Bisnis.com, JAKARTA - Memiliki toko oflline merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kepercayaan pelanggan, khususnya bagi para pebisnis yang selama ini menjual barang secara online.
Untuk itu, toko offline merupakan salah satu langkah untuk meningkatkan skala bisnis.
Walaupun membuka toko offline cenderung identik dengan biaya dan modal yang besar, ternyata hal tersebut masih bisa disiasati.
Donald Lantu, Direktur Center for Innovation, Entrepreneurship & Leadership School of Business and Management ITB memaparkan ada empat strategi yang bisa dipilih sebagai cara untuk menghadirkan produk secara offline.
1. Berbagi tempat
Cara pertama yang bisa dilakukan adalah dengan berbagi tempat bersama pelaku usaha lain. Hal ini berguna untuk mengurangi biaya sewa di lokasi premium.
“Sekarang sudah banyak pemilik brand yang bekerja sama untuk patungan menyewa tempat di lokasi yang strategis. Ini efektif untuk menekan biaya sewa,” ujarnya.
Donald mengatakan kasus ini biasanya dilakukan oleh para pemilik brand yang memiliki produk yang berbeda, tetapi menyasar profil target pasar yang sama.
2. Kerja sama dengan alternatif ownership
Strategi selanjutnya adalah dengan menawarkan alternatif kepemilikan saham atau bagi hasil dengan pemilik lokasi usaha. Tawaran kerja sama tersebut bisa jadi membuat pemilik brand tidak perlu membayar sewa tempat, karena dikonversi menjadi proporsi saham pada bisnis yang dijalankan.
“Coba bekerja sama dengan pemilik tempat, dan tawarkan proporsi saham atau kepemilikan pada bisnis offline-nya,” imbuhnya.
3. Mencari tempat yang mati suri
Untuk mendapatkan tempat dengan harga yang relatif lebih terjangkau, pelaku usaha bisa melirik tempat-tempat yang mati suri. Sebagai contoh, hotel yang sudah tidak terlalu populer dan memiliki sedikit tamu.
Pemilik brand bisa bekerja sama dengan pengelola hotel untuk menyewa salah satu tempatnya sebagai lokasi usaha. Hal ini akan menguntungkan kedua belah pihak, yakni sewa tempat yang murah bagi pemilik usaha, dan keramaian (crowd) bagi pengelola hotel.
“Ada kasus pemilik usaha akhirnya hanya membayar seharga biaya parkir setahun,” katanya.
4. Pilih lokasi yang kurang strategis
Alternatif lainnya yang bisa dipilih adalah dengan mencari tempat di lokasi yang kurang strategis. Biasanya harga sewanya akan lebih rendah dibandingkan dengan tempat yang berada di jalan utama.
“Media sosial saat ini sangat berpengaruh, sehingga promosi yang gencar bisa membuat lokasi yang kurang strategis pun tetap ramai,” katanya.
Jika pemilik usaha sudah memiliki produk dengan branding yang kuat, serta pasar yang sudah terbentuk, lokasi usahan yang kurang strategis tidak akan menjadi halangan untuk mendatangkan pengunjung.
Selain empat strategi di atas, pelaku usaha bisa mengeksplorasi cara-cara lain. Hal ini akan menantang jiwa kewirusahaan pelaku usaha untuk menciptakan inovasi dan peluang dari kesempitan.
“Karena itu, saya tidak pernah setuju kalau masalah ekspansi hanya terkendala karena modal. Entrepreneur yang kuat karakternya akan mencari cara tanpa memerlukan banyak dana,” katanya.
Donald menambahkan, selain dengan menyewa lokasi dan membuka toko, menghadirkan produk secara oflline juga bisa dilakukan dengan masuk ke ritel modern. Hal ini kebanyakan dilakukan bagi para pelaku usaha yang bergerak dalam bisnis kuliner kemasan.
“Menguasai pasar offline itu tidak hanya harus punya tempat sendiri, tetapi bisa memanfaatkan jaringan distribusi ritel modern,” katanya.
Biasanya, ritel modern akan memberikan masa percobaan sekitar tiga bulan untuk memajang produk di toko mereka. Hal ini untuk melihat bagaimana respons pasar terhadap produk UMKM yang ditawarkan.
Pada beberapa kasus, produk-produk online yang sudah memiliki branding yang kuat dengan pasar yang luas, biasanya malah dicari pengelola ritel modern untuk diajak bekerja sama.
Namun, Donald mengingatkan agar pemilik brand berhati-hati dalam menerima tawaran kerja sama tersebut. Setiap bentuk kerja sama harus dianalisis terlebih dulu karena tidak semuanya bagus bagi perkembangan pemasaran produk.
“Ada pemilik usaha yang justru mengalami kerugian besar saat pertama kali masuk ke jaringan ritel modern, karena pengelola ritel tidak mau ambil risiko dengan metode kerja sama konsinyasi,” katanya.
Menurutnya, sistem konsinyasi bisa merugikan untuk produk-produk yang memiliki daya tahan rendah. Sehingga, ketika produk tidak bisa diserap pasar, maka produk akan dikembalikan dan pemilik brand tidak bisa menangani produk yang sudah hampir kedaluwarsa.
"Kalau bisa dilobi agar bentuk kerja samanya bukan konsinyasi, toh sudah punya track record yang baik. harusnya sudah punya bargaining power untuk bernegosiasi dengan pihak ritel," katanya.
Untuk itu, diharapkan pemilik produk bisa melobi pengelola ritel untuk bekerja sama dengan sistem beli-putus, misalnya dengan memberikan persentase atau fee yang lebih besar ketimbang biasanya.
“Untuk awal-awal tidak apa kasih potongan yang lebih besar, hitung-hitung sebagai test market,” katanya.
Pelau usaha juga harus mempersiapkan rencana lainnya untuk meyiasati jika lobi tidak berhasil, yakni dengan meningkatkan daya tahan produk. Sehingga, ketika produk tidak laku dan dikembalikan, masih ada kesempatan untuk melemparnya kepada pasar yang selama ini sudah menyerap produk dengan.
Untuk meminimalisasi risiko, Donald juga menyarakan agar pemilik produk memberikan waktu yang cukup untuk promosi sebelum benar-benar masuk ke jaringan ritel. Sehingga brand bisa lebih kuat dan masyarakat mengetahui informasi bahwa produk sudah bisa ditemukan di toko ritel mana saja.