Bisnis.com, JAKARTA - Banyak orang yang merasa takut terhadap keberadaan hewan reptil, namun jika kulit hewan melata tersebut disulap menjadi tas atau dompet yang trendi, banyak orang yang malah menjadi penggemarnya.
Berbagai aksesori berbahan dasar kulit reptil seperti ular, biawak dan buaya selau berkesan mahal dan elegan, selain karena teksturnya yang unik, motif alami yang dihasilkannya juga tampak indah, sehingga harga jualnya bisa sangat tinggi.
Meskipun sudah banyak perusahaan-perusahaan yang terjun dalam bisnis pengolahan kulit hewan berdarah dingin tersebut, peluang usahanya masih sangat besar.
Permintaan terhadap produk tersebut pun seakan tidak pernah terpenuhi karena jumlahnya yang terus meningkat, sedangkan jumlah perajin yang ada belum mampu mencukupi kebutuhan pasar.
Besarnya pangsa pasar tas berbahan kulit reptil tersebut membuat para pengrajin mencoba untuk mengembangkan bisnis sendiri. Seperti yang dilakukan Icuk Asmara sejak 10 tahun lalu dan sekarang telah mengembangkan sentra bisnis kerajinan kulit reptil.
Pria yang awalnya merupakan pekerja di sebuah perusahaan produsen tas kulit reptil di Jakarta, akhirnya memberanikan diri untuk mengembangkan usaha secara mandiri di kampung halamannya di Cisoka, Tangerang.
Icuk membutuhkan modal sedikitnya Rp20 juta saat pertama kali merintis bisnis tersebut. Modal itu digunakan untuk menyediakan bahan baku kulit reptil, peralatan produksi, serta ongkos tenaga kerja.
Saat pertama kali menjalankan bisnis mandirinya, Icuk masih melakukan produksi dengan sistem job order, di mana dia menerima borongan pembuatan tas dari perusahaan lain. Kemudian, pada 2008 dia mulai memproduksi dan menjual barangnya sendiri.
“Lama-lama saya berpikir tidak mau jadi kuli lagi, makanya saya mencoba untuk membuat produk dan mulai nego ke perusahaan untuk beli putus produk-produk yang kami produksi,” katanya.
Perlahan-lahan, bisnis pembuatan tas kulit reptil milik Icuk pun semakin dikenal. Konsumen mulai mengenalnya dan membeli tas produksi Cisoka. Bahkan, saat ini ada pembeli khusus yang memasarkan produk Icuk ke luar negeri, seperti Korea, Vietnam dan Kanada.
“Saya juga berkesempatan untuk mengikuti bazar yang diselenggarakan oleh supermarket ternama, dari sana ada orang Korea yang tertarik dengan produk kami untuk dijual lagi ke luar negeri, sejak saat itu produk kami mulai booming,” paparnya.
Satu per satu, warga yang bekerja di Jakarta dan daerah lainnya sebagai tukang produksi tas kulit reptil mulai kembali ke Cisoka, dan ikut memulai bisnis secara mandiri.
Kemudian pada 2010, dibentuklah Kelompok Usaha Bersama (Kube) Family yang diketuai Icuk dan sekarang telah diikuti oleh 30 perajin kulit di kawasan Cisoka dan sekitarnya, dengan total tenaga kerja lebih dari 100 orang.
Icuk sendiri saat ini memiliki 12 tenaga kerja dan memiliki kapasitas produksi mencapai 200 dompet, 200 aksesori dan 100 tas kulit reptil, dengan sepesialisasi kulit ular piton dan biawak.
Harga yang ditawarkan untuk setiap produknya tersebut berkisar dari Rp750.000 hingga Rp2 juta untuk tas, dan sekitar Rp100.000-Rp750.000 untuk dompet dan aksesori. Harga tersebut disesuaikan dengan ukuran, desain dan penggunaan bahan.
“Jumlah kapasitas produksi yang dimiliki belum mampu melayani semua permintaan konsumen, sehingga banyak pekerjaan yang dibagi ke perajin lain,” katanya.
Dalam sebulan, Icuk mampu mengantongi omzet minimal Rp200 juta, namun margin keuntungan dari setiap harga jual diakui tidak terlalu besar hanya sekitar 20%, karena dia memang mengejar kuantitas penjualan.
Icuk juga mengatakan selama ini dia memasarkan produknya tanpa merek, dan dia menerima jika ada konsumen yang berkeinginan untuk menggunakan merek tertentu dalam produk buatannya.
Namun, tidak lama lagi Icuk akan memasarkan produknya dengan merek Pangabisa, setelah merek tersebut mendapatkan izin dan terdaftar di Direktoran Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
“Pangabisa sudah terdaftar, dan kami juga sedangan mengajukan tiga merek lainnya untuk segera disetujui,” katanya.
Terkait dengan strategi pemasaran, Icuk hanya mempromosikan produk dari pameran ke pameran, selain itu dia juga membuka outlet atau etalase produk di rumahnya, sehingga konsumen bisa datang dan memilih produk yang diinginkan. Dia juga sudah banyak diajak bekerja sama dengan berbagai institusi untuk memasarkan produknya secara online.
“Tapi saya belum ada target untuk memasarkan produk secara online, karena permintaan yang sangat banyak dan saya takut tidak bisa memenuhi semuanya karena keterbatasan kapasitas produksi,” katanya.
Meski demikian, dia memiliki rencana untuk mengekspor produknya ke luar negeri secara mandiri, sehingga margin keuntungan yang bisa didapatkannya lebih besar dibandingkan dengan melalui tangan kedua.
“Permintaan produk dari luar negeri sangat besar, karena mereka memang suka terhadap produk-produk yang unik,” katanya.
Selama menjalani bisnis ini, Icuk mengaku kendala utama yang dihadapinya lebih pada modal usaha. Pasalnya untuk menyediakan bahan baku kulit reptil dari Jambi dan Riau membutuhkan modal yang tidak sedikit.
Oleh karena itu, dirinya merasa sangat terbantu ketika BRI Peduli memberikan pelatihan dan informasi terkait fasilitas pembiayaan yang bisa diakses oleh para perajin untuk meningkatkan kapasitas produksinya.
“Pelatihan dan pembinaan dari BRI sangat membantu karena kami juga bisa lebih mudah untuk mengakses pembiayaan dengan nilai yang lebih besar,” katanya.
Selain itu, kendala lain yang dihadapi adalah belum banyak tenaga kerja yang memiliki keterampilan untuk mengolah kulit reptil yang kembali ke Cisoka, sehingga kapasitas produksi tidak bisa ditingkatkan secara signifikan.
“Sekarang saya terus memprovokasi supaya warga Cisoka yang sedang bekerja di luar daerah untuk kembali dan bekerja di kampung halaman,” paparnya.
Salah satu perajin anggota Kube Family yang ikut menikmati keuntungan dari tingginya permintaan terhadap tas kulit reptil adalah Muhammad Idris.
Pria yang baru memulai bisnis kulit reptilnya sejak setahun terakhir tersebut mengakui permintaan yang datang selalu melebihi kapasitas produksi yang dimilikinya.
Saat ini, Idris baru mempekerjakan empat orang tukang, yang masing-masing bisa memproduksi maksimal dua tas dan enam dompet dalam sehari, sehingga dalam sebulan dia bisa memproduksi sekitar 100 tas dalam sebulan, ditambah beberapa aksesori lain seperti sepatu dan dompet.
Adapun, produk yang dipasarkan kepada konsumen di berbagai daerah tersebut dijual dengan kisaran harga Rp1 juta – Rp1,5 juta untuk tas, dan Rp700.000—Rp900.000 untuk dompet.
“Saya khusus memproduksi kerajinan dengan bahan kulit biawak dan biaya, harganya relatif lebih mahal,” imbuhnya.
Selain memproduksi barang sesuai dengan pesanan konsumen, dia juga membuat produk dengan desain sendiri. Biasanya, dia rajin mengamati majalah mode dan informasi di internet sebagai referensi dalam pembuatan desain tas.
“Asal ada gambar atau desainnya, Insha Allah kami bisa memproduksi produk yang serupa,” katanya.
Meskipun telah banyak perajin yang terjun dalam bisnis pembuatan aksesori kulit reptil ini, Idris tetap optimistis prospek bisnisnya masih cerah. Pasalnya, potensi pasar masih sangat luas dengan jumlah permintaan yang cenderung terus meningkat.