Stephanus Ardianto, yang biasa disapa Steve, punya pengalaman cukup lengkap di prinsipal otomotif Jepang, Nissan. Kariernya dilalui dari posisi assistant manager di divisi kendali produksi. Dia juga pernah menangani supply chains hingga kendali produksi, ekspor impor bahkan corporate planning. Apa saja kiat sang CEO dalam menjalankan roda bisnis Nissan Motor Indonesia ini? Bisnis mewawancarainya baru-baru ini. Berikut petikannya:
Apa beda menjalankan bisnis ini di luar dan di Indonesia?
Banyak ya. Faktor internal itu terutama mindset and behaviors dari orang-orangnya. Contohnya saat saya pegang dua regional offices, di Bangkok dan Singapura. Kerjaan regional office itu very stressful, kenapa? Karena regional office ini sebenarnya intermediary office, dia harus urus distributor di negara-negara yang front line. Jadi kami punya distributor di Brunei, Hong Kong, atau Malaysia. They’re the front line. They’re the one who fight in the battle field. Nah, ini orangnya kalau enggak kuat mental banyak yang keluar karena stres. Orang Singapura saya lihatnya dia orangnya lebih tahan tekanan. Ketahanan mereka terhadap stres lebih baik. Mereka bisa pisahkan antara hal pribadidan bisnis. Kalau di Thailand a bit sensi lah. Mungkin mirip orang Indonesia ha-ha-ha. Jadi mereka kalau berantem, gagal, emosi dan stres. Jadi keluar.
Apa lagi yang menjadi tantangan mengelola bisnis di sana?
Data infrastruktur itu sangat berbeda. Kalau di satu negara data infrastrukturnya lengkap itu enak. Jadi kami mau melakukan analisis apa saja, bisa. Indonesia is oke-lah so so. Ada beberapa negara yang gelap. Mau tahu hasil jualan saja enggak ada. Bagaimana mau menganalisis. Misalnya seperti Laos, Kamboja, Vietnam. Jadi kami kalau mau tahu hasil penjualan itu mendatangi showroom satu-satu. Jadi dia misalnya seperti data exchange antara agen tunggal pemegang merek [ATPM] itu enggak ada. Level regulasi pemerintah masih kurang jelas.
Tapi yang lebih menarik itu how to manage the people. Dari situ belajar banyak karena culture-nya beda-beda. Jadi seperti di mereka itu, contoh sederhana, misalnya masalah human resources beda. Singapura misalnya, cuti itu enggak bisa diganggu gugat. Mereka dianggap sudah cukup dewasa untuk menentukan cuti. Jadi karyawan kasih tahu cuti itu bukan minta izin, tapi inform. Kalau di Indonesia cuti itu seakan-akan we ask for approval.
Terus yang menarik di Singapura, baik karyawan dan company punya hak yang sama. Kalau karyawan mau resign besok, company harus terima. Begitu juga company bisa mengatakan we don’t need your service anymore without any reason. Kalau di Indonesia, once you become karyawan tetap, company can’t do that. Di sana malah enggak boleh kasih alasan, karena kalau dikasih alasan bisa dibuat macam-macam. Selain itu fundamentally sama, bagaimana untuk bersikapobjektif, termotivasi, how to review, reward and punishment. Memang yang agak berbeda itu kultur dan untuk more debate conflict itu lebih acceptable di sana.
Etos kerja. Ini kalau saya bilang, Singapura buat saya itu benchmark. Mereka kerjanya keras, tapi efisien, sedangkan kalau di Jepang, kadang-kadang saya lihat mereka kerja dari pagi sampai malam. But actually I don’t know what they are working for. Sometimes buat saya tidak efektif. Kalau Thailand is a bit lacks. Indonesia between Indonesia and Singapore, ha-ha-ha.
Kalau bisa memilih nyaman di mana?
Indonesia. Walaupun di Indonesia harus banyak follow up dan sedikit marah-marah. Tapi still ya, nyaman di Indonesia, kita kan komunikasi nyaman di sini ha-ha-ha.
Pewawancara: Dimas Novita Sari, Lingga S. Wiangga, Farodlila Muqoddam