Di dunia penerbangan saat ini nama Tony Fernandes identik dengan kesuksesan model bisnis low cost carrier (LCC) yang memungkinkan banyak orang terbang dengan pesawat Air Asia dengan biaya supermurah.
Untuk mengetahui lebih banyak tentang strategi bisnis, tantangan, dan rencana ekspansinya, Bisnis mewawancarai pendiri sekaligus Group Chief Executive Officer, AirAsia ini. Berikut petikannya:
Bagaimana mulanya, Anda sampai terjun ke bisnis penerbangan?
Ketika memulai bisnis, saya lihat ada peluang fantastis di Asean. Ini cerita yang luar biasa, tentang bagaimana kami mulai dan di tengah pasar monopoli, dan ketika itu kami tidak punya uang, pengalaman dan bahkan nol dalam koneksi politik. Dunia penerbangan sangat teregulasi dan rata-rata pemerintah punya maskapai nasional.
Jadi cerita ini sebenarnya bagus untuk menginspirasi dan memberi harapan bagi wirausaha muda. Ada cerita lucunya, ketika jalan dari apartemen ke kantor, saya kira tidak akan ada yang kenal saya, ternyata ada juga yang mengenali saya dan banyak orang ingin foto bareng. Bahkan ada seorang anak muda tanya saya bagaimana cara jalankan bisnis sendiri.
Lalu?
Saya bilang dua hal untuk menjalankan bisnis yaitu punya tenaga kerja yang baik dan kedua, marketing. Kebanyakan bisnis di Asean tidak belanja banyak di marketing dan tidak cukup membiayai brand padahal dalam bisnis seperti membiayai sponsor atau apa pun tidak melihat dari bottom line. Atau ini dianggap buang uang.
Kami di Air Asia hanya dapat mewujudkan pertumbuhan dari 200.000 penumpang menjadi 33 juta penumpang dengan cara menyampaikan pesan, mensponsori Manchester United, formula 1 atau membangun brand. Jadi saya luangkan waktu untuk bicara marketing.
Apa kiat Anda selanjutnya?
Jadi ada aspek ketiga yaitu untuk sukses dalam bisnis, orang harus berpikir suatu produk itu bagus kalau dijual kompetitif, dan orang akan beli. Kalau di bisnis musik, punya penyanyi bagus, tapi orang tak tahu tidak ada yang mau beli. Dan kalau orang tahu tapi albumnya tidak bagus juga tidak beli.
Prinsipnya adalah bagaimana menarik minat pembeli. Keempat adalah punya pasar. Buatlah, orang agar menginginkan produk itu. Dari awal hingga akhir. Orang berpikir kalau ke Indonesia tujuan wisatanya adalah Bali, padahal di negara ini banyak tempat menarik seperti Lombok, Medan, Sulawesi, Bandung. Kami menciptakan ini dan berhasil.
Bagaimana Anda mengembangkan bisnis Air Asia?
Mulanya, saya mulai ini karena saya suka musik, saya suka Cici Paramida. Di Bandung ketika ditanya kenapa pilih rute ke Bandung, saya ditertawakan. Saya tidak peduli. Di Bandung, ada universitas, ada wisata belanja dan daerah tujuan turis. Bandung-Singapura, Bandung-Penang banyak orang ke sini tapi banyak rute. Pekan lalu, saya ke airport di Bandung dan ada peningkatan dari 700.000 menjadi 2 juta penumpang ketika saya resmikan di Bandung pesawat yang ada adalah milik TNI-AU.
Jadi saya melihat akan banyak ‘Bandung-Bandung’ lainnya di Indonesia. Ingat turisme menjadi penggerak ekonomi. Secara umum ini juga industri yang bersih. Banyak pembangunan turisme di Indonesia dan konektivitas juga penting untuk ekspansi ke Hong Kong, Bangkok atau Malaysia.
Dengan ini membuat orang Asean saling mengerti. Makin banyak orang Malaysia ke Indonesia atau orang Indonesia ke Thailand, tentu menjadi kuat terutama tiga hal yaitu hidup, kultur seni dan drama yang luar biasa. Di bidang seni Indonesia saya kira Indonesia negara dengan artistik terbesar di dunia, fashion. Kemarin saya beli album Noah, fantastis. Besok juga akan bertemu desainer fashion yang luar biasa, pengalaman yang menarik.
Bagaimana Anda memandang Asean Open Sky?
Saya bangga Malindo ada. Saya inginkan open sky Asean, sehingga pilot Indonesia bisa terbang atau kerja di Malaysia, sebaliknya. Bagus jika ada satu jenis standar, satu air trafic control system untuk maskapai juga semakin bagus.
Apakah Anda juga tertarik mengembangkan bisnis ke model hybrid?
Saya tidak bilang saya paling benar. Dengan satu model, yaitu LCC kami ingin berbeda dan fokus. Selama 11 tahun kami lakukan ini. AirAsia akan tetap fokus pada bisnis low cost carrier (LCC) dibandingkan dengan bisnis jasa penerbangan model hybrid yang mengombinasikan layanan nilai tambah. Model bisnis LCC bisnis yang keras. Strategi serupa juga akan berlaku pada Batavia Air yang proses akuisisinya masih dalam proses dan akan segera selesai.
Dengan posisi satu model, tantangan terberat apa ke depan?
Beli airline, bangun gedung, dan ribuan orang akan beli mungkin adalah bisnis yang mudah bagi sebagian orang. Saya lebih tertarik dengan bagaimana agar anak muda yang ingin menjadi pilot dapat menjadi pilot. Kami ingin buat murah jadi semua orang bisa terbang.
Di samping itu, dengan model LCC, kami tidak perlu tangga sehingga jadi murah, Jadi ya tantangannya adalah bandara. Bandara Soekarno Hatta saya kira sudah padat, slot terbatas. Penyederhanaan aturan penerbangan tentu akan lebih bagus, memudahkan orang Asean bepergian. Di bisnis ini semua tantangan sudah kami hadapi tsunami, flu burung, gempa bumi badai, tingginya harga minyak, krisis kredit, kejatuhan nilai tukar, kaus merah dan kuning di bangkok dan lainnya.
Haruskah Indonesia membangun semacam LCC Airport?
Saya kira begitu. Saya suka LCC Airport. Thailand sudah punya di Don Muang. Saya kira jika dibangun di Surabaya, dan Medan akan bagus, cukup tersedia lahan untuk membangun airport baru. Apa yang Garuda Airways butuh dan yang kami butuh kan berbeda. Malindo Airlines mungkin butuh garbarata, kami tidak. Ibarat mobil ada Kijang dan BMW. Aero service atau full service. Jadi airport punya filosofi untuk membuat semua bisa terbang. Saya harap LLC Airport dan LCC akan memperkuat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Seberapa jauh efisiensi LCC Airport?
LCC airport lebih efisien, contohnya runway. Bayangkan ketika kami harus mengantre pesawat berbadan besar untuk take off belum lagi jika makin lama makin banyak lagi yang akan mendarat per jamnya. Ini memakan waktu lama, belum lagi ketika ada turbulens, baru take off. Jadi iya LCC Airport akan lebih baik.
Berapa persen efisiensinya?
Berat untuk jawab ini. Menurut saya bisa sampai 40% tapi ini belum pasti juga, harus ada studi karena lebih bergantung pada perusahaannya juga.
Sudah puaskah Anda dengan aturan yang ada?
Di Asean belum. Eropa punya satu pasar. Di Eropa ada perusahaan aviasi bersama, jadi engineer sama, air trafic control system juga, di Asia misalnya ke China, Kamboja, Vietnam banyak air control system-nya. Di Eropa cuma satu. Seharusnya lahirnya Malindo bisa menjadi pemicu.
Di klub bisnis Asean ini perlu didorong dan sekarang Asean bisa mulai. Apalagi ada 4 airline Asean yaitu Jetstar gabungan pengusaha Vietnam dan Singapura, Tiger yaitu Indonesia, Filipina dan Singapura, dan AirAsia di samping Malindo. Mungkin perlu empat asosiasi airline? Hahaha.
Pada saat open sky berlaku, bagaimana ini akan membuat maskapai mampu memberi nilai tambah?
Masa depan akan lebih baik, ini akan menekan biaya, kompetisi menjadi lebih fair. Ada kompetisi. Seperti telekom dalam kompetisi selalu ada nilai tambah. Contoh ada sajian makanan yang lebih baik, koneksi lebih baik, tentu baik untuk konsumer. Setiap kompetisi akan ada yang kalah dan ada yang menang dan yang menang yang konsumer. Kompetisi menjadi lebih baik. Jadi saya akan lebih siap, Kompetisi selau membuat lebih baik.
Ada kabar yang mengaitkan Anda dengan Fersindo [PT Fersindo Nusaperkasa] yang dikaitkan nama Anda, Fernandes?
Tentu kami legal masuk sini. Ya saya tak pernah menyadari ini. Jadi cerita aslinya, di Surabaya kami bertemu untuk membahas LCC begitulah kami masuk. Lebih baik tanya ke Fersindo. Yang jelas Fersindo itu bukan [singkatan terkait] Fernandes. Bisnis ini bukan ilegal dan penerbangan adalah bisnis publik, bagus untuk membuka lapangan kerja dan pariwisata.
Setelah akuisisi Batavia rampung, adakah akuisisi lain?
Kami tidak akan melirik maskapai lagi. Saya sendiri tidak percaya dengan akuisisi tapi akan tumbuh secara organik secara umum. Batavia unik. Banyak pesawat kami tambah per tahun mungkin sekitar 10-12 per tahun. Batavia adalah akuisisi langka, tapi sekali lagi akuisisi itu bukan strategi normal saya. Saya percaya pertumbuhan organik lebih baik bagi kami.
Bagaimana transformasi di perusahaan Anda?
Kami lakukan transformasi setiap hari. Kami sangat adaptable. Jadi ibaratnya kami siap berubah setiap hari setiap lakukan kesalahan kami berubah dan tidak banyak birokrasi.
Bagaimana Anda menikmati hidup di sela–sela kesibukan?
Saya suka olahraga dan musik. Kemarin saya dengar orang main keyboard, saya pergi menyaksikannya. Jadi ya, saya menikmati musik. Selain itu, olahraga misalnya sepak bola melalui tim Queen Park Ranger [QPR] dan juga formula satu.
Dalam hal kepemimpinan siapa idola Anda?
Banyak orang menginspirasi saya. Saat muda saya mengidolakan Alexander Agung dia percaya dengan demokrasi kebebasan berpendapat, multikulturalisme, dunia menjadi lebih baik dengan beragam agama. Dalam hal politik atau bisnis setiap hari saya belajar ketika berhenti belajar hidup berakhir.
Siapa tim olahraga favorit anda?
Kalau ditanya fans sudah pasti QPR, saya hanya fokus sama satu saja. Dalam setahun kami ubah QPR, dan dalam setahun kami punya Julius Caesar penjaga gawang yang hebat di dunia. kami butuh rapat, ketemu membuatnya percaya pada visi saya, Ji Sung Park salah satu juara Eropa juga masif di QPR semula tidak mudah untuk didekati, Begitu pula di formula satu.
Kami bangga dengan yang kami capai banyak potensi yang dapat kami ciptakan. Jadi saya senang menjadi chief, Anda lihat tim ini yang kami mau transformasikan Orang tepat jadi saya sedang membangun, memulai tim baru meskipun klub kecil, lebih berat tetapi lebih berarti.
Setelah mewujudkan mimpi di penerbangan, dan olahraga, masihkah ada mimpi lainnya yang belum terwujud?
Kami targetkan nantinya membuka lagi AirAsia di Korea dan India. Kami inginnya AirAsia dikenal di seluruh dunia seperti Coca-Cola. QPR kami inginkan masuk ke liga primer. Jadi tak pernah berhenti mimpi karena berhenti berarti berhenti hidup. Namun, meski tercapai 50% itu sudah lumayan. Anda cuma punya kesempatan sekali jadi kejarlah. (foto: telegraph.co.uk)