Bisnis.com, JAKARTA - Kenyataannya, impian itu banyak yang tak tercapai, bukanlah karena orang itu tidak berbakat atau tidak mampu tetapi karena tidak punya niat serta takut berhadapan dengan ketidaknyamanan.
George Washington Carver, mengatakan “99% kegagalan berasal dari orang yang memiliki kebiasan untuk terus-menerus mencari alasan”. Perhatikan kebiasaan yang sering kita jumpai. Ketika seorang karyawan terlambat bangun, karena nonton bola. Waktu tiba di kantor dengan terlambat, dia mengatakan, “Maaf Pak, jalanan macet!”
Ketika seorang pimpinan mengambil keputusan yang salah dan ternyata gagal, dia beralasan, “timing-nya tidak tepat. Kondisi ekonomi saat ini, ternyata tidak mendukung strategi kita.”
Istilah excusitis memang tidak muncul di dalam kamus resmi, tetapi dalam bahasa motivasi, excusitis adalah suatu gejala yang banyak dibahas. Mudahnya, excusitis adalah kebiasaan Anda untuk mencari alasan-alasan untuk membenarkan apa yang tidak ingin Anda lakukan ataupun apa yang telah Anda lakukan.
Jadi, tatkala Anda sibuk mencari alasan mengapa Anda malas melakukan sesuatu. Ataupun, pada saat Anda mencari-cari alasan untuk menjelaskan mengapa akhirnya Anda mengambil langkah dan tindakan tertentu, Anda sedang mengalami gejala excusitis!
MENGAPA MENCARI ALASAN?
Alasan utama orang membuat alasan adalah mencari rasa aman. Belum lama ini, saya bertemu dengan seorang wanita yang menjerumuskan dirinya dalam suatu hubungan yang berisiko. Berkali-kali dia bercerita soal pacarnya yang sangat kasardan pemarah.
Wanita yang bekerja di bagian administrasi di suatu perusahaan jasa shipping ini memang tidak lagi tergolong muda. Belakangan dia bercerita kalau dia pacaran dengan seorang pemuda lebih muda yang sangat kasar, baik verbal maupun fisik. Dari berbagai ceritanya, saya berpikir betapa berbahayanya hubungan itu.
Setahun berlalu dan saat bertemu dengannya, dia justru tampak lebih kusut. “Saya masih dengan pemuda itu, Pak. Sebab, si pemuda itu tampaknya sudah lebih baik dan sudah berjanji akan lebih baik. Karena itu, saya masih kasih kesempatan!”
Begitu pula, saat ini, saya terlibat dalam suatu bisnis pelatihan sertifikasi internasional di mana ada banyak partner bisnis kami yang bisa menjualkan program-program pelatihan ini. Namun, dari beberapa partner tersebut, ada salah satu partner yang mengalami stagnasi, alias mandek.
Tatkala diajak untuk bicara dan ditanya apa yang membuatnya tidak bisa menggerakkan bisnisnya, dia pun berkilah, “Kami tidak punya database seperti yang bapak miliki. Orang kamipun terbatas dan tidak ada yang bisa menjualkan program ini!”
Dari kedua kejadian itu kita melihat, bahwa si wanita itu mungkin menjadikan alasan pacarnya yang tampaknya mau berubah, sebagai alasannya untuk tidak melepaskan hubungannya dari pacarnya itu.
Masalahnya, dalam usianya yang tidak muda lagi, melepaskan pacarnya sekarang dan cari yang baru tidaklah mudah baginya. Sementara itu, si partner bisnis ini setelah dievaluasi ternyata sebenarnya tidak melakukan langkah apapun yang berarti untuk mengembangkan bisnisnya. Dia sebenarnya punya bisnis lain yang lebih suka dia jalankan. Dia tidak melakukan langkah-langkah yang berarti, tapi lantas menjadi ketidakmampuan menjual pelatihan sebagai alasan.
Kebiasaan mencari alasan, sebenarnya bisa ditelusuri sejak masa Nabi Adam dan Hawa. Tatkala Adam ditanya mengapa memakan buah terlarang, dia beralasan, “Hawalah yang membujuk saya.” Karena itulah, sudah menjadi sangat lumrah dalam DNA kita untuk mencari alasan dan pembenaran atas apa yang kita lakukan maupun apa yang tidak kita lakukan.
Karena memahami itulah, konon ada kisah motivasional menarik yang mungkin pernah Anda baca. Diceritakan, pada Februari 1519, Hernando Cortez melakukan pelayaran tahap akhir dari wilayah sekitar Kuba menuju semenanjung Yukatan. Saat itu, ada sekitar 11 kapal, dengan sekitar 500 tentara, 100 pelaut serta 16 kuda. Mereka berusaha mencari kekayaan di tanah sekitar Meksiko yang terkenal.
Tatkala akhirnya menginjak tanah yang diinginkan, berhari-hari dikisahkan, para pelaut dan tentara tidak beranjak ke manapun. Mereka terus menunggu, sampai mereka siap. Akhirnya, sebuah langkah dramatis dilakukan Hernando Cortez. Ia pun menyuruh untuk membakar semua kapalnya.
Dengan begitu, tidak ada lagi kapal untuk membawa mereka pulang. Dikisahkan, gara-gara langkah ini, mereka mengalami kemenangan dengan luar biasa, karena semua orang tahu, tidak ada alasan lagi untuk pulang kecuali mereka selamat dan sukses membangun kapal mereka lagi.
MENSABOTASE KESUKSESAN
Satu hal yang perlu dipahami adalah bagaimana alasan-alasan lantas menjadi sumber yang mensabotase kesuksesan diri seseorang. Misalkan saja, tatkala kita menghindari diet dan program makanan bergizi, kita pun beralasan, “Saya dalam kondisi tidak sehat badan. Jadi nggak bisa diet sekarang” ataupun “Saya nggak bisa diet sekarang. Kalau siklus tubuh saya terganggu dan pengaruhnya ke kerjaan saya, bakal merepotkan. Soalnya saya sekarang dalam proyek penting. Nanti, tunggu proyeknya selesai aja.”
Akhirnya, proyeknya pun selesai. Namun, kita sendiri tidak pernah melakukan diet yang sebenarnya memang diperlukan untuk menjaga kebugaran tubuh kita. Nah, siklus yang sama terjadi pada banyak impian dan cita-cita yang tidak terwujudkan.
Kita mesti sepakat. Kenyataannya, impian itu banyak yang tak tercapai, bukanlah karena orang itu tidak berbakat atau tidak mampu tetapi berulangkali karena tidak punya niat serta takut berhadapan dengan ketidaknyamanan.
Itulah yang lantas membuat seseorang mencari-cari alasan. Namun, gara-gara itu pula. Orang tetap dalam kondisi tubuh yang tidak sehat, tetap melakukan apa yang dikerjakan, tetap dalam angan-angannya serta tidak mampu mencapai kemajuan apapun. Berbagai alasan, membuat mereka tidak betul-betul berubah. Makanya, saya sangat setuju dengan ungkapan, “Orang yang pandai mencari alas an, akhirnya tidak akan pandai dalam hal apapun.”
Langkah pertama dan terbaik untuk mengobati kebiasaan mencari alasan adalah mengkonseling diri sendiri. Tanyakan pada dirimu, “Apakah kamu sedang mencari alasan dan apa alasan serta niatmu yang sesungguhnya.”
Cobalah jujur dengan dirimu sendiri dan tanyakan. Andalah yang sebenarnya paling tahu apa yang terjadi. Misalkan tatkala Anda ingin menulis buku dan beralasan “Tidak punya waktu.” Tanyakanlah apa perasaan Anda yang sebenarnya. Apakah sebenarnya Anda bingung mau menulis apa?
Tidak yakin, apakah bukunya bagus atau tidak? Takut, kehabisan ide? Takut kalau tiba-tiba stuck di tengah jalan dan tidak bisa melanjutkan sehingga semua usahamu jadi sia-sia? Apapun alasanmu, tanyakanlah yang sesungguhnya apa yang sebenarnya kamu alami.
Langkah berikutnya, adalah mengatakan setop pada alasanmu dan cobalah membuat kemajuan. Kalau berulang kali Anda terjebak dalam suatu situasi yang sama dan terus mencari alasan. Saatnya buat Anda untuk lebih keras pada dirimu sendiri dan berkata, “Setop bikin alasan! mulailah bikin kemajuan” (Stop making excuses, start making progress!).
Sebuah langkah kecil yang kita lakukan, pada akhirnya akan mengurangi alasan-alasan yang kita bikin. Paling tidak lakukanlah langkah-langkah kecil (baby steps) untuk membuat kemajuan, daripada membuat alasan. Mulai sekarang ingatlah, setiap kali terjebak mencari alasan, kita sebenarnya sedang terjebak dalam upaya mencegah kemajuan diri kita sendiri. Jangan terjebak dalam excuisitis!