Bisnis.com, JAKARTA – Dalam bisnis reparasi furnitur, ada ceruk pasar yang masih cerah untuk digarap yakni reparasi furnitur vintage. Apalagi dengan tren kembali ke gaya retro, produk lawasan kini semakin banyak diburu.
Selain memiliki gaya yang khas yakni model kaki yang mirip pensil, furnitur dari era retroristik di tahun 1950-an umumnya dikenal memiliki kualitas bahan yang sangat baik, terutama untuk bahan kayu yang digunakan.
Akan tetapi, agar bisa digunakan maksimal, tentunya perlu proses reparasi untuk mengembalikan furnitur itu ke gayanya semula, istilahnya restorasi.
Ide ini yang dilirik oleh Tjandra Moh Amin ketika mendirikan Dyma Vintage. Pria 45 tahun ini menggeluti bisnis reparasi dan restorasi furnitur sejak tahun 2010. Produk yang dia tangani mencakup furnitur kursi single dan set serta buffet.
Berawal dari Mengoleksi
Perkenalannya dengan produk furnitur lawas sebenarnya sudah berlangsung lama. Pekerjaannya yang dulu sebagai fotografer di media nasional di Jakarta, membuatnya banyak berkeliling ke berbagai daerah dan sering membeli barang-barang yang menurutnya antik.
Lama kelamaan koleksinya semakin banyak sehingga dia mulai berpikir untuk menjualnya. Ternyata respon saat itu cukup positif dan dia sadar peminat produk lawas cukup banyak.
Ayah dari Dyandra Amail Amin ini lantas berniat menyeriusi bisnis jual beli dan memutuskan berhenti kerja sebagai fotografer.
Dia pun membangun Dyma Vintage dengan model bisnis membeli furnitur lawas lalu merestorasinya dengan konsep retro minimalis, kemudian menjualnya kembali.
Jika biasanya gaya tradisional jaman dahulu cenderung berwarna coklat kulit salak, warna coklat kemerahan dan hitam, kali ini dia melakukan improvisasi dengan memasukkan unsur gaya kekinian.
Misalnya, kursi yang dulu umumnya memakai dudukan rotan, kini diganti dengan dudukan jok yang diberi tambahan busa. Kemudian lapisan kain yang digunakan juga mulai memiliki motif seperti garis, kotak dan dot. Adapun bentuknya, biasanya, tetap dia dia pertahankan sesuai aslinya.
“Bahan-bahannya yang digunakan untuk restorasi ini tidak sekedar mahal tetapi yang penting adalah bagaimana mengkreasikannya dengan gaya retro vintage,” kata Tjandra.
Pada awalnya, Tjandra mendapatkan bahan baku dari hasil pembongkaran di dekat rumahnya di kawasan Jakarta Pusat. Dia mengeluarkan uang Rp200.000 untuk membeli satu set meja, dua kursi single seat dan satu kursi double seat. Semuanya model kaki lancip yang dalam kondisi rusak.
Set furnitur itu dia restorasi sendiri dengan tambahan modal sekitar Rp1 juta, termasuk biaya pemasangan jok. Kemudian dia menjualnya dengan harga Rp2,5 juta.
Waktu itu harga untuk kursi semacam itu terbilang mahal, ada yang sampai Rp10 jutaan. Namun dia menjual murah karena dengan harga segitu pun dia sudah merasa untung.
Hunting Produk Lawasan ke Daerah
Setelah langkah pertama sukses, dia semakin rajin hunting barang antik ke daerah Gunung Salak, Jawa Timur, Jawa Tengah, Cianjur, Bogor dan Sukabumi.
“Nyari barang gampang-gampang susah. Saya ke perkampungan dan menawar barang-barang. Mentalnya harus tebal karena tidak semua orang mau melepas barang antik mereka dengan alasan banyak sejarahnya,” katanya.
Setelah dua tahun menjalani proses itu, dia berhenti berburu barang secara langsung dan memasok barang dari pengepul. Pasalnya, kendati harga belinya cukup murah, jika hunting sendiri, Tjandra harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mengangkut barang dari desa-desa tersebut.
Dengan memasok dari pengepul, ketersediaan stok produk lawasan lebih terjamin, kendati terkadang harga dan modelnya tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Tiap produk yang didapat akan direstorasi sesuai dengan konsepnya. Terkadang dia merestorasi furnitur itu sesuai konsep yang diinginkan calon pembeli yang datang langsung ke workshop-nya.
Tjandra lebih memadang pekerjaannya sebagai suatu bagian dari seni. Karena itu dia tidak mematok tarif tetap untuk jasa restorasi yang dia berikan. Dia juga jarang meminta pembayaran di muka karena menerapkan sistem saling percaya.
Dia pernah melepas satu set kursi Skandinavia yang sekarang sedang tren dengan harga Rp8 juta. Kursi itu sudah direstorasi dengan konstruksi busa kualitas premium yang, kata dia, tidak akan kempes dalam waktu lima tahun.
“Dari bisnis ini saya tetap mengambil untung, tetapi tidak terlalu besar, sekitar 30%-40%. Pendapatan bersih sebulan sekitar Rp10 juta – Rp15 juta,” katanya.
Tjandra lebih banyak mengerjakan produk furnitur dengan sistem ready stok daripada customize. Menurutnya pesanan custom terlalu menyita waktu yang cukup panjang mulai dari pencarian barang hingga proses pengerjaan.
Normalnya, dia mengerjakan satu set furnitur selama dua minggu. Dalam satu bulan dia mengerjakan dua hingga empat set meja dan kursi plus buffet.
Diminati Pemilik Kafe
Selain klien dari kalangan rumah tangga atau perorangan, pelanggan jandra kebanyakan datang dari kalangan pemilik kafe kopi dan mayoritas berasal dari luar kota Jakarta. Sejauh ini dia paling sering mengirimkan set furnitur ke daerah Padang dan Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Dia mempromosikan bisnisnya dari mulut ke mulut lewat komunitas fotografi. Selain itu, dia juga aktif berpromosi di media sosial seperti Instagram lewat akun @dyma_vintage yang membuatnya banyak mendapat klien baru.
Selain restorasi lawasan, dalam 1,5 tahun terakhir dia juga melayani permintaan kliennya untuk reparasi sofa umum. Tjandra kerja sama dengan tukang jok untuk bagian pemasangan karet, dan busa serta cover jok sementara dia mengerjakan bagian pola dan bahan.
“Saya yakin bisnis ini masih bisa tahan sampai 20 tahun ke depan karena furnitur jaman baheulak tidak akan ada matinya dari segi kualitas bahan dan model. Orang tetap banyak mencarinya,” tuturnya.