Bisnis.com, MATARAM -- Peristiwa Bom Bali I nampaknya menjadi momen yang tidak bisa dilupakan oleh Mawarianti. Pengrajin sekaligus pebisnis kerajinan ketak asal Lombok. Dampak dari peristiwa tersebut adalah menurunnya omset penjualan kerajinan ketak sebagai dampak dari runtuhnya industri pariwisata di Bali dan Lombok.
"Sebelum bom Bali, tamu-tamu banyak datang sehingga penjualan bisa dikatakan lumayan bagus. Sejak peristiwa Bom Bali, kami para pengrajin banyak yang gulung tikar karena tidak bisa bertahan," ujar Mawar kepada Bisnis.
Menghadapi masa sulit tersebut, Mawar harus memutar otak agar bisa terus bertahan. Pasalnya, banyak keluarga yang menggantungkan diri dari kerajinan ini. Mulai dari para pekerja pencari bahan baku hingga para pengrajinnya.
Mawar lantas melakukan pendekatan dengan instansi pemerintah seperti Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Dinas Perdagangan dan Perindustrian hingga Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTB. Usaha yang dirintis Mawar sejak 1999 ini pun mulai mendapat perhatian dan arahan agar bisa mengembangkan diri dan merambah pasar lain.
Berkat kesempatan pameran diberagam kesempatan yang diberikan kepadanya, sejak 2010 Mawar sudah bisa melakukan ekspor kerajinan ketak ke beberapa negara seperti Korea, Jepang, dan Australia.
"Kerajinan ini masih sangat potensial untuk dikembangkan. Apalagi ini kerajinan dari Lombok. Sekarang pariwisata di sini (Lombok) sedang naik daun. Otomatis ada dampak yang ikut kami rasakan," ujarnya.
Harga yang dipatok untuk kerajinan Ketak ini pun beragam, mulai dari Rp5 ribu seperti tatakan gelas dan piring hingga puluhan juta. Harga ini sangat bergantung dari ukuran, tingkat kerapatan anyam, dan juga kesulitan motif.
Dalam satu minggu, Mawar bisa menghasilkan ribuan buah kerajinan ketak. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan permintaan ekspor, Mawar juga bekerja sama dengan beberapa pengepul untuk mengumpulkan kerajinan dari para pengrajin lainnya.
Sayangnya, produktivitas proses pengerjaan kerajinan ini biasanya akan terhambat ketika musim panen tiba. Para pengrajin, terkadang memilih untuk beralih sementara menjadi pemetik buah atau pemanen padi jika sudah musim panen tiba.
"Kendalanya bukan dari bahan baku, bukan dari pemasaran. Tapi lebih kepada sumber daya manusia yang kurang khususnya pada musim panen ini. Jadi kami agak kewalahan," ujar Mawar.
Sadar akan banyaknya permintaan kerajinan ketak ini, Mawar tak ingin kekurangan bahan baku. Biasanya, Mawar telah menyiapkan bahan baku untuk proses produksi selama seminggu. Bahan baku tersebut diperoleh dari hutan di Lombok dan Sumbawa. Tak jarang bahan baku harus didatangkan pula dari Nusa Tenggara Timur.
Pasar ekspor yang cukup besar membuat Mawar ingin terus mengupayakan agar kerajinan ini bisa makin banyak diterima oleh masyarakat global. Bahkan, menurut Mawar, saat ini sudah ada desainer yang mengajak untuk berkolaborasi dan menawarkan untuk membantu memasarkan kerajinan Ketak.
"Saya pribadi memang lebih banyak fokus untuk tas. Karena tas ini punya nilai tambah yang tinggi dan bisa dimodifikasi sehingga banyak model. Harga jual juga bisa meningkat," ujarnya.
Kini dalam satu bulan setidaknya Mawar bisa mengantongi omset mulai dari Rp 50 juta hingga ratusan juta. Metode promosi yang dilakukan pun tergolong konvensional, hanya dengan mengandalkan kartu nama yang dibagikan pada saat mengikuti pameran.
"Modalnya ya kartu nama. Tapi sekarang saya juga sudah mulai memanfaatkan instagram @mawar_ketak_lombok untuk sarana promosi yang efektif," tambahnya.
Mawar berharap bisa menggarap lebih lagi untuk pasar ekspor ketak ke Jepang. Pasalnya, minat dari negeri sakura untuk kerajinan ini tergolong tinggi.