Waktu masih kanak-kanak, kota yang selalu saya hindari bila diajak orang tua bepergian adalah Surabaya. Panas, kotor, berantakan, dan nyamuknya besar-besar adalah stereotif kota ini, kendati di sana juga menawarkan semua kemewahan sebagai kota metropolitan.
Di masa kecil, saya bepergian ke Surabaya hanya bila terpaksa, oleh sebab kerabat menikah atau sakit. Selebihnya, pulang lebih cepat, lebih baik. Surabaya terlalu gerah, tak cocok bagi anak gunung macam saya untuk berlama-lama di sana.
Bahkan ketika lulus SMA, ketika teman-teman sebaya saya di kota kecil Blitar –sekitar 180 kilometer—arah barat daya Surabaya—beramai-ramai mendaftar kuliah di Universitas Airlangga atau Institut Teknologi Sepuluh November, saya memilih universitas di kota lain yang lebih jauh, Yogyakarta.
Sampai kemudian waktu berlalu --karena urusan pekerjaan-- Surabaya adalah salah satu kota yang cukup sering saya kunjungi dalam lima tahun terakhir. Setiap datang ke kota ini, saya selalu membandingkan dengan masa lalu, bahkan mematut-matutkannya dengan Jakarta.
Surabaya dan Jakarta tentu berbeda. Tetapi hanya Surabaya kota di Indonesia yang mampu mendekati Jakarta. Dua kota ini adalah kota terbesar pertama dan kedua di Indonesia. Dari sisi jumlah penduduk, Surabaya (3 juta jiwa) yang dipimpin seorang wali kota hanya sepertiga Jakarta (10 juta jiwa ) yang dipimpin oleh seorang gubernur.
Namun, dalam hal anggaran pemerintah Surabaya hanya sepersepuluh dari Jakarta. Nilai APBN Kota Surabaya tahun ini adalah Rp9 triliun, sedangkan Pemprov DKI Rp89 triliun. Bisa dibilang, kedua kota ini kaya raya dalam ukurannya masing-masing. Dengan anggaran tersebut, saya berharap Jakarta bisa jauh lebih baik dari Surabaya.
Etalase utama kota adalah taman, jalan, pedestrian, dan gedung gedung yang tertata. Siapapun Anda pasti bisa merasakan Surabaya yang menghijau sekarang, taman-taman kota yang ramai dikunjungi warga, juga trotoar lebar tempat pejalan kaki berlalu-lalang.
Saya terpesona dengan kota ini, mungkin karena punya pembanding masa kecil yang cukup kontras. Kota adalah cermin bagaimana sebuah peradaban dibangun, dan semua itu memerlukan kerja sama, juga sebuah kepemimpinan.
Mari menjadikan kota ini sebagai benchmark, dan mengulik apa yang dilakukan oleh warga, juga Wali Kota Tri Rismaharini. Saya dan sejumlah kolega di sela-sela perayaan Hari Pers Nasional 2019, menjumpai perempuan berusia 57 tahun ini pada sebuah pagi, di taman depan Balaikota Surabaya, Jumat (8/2/2019).
Risma sudah menunggu kami --yang susah payah bangun pagi-- lengkap dengan kostum olahraga dan kursi roda. Sang Wali Kota memang tengah cedera kaki, sehingga perlu ditopang kursi roda dalam beraktifitas.
Ia mengawali pertemuan dengan bercerita tentang taman balaikota yang dilengkapi audio untuk informasi, termasuk jenis pohon yang ditanam. Risma mengatakan apa yang dilakukannya adalah menyiapkan kebutuhan masyarakat Surabaya.
Membangun taman dan jalan, katanya, bukan untuk ikon. Oleh karenanya, selama memimpin Surabaya lebih 8 tahun, dia menambah panjang lebih dari 280 kilometer, dengan membebaskan lahan warga bukan dalam bentuk ganti rugi, tetapi ganti untung. “Jadi saya mencoba untuk tidak membangun ikon. Itu kebutuhan. Kebutuhan masyarakat Surabaya.”
Puas berjalan mengitari taman, Risma mengajak kami mampir ke ruang kerjanya. Dengan didorong ajudannya, Risma menuju lobi balaikota. Sempat berjalan kali beberapa langkah, dia berpindah ke sebuah eskalator disabilitas yang tersedia di sisi kiri tangga, “Ini saya yang minta pasang empat tahun lalu, sekarang saya yang pakai,” katanya setengah berkelakar.
Ruang kerja Risma cukup luas dan tembok dan meja pajang penuh dengan piagaam dan plakat penghargaan. ”Setahun ada sekitar 30 penghargaan yang Surabaya peroleh, baik dari dalam dan luar negeri.”
Di ruangan itulah Risma memegang kendali penuh kota. Caranya, dia memasang monitor berisi gambar situasi dari CCTV yang dipasang di seluruh penjuru Surabaya. Di ruang Risma, saya hitung ada 20 layar televisi pada sisi kiri meja kerja. Masing-masing monitor bisa menampung 9 gambar, yang berarti ada 180 titik pantauan.
Secara total, Pemerintah Kota Surabaya memasang 1.800 CCTV di lokas-lokasi penting seperti pintu air, taman kota, persimpangan jalan protokol, hingga gerbang sekolah. Berbekal handy talkie, Risma ‘kendali kota’ ada di tangan Risma.
Seperti pagi itu, Risma menunjuk sebuah pintu air yang begitu tenang dan air cenderung konstan. Di papan pengukur ketinggian terlihat muka air berada pada angka nol. Melalui HT, Risma memerintahkan agar pompa dihidupkan. Tidak sampai dua menit berselang, terlihat pergerakan orang tampak di layar, lalu pompa dihidupkan sehingga permukaan air tampak bergerak ke bawah dan mengalir.
Dengan memasang CCTV beresolusi tinggi, memudahkan perangkat pemerintah Surabaya mengendalikan kota, melayani semua kebutuhan warga, termasuk bila ada yang sakit dan memerlukan pertolongan segera.
Rupanya, Surabaya telah memiliki Command Center 112, ini semacam layanan darurat 911 di luar negeri, tetapi lebih lengkap. Command Center ini berada di Gedung Siola, sebuah bangunan bersejarah yang pernah digunakan warga Surabaya menahan serangan Sekutu dari arah utara pada Perang Dunia II.
Menurut Risma, Command Center 112 itu komplet, orang meninggal bisa lapor, lampu mati atau sakit bisa lapor, semua bisa lapor, semuanya komplet. Dari ruang kerjanya, kami diajak Risma mengunjungi Gedung Siola yang kita telah disulap menjadi pusat layanan publik, perizinan, hingga co-working space bagi anak-anak muda Surabaya merintis usaha.
***
Menyaksikan Surabaya dengan kondisi termutakhir, telah menumbuhkan optimisme bahwa birokrasi dan kepemimpinan bisa menciptakan pelayanan publik lebih baik. Di Surabaya saya juga menyaksikan aparatur sipil negara yang berpenghasilan memadai.
Seorang Kepala Bagian Pemkot Surabaya berusia 38 tahun, bisa membawa pulang pendapatan lebih dari Rp70 juta perbulan. Gaji memang tidak terlalu besar, yakni Rp4 jutaan, tetapi ia mendapatkan tunjangan kinerja besar. Bahkan, seorang Camat di Surabaya, berhak atas tunjangan kinerja hingga Rp50 juta perbulan, tergantung dari prestasinya.
Jadi, dengan kesejahteraan yang memadai, seorang wali kota seperti Risma bisa menuntut banyak ke aparat birokrasinya. Tidak ada alasan korupsi, apalagi kerja dengan asal-asalan dan ukuran kinerja di buat secara jelas dan transparan.
Di lain sisi, Risma tetaplah orang biasa dengan karakter manusiawi yang menyukai detail, bekerja keras, dan agak emosional. Namun, bila hasil kerja bisa dinikmati warga Surabaya, bahkan pelancong seperti saya, wajar bila kita menjaga ekspektasi bahwa Indonesia tidak kekurangan stok pemimpin baik.
Kita pasti banyak mendengar, banyak pemimpin daerah yang inovatif sehingga bisa menciptakan kinerja monumental. Anda pasti mendengar nama Abdullah Azwar Anas, yang menjadikan Banyuwangi, Kabupaten di ujung Jawa Timur, menjadi begitu masyhur di seantero negeri karena destinasi pariwisata.
Atau, siapa yang tidak kenal dengan Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan yang karena prestasinya memajukan daerah kini dipercaya oleh warga Sulsel sebagai gubernur. Presiden Joko Widodo yang berkuasa sekarang, tentu tidak bakal sampai pada puncak karirnya saat ini bila tanpa prestasi saat menjadi Wali Kota Solo.
Pemimpin-pemimpin seperti di atas perlu diciptakan di tengah sengkarut tingginya tingkat korupsi yang menyeret ratusan kepala daerah ke penjara. Saya yakin, emas tak akan tertukar dengan loyang.
Di akhir pertemuan, dalam perjalanan bus dari Gedung Siola ke balaikota, saya sengaja bertanya, “Siapa yang Bu Risma siapkan sebagai pengganti saat jabatan wali kota berakhir 2020 nanti untuk meneruskan kepemimpinan Surabaya? “
Dia menjawab, “Tidak ada, karena kita punya sistem demokrasi. Saya tidak bisa menyorong-nyorongkan orang untuk dipilih warga. Pada Pilgub lalu, saya berkampanye untuk Gus Ipul [Saifullah Yusuf], tapi mana? Warga Surabaya gak mau gitu.”
Saya tertegun dengan jawaban ini, tetapi mencoba untuk mengerti. Masyarakat punya logika sendiri dalam memimpin. Namun saya yakin, bila warga merasa bahwa pemimpin sebelumnya bagus, maka ia akan menjadi model yang didambakan dipilih saat pemilihan kepala daerah digelar. Benar tidak?