Bisnis.com, JAKARTA - Menjalani bisnis bersama keluarga sering kali rentan terhadap konflik. Keterlibatan anggota keluarga dalam bisnis dapat menciptakan dinamika yang kompleks dan kadang-kadang emosional.
Pasalnya, dalam kasus ini ada dua peran yang saling terkait. Pertama, peran keluarga. Kedua, peran bisnis. Terkadang, kesulitan muncul ketika anggota keluarga sulit memisahkan antara hubungan pribadi mereka sebagai keluarga dan tuntutan bisnis yang objektif.
PwC Indonesia Entrepreneur and Private Business Leader Irhoan Tanudiredja menyampaikan konflik juga dapat muncul karena adanya faktor emosional yang terlibat dalam bisnis keluarga.
“Penentuan siapa yang akan mengambil alih bisnis di masa depan, bagaimana pembagian tanggung jawab dilakukan dapat memunculkan perbedaan pendapat yang signifikan di antara anggota keluarga,” ujarnya saat ditemui Bisnis, Kamis (15/6/2023).
Baginya, terlepas dari bisnis keluarga yang memiliki kelebihan unik, seperti kepercayaan dan kesamaan nilai-nilai. Penting juga untuk dipahami, apabila konflik seperti ini memang menjadi bagian alami dari proses tersebut.
“Jika konflik sulit diatasi secara internal, pertimbangkan untuk melibatkan pihak ketiga. Mereka dapat membantu dalam memfasilitasi dialog, memberikan wawasan objektif, dan membantu mencapai kesepakatan yang adil,” katanya.
Baca Juga
Selain itu, dirinya menyebutkan mengembangkan proses suksesi yang jelas dan terstruktur dalam bisnis keluarga juga perlu diperhatikan.
Hal ini dapat mencakup penetapan kriteria dan persyaratan untuk calon pengganti, tahapan evaluasi, serta perencanaan dan pelaksanaan transisi kepemimpinan yang efektif. Memiliki kerangka kerja yang transparan dapat mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan kesepakatan.
Dia pun menyampaikan untuk sebuah bisnis keluarga yang terus sustain alias bertahan. Hal paling penting adalah tongkat estafet dari kekuatan visi pendiri harus terus dilanggengkan ke generasi berikutnya.
“Tanggung jawab antar anggota keluarga harus tercipta ya agar menghasilkan sistem yang kokoh sehingga mengakar jadi kultur,” jelasnya.