Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah dunia yang serba pragmatis, orang sering mengabaikan ide. Berputar-putar pada tataran ide dianggap tidak efektif karena tidak segera menukik pada hasil. Pendapat itu justru ditepis oleh Mochtar Riady, salah satu taipan paling sukses melalui bendera Lippo Group.
Hal itu terungkap dalam buku otobiografinya yang diluncurkan Rabu (27/1/2016).
Buku setebal 336 halaman itu bertajuk ‘Manusia Ide’. Meluncur sepenggal kalimat yang paling menarik perhatian: “Orang miskin bukanlah orang yang tidak punya uang, tetapi orang yang tidak punya ide”
Kendati berlatarbelakang pendidikan filsafat dari Universitas Nanjing, China, Mochtar dalam otobiografi ini tidak sedang mengurai pemikiran Friedrich Hegel tentang dialektika ide dalam sejarah peradaban.
Bukan juga soal kritik Karl Marx yang menganggap Hegel dengan pendewaan pada ide itu menjadikan manusia berdiri dengan kepala ke bawah. Marx lebih mengutamakan basis material dengan ‘kerja’ alat aktualisasi diri paling efektif.
Pengalaman entrepreneurship yang dimiliki Mochtar seakan mendamaikan ide Hegel dan Marx. Ide menjadi praksis dalam dunia bisnis. “Ide itu sudah diramu Mochtar sehingga menjadi ide yang bisa dilaksanakan,” komentar pakar marketing, Hermawan Kertadjaya.
Itulah sebabnya kendati berjudul Manausia Ide, buku itu lebih berisi perjalanan hidupnya selama 87 tahun, tentang jatuh bangun seorang Mochtar dalam mengejar mimpi menjadi seorang bankir dan membagun sebuah kerajaan bisnis.
Buku autobiografi itu terbagi menjadi lima episode perjalanan hidupnya. Setiap episode menceritakan 20 tahun perjalanan Mochtar hingga memasuki umur 87 tahun.
Episode 20 tahun pertama (1929-1950) menceritakan masa kecil penuh duka dan derita, episode 20 tahun kedua (1951-1970) mengisahkan masa bersama pemerintahan membangun ekonomi nasional dan episode 20 tahun ketiga (1971-1990) mengungkapkan masa pengembangan usaha dalam era globalisasi ekonomi.
Lalu, episode 20 tahun keempat (1991-2010) menceritakan dari era Samudra Atlantik sampai era Samudra Pasifik dan episode 20 tahun kelima (2010 dan seterusnya) mengisahkan masa tua sebagai panutan bagi anak cucu dan generasi penerus.
“Yang ingin saya sampaikan adalah, saya dilahirkan dan dibesarkan di Malang. Namun nasib saya tidak malang. Kenapa tidak malang? Karena saya berani memikirkan hal-hal yang besar. Kalau kita berani memikirkan hal yang besar dan berjuang untuk itu, maka kita akan berhasil,” kata Mochtar.
Dia mengakui kalau menjadi bankir adalah cita-citanya sejak kecil di Kota Malang. “Saat kecil saat bersekolah, saya melewati bangunan megah Eropa dengan orang berpakaian rapi di dalamnya. Saya bertanya apa yang diperjualbelikan di sana karena tak tampak barang dagangan. Rupanya itu adalah bank milik orang Belanda dan yang diperjualbelikan adalah kepercayaan. Sejak itu, saya bertekad, kalau sudah besar saya ingin punya bank sendiri menjadi bankir,” kata pendiri Lippo Group yang lahir pada 12 Mei 1929 di Batu, Malang.
Untuk mewujudkan mimpi itu, Mochar harus bertarung di Jakarta. Mulai pada tahun 1959, bermodal kepercayaan, Mochtar mulai mengelola Bank Kemakmuran milik Andi Gappa, adik Andi Jusuf, menteri perindustrian saat itu.
Di bank itu, Mochtar akhirnya dipercaya menjadi presiden direktur. Dia berhasil membuat Bank Kemakmuran menjadi bank terkemuka di Jakarta.
Kemudian datang juga kesuksesan ketika tahun 1963 Mochtar berhasil mendapatkan partner dan mengincar Bank Buana. Dalam tempo dua tahun, dari bank yang merugi, Bank Buana pun menjadi tanda kesuksesan Mochtar.
Dari Bank Buana, pada 1971 Mochtar lalu membentuk Bank Panin yang merupakan gabungan dari Bank Kemakmuran, Bank Industri dan Dagang Indonesia, dan BIDI Surabaya.
Dalam waktu satu tahun, Bank Panin sudah melampaui kegiatan Bank Buana. Tapi akhirnya Mochtar mengundurkan diri karena pemegang saham bank ini melakukan kegiatan bank di dalam bank.
PENUNGGANG KUDA
Dia mengakui, kesuksesan dalam mengelola bank dilakukan dengan filosofi penunggang kuda. Saya harus mengungang kuda untuk mengejar kesuksesan. Untuk itu dia harus mengungudang mitra dan bekerjasama dengan orang-orang yang hebat untuk menopang pekerjaannya.
“Ketika kuda sudah tidak bisa berlari kencang lagi, saya harus mencari kuda tunggangan baru. Saya butuh kuda yang lebih kencang,” kata Mochtar.
“Saat meninggalkan Panin, saya bertanya pada diri sendiri, saya ini mau menjadi bankir sukses yang kaya raya atau bankir yang baik dan dapat dipercaya?”
Bankir yang sukses, katanya, hanya memperhatikan kelancaran kredit dan syarat-syarat kredit. Sedangkan bankir yang baik, harus lebih dari itu, membuat nasabah menjadi lebih baik.
Itu sebabnya dia berulang-ulang berterima kasih kepada istrinya yang meminta dia untuk mengembalikan emas batangan yang diterimanya dari salah satu nasabah.
“Menerima barang yang tidak sah bisa mencelakakan Anda. Itu juga bisa merampas kekebasan Anda untuk mengelola bank”
Dari Panin, kemudian Mochtar pindah ke BCA. Lagi-lagi Mochtar sukses menjadi bank itu sebagai bank swasta terbesar.
Setelah itu, Mochtar mengundurkan diri dan mulai membangun bank miliknya sendiri, Bank Lippo. Selain idang finansial, Mochtar juga membangun properti dan realestat. Pemahaman finansial yang mendalam membuat usahanya di bidang properti melaju tak terbendung.
Dalam satu dekade terakhir, Mochtar menyempurnakan bisnisnya dengan merambah sektor yang paling dibutuhkan masyarakat, yakni pendidikan dan kesehatan. Kecakapan finansial dan pengelamannya dalam bidang properti, lagi-lagi berguna bagi pengembangan di bidang pendidikan dan kesehatan.
Seperti diketahui, saat ini Lippo Group mengembangkan sekolah melalui lembaga Pelita Harapan, Dian harapan dan Lantera Harapan. Selain itu, masih ada UPH College dan Universitas Pelita Harapan. Jaringan sekolahnya merambah hingga ke daerah-daerah terpencil, termasuk di Pegunungan Papaua.
Demikian juga di bidang rumah sakit. Hingga 2015, sudah lebih dari 6 juta jiwa telah melewati pintu Siloam, dan lebih dari 2 juta dari mereka yang berobat dalam rumah sakit ini. Grup usaha itu sudah menyiapkan sekitar Rp7 triliun untuk menambah Rumah sakit Siloam hingga 50 pada tahun 2017 dari 20 buah tahun ini.
Keseriusan mmbangun rumah sakit terbukti dari riset teknologi nan yang dikembangkan melalui Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN).
Mochtar pernah menjelaskan bahwa kondisi negara Indonesia yang memiliki populasi 250 juta, ternyata hanya mempunyai sekitar 500 neurosurgery dan kurang dari 200 oncologist.
"Hal tersebut sangat jauh dari memadai. Masih banyak orang sakit yang belum bisa mendapatkan perawatan dengan baik. Kondisi ini, mendorong Lippo Grup untuk ambil bagian dalam bidang kesehatan, termasuk menyediakan tenaga-tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang terbaik," kata Mochtar Riady.
Lebih lanjut Mochtar memaparkan, di Indonesia hanya ada sekitar 70 sekolah kedokteran (medical school) dan hanya menghasilkan sekitar 7.000 lulusan dokter tiap tahunnya. Sementara, lanjutnya, populasi penduduk akan terus bertambah tiap tahun.
"Jika dibandingkan dengan 7.000 dokter, hal ini bukanlah situasi yang baik, dan nantinya akan menjadi salah satu permasalahan bangsa. Apalagi, pemerintah kurang cukup dana untuk menyediakan peralatan dan tenaga medis yang berkualiatas tinggi," kata Moctar Riady.
"Karenanya, saya ingin terus mencoba membuka lebih banyak lagi rumah sakit. Untuk itu, kita juga perlu lebih banyak medical school dan keperawatan," tambahnya.
Keseriusan membangun sekolah dan rumah sakit mendapat apresiasi yang luar biasa dari pemerintah karena Mochtar ikut mengambil bagian dalam tugas negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Pemerintah merasa sangat terbantu,” ujar Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia
Tak heran kalau saat peluncuran bukunya kemarin, semua pemimpin lembaga negara,mulai dari Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua MPR, Ketua MA dan hampir sebagian jajaran kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo datang.
Selain para konglomerat, para tokoh nasional senior seperti Ketua PBNU Said Aqil Siradj, Ginanjar Kartasasmita, Wiranto dam Presiden ke-VI Susilo Bambang Yudhoyono juga datang. Mereka semua datang memberikan pujian kepada ‘sang manusia ide’ itu.