Bisnis.com, JAKARTA - Remote working adalah bekerja dari jarak jauh dan membutuhkan keterampilan dan sumber daya yang berbeda dengan pekerja biasa.
Konsep kerja remote working membutuhkan adanya self-starting attitude dan manajemen waktu yang sangat ketat. Selain itu harus terbangun komunikasi proaktif yang fokus terhadap kerja bersama karena tidak banyak waktu melakukan tatap muka.
Awalnya konsep kerja remote working ini mulai populer pada kalangan pekerja start-up. Tren ini mulai menguat seiring dengan pandemi Covid-19 yang memaksa banyak pekerja melakukan pekerjaan dari rumah atau work from home (WFH).
Padahal WFH dan remote working berbeda. Konsep bekerja remote membuat seseorang punya kesempatan untuk membentuk lingkungan kerja sendiri, memilih tempat kerja sesuka hati, sehingga membuat energi bekerja menjadi lebih baik.
Sementara itu WFH dilakukan dalam suasana khusus dari rumah ketika seseorang tidak bisa atau berhalangan ke kantor. Namun secara fisik mereka masih melakukan sistem kerja, sistem komunikasi, dan struktur kerja selayaknya di kantor.
Dikutip dari Forbes.com, Senin (3/8/2020), remote working adalah masa depan bisnis dunia. Pandemi Covid-19 mau tak mau mengadaptasi pola kerja remote working membuat banyak pelaku usaha yang juga melihat adanya manfaat tak terduga.
Misalnya, konsep remote working membuat seseorang bekerja tidak terlalu emosional dan lebih mampu mengendalikan emosi dalam lingkungan kerja akibat relasi dengan sesama rekan maupun akibat target kerja. Manfaat lainnya, pelaku usaha pun melihat dampak dari remote working yang mendorong geliat sektor telekomunikasi. Manfaat bagi pemimpin usaha, konsep ini justru membantu para pemimpin bisnis bisa mengelola para staf dan pekerja dari jauh sehingga terbangun empati yang lebih kuat.
Tren remote working, kerja jarak jauh, termasuk dari rumah menguat sejak pandemi Covid-19 i akan menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan kinerja aparatur sipil negara serta mengurangi obesitas pada struktur aparatur sipil negara (ASN).
Pada akhir 2019 lalu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tengah merumuskan konsep Integrated Digital Workplace (IDW). Adapun IDW sebagai smart office ini secara perlahan juga sudah diimplementasikan di Bappenas pada awal 2020 dengan mengandalkan cloud dan blockchain yang menghubungkan 800 karyawan.
Bisnis mencatat, konsep smart office yang didorong oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa ini bertujuan untuk menunjang produktivitas dan fleksibilitas kinerja ASN.
Konsep inilah yang beberapa kali diungkapan oleh Suharso akan menyebabkan perubahan mekanisme dan suasana kerja di Bappenas, di mana ASN tidak perlu bekerja dalam ruang kantor, lebih fleksibel, dan suasana bekerja pun lebih nyaman seolah sedang berlibur. Alhasil sejumlah tugas pun sudah dilaksanakan melalui sistem IDW ini meliputi; penganggaran, perencanaan, pengendalian, pemantauan, dan evaluasi pembangunan.
Awalnya, implementasi ini masih terbatas di Bappenas, namun pandemi Covid-19 berhasil membuat segenap instansi pemerintahh juga bergegas memanfaatkan platform digital dalam menyelesaikan tugas dan target mereka.
Trubus Rahadiansyah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, menyatakan pada dasarnya konsep bekerja yang terintegrasi secara digital seperti remote working sudah jadi prioritas dalam program kerja Presiden Joko Widodo periode yang kedua.
Sayangnya, tantangan dalam menerapkan remote working ini adalah implementasi yang masih belum ideal. Pandemi Covid-19 memaksa segenap instansi melakukan mekanisme kerja secara digital dari rumah, dengan hasil saat ini banyak pekerjaan ASN yang juga tercecer dan meleset dari target.
“Konsep ini memang bagus karena akhirnya dilihat hasil kerja PNS itu sehingga nantinya akan memgurangi gemuknya struktur PNS. Tercermin karena pandemi ini membuktikan proses kerja belum optimal, sistem pengawasan pemantauan dari struktural juga masih lemah. Waktu Lebaran banyak PNS masih nekat liburan, selama WFH di rumah tak bekerja,” ujar Trubus kepada Bisnis.
Oleh sebab itu untuk mendorong pengambilan kebijakan publik dan mekanisme kerja yang lebih efektif, Trubus menyarankan penguatan pengawasan, kedisiplinan instansi, serta penegakan hukum terhadap segenap ASN. Jika mekanisme pengawasan berjalan optimal, efisiensi lebih mudah tercapai dan tentu imbasnya akan memperkecil pula porsi anggaran belanja pegawai.
Selain itu, hasil pekerjaan pelayanan publik bisa jauh lebih cepat, efektif, efisien, serta transparan dan memuaskan masyarakat. Sebab, sistem teknologi informasi yang baik akan membantu mendorong transparansi dan mencegah praktik kotor birokrasi salah satunya korupsi.
“Hasil penelitian saya, memang target kerja PNS harus diperkuat ke arah hasil. Temuan saya membuktikan, di daerah misalnya, PNS itu gengsi tinggi, hidup aman dan nyaman. Maka dengan integrasi digital ini agenda lain yang harus dibenahi adalah dalam rekrutmen, kompetensi dasar, kompetensi bidang, harus ada pendalaman tentang moral hazard mereka,” tutunya.
Saat ini instansi pemerintahan yang paling tidak siap adaptasi IT menurut Turbus adalah pendidikan. Dia memerinci, para guru, dosen, masih keteteran dalam bekerja memanfaatkan aplikasi dan platform teknologi digital. Tak heran selama belajar di rumah, guru hanya membebankan banyak PR. Lantas jika anak tak bisa kerjakan, orangtuanya yang akan mengerjakan.
“Hal seperti ini contoh belum implementatifnya kerja dari rumah. Jika ada sejenis kasus itu, PNS tidak bisa adaptasi dengan IT, PNS bisa langsung diberhentikan saja atau pensiun dini," tuturnya.
Selama masa integrasi dan pandemi ini Trubus juga menyarankan, sebaiknya pemerintah merekrut PNS berstatus kontrak atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
"Sehingga bisa mendapatkan karyawan yang sesuai kebutuhan, adaptif, dan melek IT,” tutur Trubus.