Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Cara CEO Nissan Motor Indonesia Menangani Krisis

Berikut ini wawancara Bisnis dengan Stephanus Ardianto, CEO Nissan Motor Indonesia.
Stephanus Ardianto./Bisnis.com
Stephanus Ardianto./Bisnis.com

Stephanus Ardianto, yang biasa disapa Steve, punya pengalaman cukup lengkap di prinsipal otomotif Jepang, Nissan. Kariernya dilalui dari posisi assistant manager di divisi kendali produksi. Dia juga pernah menangani supply chains hingga kendali produksi, ekspor impor bahkan corporate planning. Apa saja kiat sang CEO dalam menjalankan roda bisnis Nissan Motor Indonesia ini? Bisnis mewawancarainya baru-baru ini. Berikut petikannya:

Sepanjang karier Anda di Nissan, kapan Anda merasa berada dalam situasi yang paling berat?

Paling susah pas krismon. That is the worst experience we ever had. Bayangkan  saja, pada 1998 kami tutup pabrik 1,5 tahun. For 2 years we are in the dark situation, enggak bisa ngapa-ngapain. Pada waktu itu semua perusahaan memiliki utang dalam bentuk dolar karena rate dolar pada masa pemerintahan Soeharto, almost stabil dan interest dolar rendah.

Pada 1997 otomotive market lagi booming. TIV [total industry volume] mencapai 500.000, sehingga order banyak. Semuanya itu order-nya pake LC (letter of credit). Jadi berapa bulan, bayangkan itu dolar jadi berapa. Kurs dari Rp2.500 menjadi Rp15.000, jadi utangnya itu mendadak naik 6 kali lipat.

Jadi bagaimana tidak bangkrut waktu itu. Market dari 500.000 turun jadi 50.000. Saya punya anak buah dari 11 orang jadi satu orang. Tiga bulan pertama masih mencoba positive thinking, after that 1,5 tahun mau ngapain. Tapi waktu itu kami masih bisa survive, inisiatif untuk ekspor komponen. Itu yang menolong. Sekarang ini tiap ketemu problem yang paling susah, paling stres tapi selalu ingatnya saat krisis. Jadi we can still smile.

Apa yang Anda benahi pertama kali pada saat itu?

Pertama kami bikin inventory. Jadi kami cleansing stock-stock yang lama. Kami adjust production, yang memang sakit sih, painful. Kemudian, kami fokus ke model-model yang profitable untuk recover. Ada beberapa model yang tidak profitable, enggak kami paksakan terlalu banyak. Lalu cost reduction.

Selanjutnya kami harus sukses meluncurkan produk baru. Waktu itu Datsun dan X Trail. Karena action kesatu hingga ketiga hanya bisa memperbaiki yang sudah jalan. Tapi untuk turn around kami harus mengeluarkan model baru. So, we do a lot preparation to make that successful. So far, oke-lah we did it.

Bagaimana kiat Anda memecahkan masalah?

Untuk employee kami bikin internal communication yang jelas. Ini lho yang mau perusahaan tuju. Ini kami buat secara transparan. Jadi tiap tahun kami buat objektifnya jelas. Semua harus kerja mengarah ke objektif ini, jangan tiap departemen mengerjakan hal  yang berbeda. Kalau ada isu kami bicarakan bersama. Sayangnya kondisi tersulit adalah faktor eksternal. Di awal 2015 kami sudah dalam posisi yang sangat baik, tapi sayangnya waktu itu dolar menguat lagi. Jadi mulai pusing lagi. Tapi ya sudah that’s business.

Apa pilihan gaya kepemimpinan Anda?

Saya berusaha untuk se-simple dan se-practical mungkin. Saya tak suka konsep yang berbunga-bunga, dan tidak jelas. Saya orangnya pragmatis dan practical. Bisnis otomotif adalah salah satu bisnis yang paling stres karena kompetisi begitu ketat. Saat ini suplai masih lebih besar dari demand. Di Indonesia kapasitas terpasang itu 2 juta, demand-nya 1 juta. Jadi, the competition is very fierce. Bisnis ini padat modal dan marginnya enggak besar. Untuk itu harus dibuat practical dan simple sehingga tidak stres. Saya selalu berusaha seperti itu. Pada dasarnya saya itu orangnya agresif. Kalau ada maunya itu sekarang harus ada dan suka nguber-nguber, enggak sabaran. Cuma karena makin lama makin tua, bisa agak sabaran ha-ha-ha.

Selain usia, ada beberapa pengalaman yang membuat hidup itu berubah. Pada perkembangannya saya bertemu dengan bos yang cara memimpinnya calm. Dia membiarkan orang bekerja dengan caranya masing-masing. Jadi ada dua sisi, bahwa enggak selamanya manage like machine is good. Jadi the best way itu combine both. Kapan harus nguber-nguber kapan harus a bit more coach. Kalau bos itu perintahnya jelas dan detail. Kalau coach jelaskan tujuan dan terserah karyawan. Dan ketika ada masalah dia bisa menempatkan dirinya bersama-sama dengan tim-nya. 

Pewawancara: Dimas Novita Sari, Lingga S. Wiangga, Farodlila Muqoddam


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Redaksi
Editor : Setyardi Widodo
Sumber : Bisnis Indonesia edisi 18/11/2015
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper