Dia akhirnya bisa menginvestasikan keuntungan untuk membeli alat produksi hingga Rp2,8 miliar di antaranya untuk membeli satu unit alat pemanggang dan dua mesin pembubuk.
Dia menjelaskan arus produksi kopi luwak. Pertama, kopi yang telah dikeluarkan dalam bentuk feces yang disebut horn skin dibersihkan untuk menghasilkan green bean. Kemudian, kulit green bean dipecah dan dipanggang untuk menghasilkan roasted bean.
Terdapat tiga jenis roasted bean yakni light, medium, dan dark tergantung lama pemanggangan. Semakin gelap warna biji kopi, maka akan semakin pahit.
Saat ini, total luwak yang dimiliki sudah mencapai 187 ekor dengan kapasitas produksi mencapai 600 kilogram kopi luwak dalam bentuk green bean per bulan. Demi menjaga keseimbangan ekosistem alam, Nuri melepaskan luwak yang telah berusia 8 bulan miliknya ke alam bebas.
DISERAP PASAR EKSPOR
Dari 600 kilogram kopi luwak produksinya, sebagian besar diserap pasar luar negeri di antaranya China, Taiwan, Korea Selatan, Maroko, Ceko, dan Jerman.
Selain itu, Malabar juga memasok kopi untuk sejumlah kafe di Bandung, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. “Permintaan dalam negeri hanya 150 kilogram per bulan. Mungkin karena daya beli masyarakat yang masih rendah terhadap produk berkualitas tinggi.” tuturnya.
Malabar dijual dengan harga Rp400.000 per 100 gram. Ukuran ke masan tersebut bisa digunakan un tuk membuat kopi luwak setara dengan 10 cangkir.
Malabar tidak hanya menjual kopi luwak dalam bentuk bubuk atau biji, melainkan juga dalam ben tuk minuman jadi. Di Bandung, biasanya Nuri menjual Rp40.000 per cangkir yang berisi 125 mililiter.
Pria yang telah mempunyai seorang cucu tersebut kini dibantu 110 orang karyawan yang terdiri dari petugas bagian pemeliharaan kebun, pemeliharaan luwak, grader, penyimpanan, dan pemasaran. Omzet yang berhasil diraupnya bahkan sudah menembus Rp400 juta per bulan.