Bisnis.com, JAKARTA- Sekilas, Anda mungkin tidak akan langsung berselera ketika melihat mi lethek yang berbahan dasar tepung singkong ini. Seperti namanya lethek yang berarti kusam, mie ini memiliki warna dasar coklat atau berbeda dengan mi kebanyakan yang berwarna putih atau kuning cerah.
Namun, jangan bilang Anda penggemar mi jika tidak kenal dengan sajian khas Bantul yakni mi lethek. Layaknya produk mi umumnya, mi lethek biasa diolah menjadi bakmi goreng, rebus, atau menjadi campuran nasi goreng. Namun, mi lethek memang hanya bisa ditemukan di kawasan Bantul, tepatnya Dusun Bendo, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul.
Sebelum masuk olahan para pedagang mi keliling atau rumah makan di Bantul, mi lethek memiliki sejarah panjang dalam proses pembuatannya. Adalah Yasir Ferry, seorang pria keturunan Arab-Jawa ini adalah sosok penting di balik produksi mi lethek.
Yasir sendiri merupakan generasi ketiga yang masih bertahan untuk meneruskan bisnis keluarga yang memproduksi mi lethek. Pendiri mi lethek cap Garuda atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mie Bendo ini tak lain adalah kakeknya yang dimulai sejak 1940.
Namun, karena serbuan produk mi instan, perusahaan keluarganya sempat berhenti berproduksi pada 1982, dan Yasir kemudian memberanikan diri untuk kembali merintisnya pada 2002.
“Saat itu sedang ramai makanan yang banyak mengandung boraks, bahan pengawet berbahaya, dan bahan kimia. Dengan saran teman dan keluarga dekat, saya akhirnya membuat survei mengenai produk mi lethek,” katanya.
Banyak orang yang menyebutkan bahwa mi lethek tergolong makanan sehat karena terbuat dari bahan yang sehat dan aman. Tak hanya itu, mi yang diproduksinya juga tidak mengandung bahan pengawet sehingga sangat aman dikonsumsi oleh manusia.
Setelah mempertimbangkan mengenai potensi pasar dan kelebihan produk mi lethek dibandingkan jenis makanan lainnya, Yasir mulai menghubungi kembali pegawai-pegawai yang sempat bekerja di pabrik keluarganya.
Gayung bersambut, pegawai yang juga merupakan tetangganya tersebut juga menerima niatannya untuk membuka kembali bisnis keluarganya yang sempat vakum bertahun-tahun.
“Konfirmasi dengan tetangga sekitar yang dulu juga pernah bekerja kepada ibu saya. Saya ajak ngobrol dan ternyata mereka punya semangat yang sama. Akhirnya, perusahaan mulai produksi pada 2002 dengan kapasitas hingga 350 kg per hari,” tambahnya.
Dengan memaksimalkan pemasaran dari mulut ke mulut dan memanfaatkan momentum dengan gencarnya pemberitaan mengenai bahan-bahan berbahaya dalam produk makanan yang tengah beredar di Indonesia, Mie Bendo kembali ke pasaran dengan sambutan yang positif.
Dari tahun ke tahun, peminat Mie Bendo semakin meningkat sehingga perusahaan meningkatkan produksi hingga 600 kg per hari pada 2004 dan hingga saat ini produksinya mencapai 1 ton per hari.
“Berkat kepopuleran Mie Bendo, produk kami juga sempat mendapatkan apresiasi dari Presiden RI saat itu yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan para anggota kabinetnya. Sejak saat itu saya aktif ikut pameran dan bisnis kami juga mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat,” ujarnya.
Adapun, Mie Bendo ini dikemas dengan berat 5 kg setiap kemasannya dan dibanderol seharga Rp65.000 per kemasan. Produknya juga mudah ditemukan di pasar tradisional di Bantul dan memiliki kualitas sangat baik dibandingkan produk mi lethek lainnya.
Dia merinci proses pembuatan mi lethek memakan waktu hingga dua hari lamanya. Pada hari pertama, adonan mulai digiling dengan mencampurkan semuanya dalam satu tungku. Setelah itu, adonan kembali dimasukkan ke dalam tungku besar.
Selanjutnya pada hari kedua, adonan siap untuk dimasukkan ke dalam mesin pencetak mi dan langsung dijemur di bawah panas matahari. Proses penjemuran biasanya berlangsung dari pagi hari hingga sore hari.
“Jika proses penjemuran tidak maksimal, misalnya karena hujan atau mendung, maka itu akan mempengaruhi kualitas. Proses penjemuran yang maksimal akan membuat mie bisa bertahan hingga satu tahun lamanya, tanpa bahan pengawet,” jelasnya.
Menurutnya, bisnis yang dijalaninya saat ini memang tidak mudah di tengah himpitan perkembangan zaman yang serba instan. Produksinya saat ini yang mencapai 1 ton per hari dinilainya masih jauh dari kebutuhan pasar yang bisa sebanyak 2,5 ton tiap harinya.
Pengembangan skala bisnis memang diakuinya masih terkendala oleh ketiadaan pembaruan teknologi terhadap mesin-mesin produksi sehingga kapasitas produksinya tidak bisa maksimal.
Layaknya bisnis keluarga pada umumnya, Yasir mulai mengajarkan pada anak-anaknya mengenai pengelolaan bisnis Mie Bendo ini. Belajar dari riwayat perusahaan keluarganya yang sempat tutup, dia menganggap manajemen merupakan faktor utama untuk membuat bisnisnya sukses.
“Beda dengan saya yang tidak pernah kuliah, anak saya sengaja saya sekolahkan ke jurusan manajemen supaya mengerti mengenai teorinya. Tak hanya itu, saya juga aktif mengajak dia untuk belajar bisnis di pabriknya supaya mengetahui bisnis tidak hanya dari teori saja,” jelasnya. (Amanda K. Wardhani)