Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kesuburan Ekonomi Dari Puing-Puing Pandemi

Siapa yang pernah menyangka kabin pesawat yang dimiliki sebuah maskapai penerbangan papan atas skala global akhirnya harus diubah menjadi restoran premium.
Penampakan Kota London yang sunyi, berlatar belakang perkantoran di area komersial, akibat pandemi Covid-19./Bloomberg/Luke MacGregor
Penampakan Kota London yang sunyi, berlatar belakang perkantoran di area komersial, akibat pandemi Covid-19./Bloomberg/Luke MacGregor

Bisnis.com, JAKARTA – Pandemi Covid-19 yang sudah hampir setahun menyengat penduduk bumi ini memicu revolusi di mana-mana.

Kita sering mendengar istilah ‘tidak semudah membalikan telapak tangan’ untuk menggambarkan hal baru yang ingin diraih tetapi ternyata begitu sulit direalisasikan.

Namun pagebluk kali ini berhasil dengan mudahnya ‘memutarbalikan siang dan malam’. Artinya, dunia yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya perlahan terwujud.

Mulai dari social distancing, work from home hingga industri yang luluh lantak diterjang dampak menahun pandemi. Siapa yang pernah menyangka kabin mewah pesawat yang dimiliki sebuah maskapai penerbangan papan atas skala global akhirnya harus diubah menjadi restoran premium.

Pesawat itu tidak bisa dioperasikan melayani penerbangan internasional akibat dampak lanjutan pandemi di dunia. Strategi baru dan bahkan model bisnis yang sama sekali tak terpikirkan sebelumnya harus diracik untuk menyambung hidup perusahaan dan nasib para karyawannya.

Ya, ini sebuah revolusi. Bisa juga dikatakan disrupsi jilid kedua atau bahkan gabungan keduanya.

Rasanya baru kemarin dunia diguncang oleh disrupsi yang membuat kita terkaget-kaget untuk beradaptasi. Malah belum semua orang sempat mengenakan ‘sabuk pengaman’ untuk melewati turbulensi itu.

Masih di lorong turbulensi itu, yang entah kapan atau dimana akan berujung, kini ada goncangan baru yang tak kalah hebat. New normal. Kenormalan baru. Begitu banyak orang menyebutnya.

Apa dan bagaimananya new normal ini, belum terlalu jelas. Yang pasti fenomena yang muncul saat ini merupakan hasil atau dampak dari ‘revolusi Covid-19’ di seluruh dunia.

Disrupsi pertama bisa jadi lebih banyak didorong oleh perkembangan dan aplikasi teknologi digital dan internet yang begitu masif. Sebaliknya disrupsi kali ini dihentak oleh pandemi global dengan segala dampak ikutannya yang begitu dalam terhadap sendi-sendi ekonomi, bisnis, dan kehidupan. Adapun kesamaannya: Efisiensi besar-besaran!

Kondisi ini mengingatkan kita pada konsep ‘penghancuran kreatif’ (creative destruction). Ekonom Joseph Schumpeter memperkenalkan frasa ini dalam bukunya, Capitalism, Socialism, and Democracy (1942).

Hal ini untuk menerangkan sebuah proses ketika gagasan dan material yang sudah atau menjelang mati menjadi ‘pupuk’ untuk gagasan-gagasan atau material yang baru. Alhasil memberi perekonomian (kapitalisme) sebuah dinamisme yang mampu mengalami regenerasi diri.

Sewaktu industri-industri menjadi usang dan mati, para pekerja, aset, dan gagasan yang pernah menopang mereka dibebaskan untuk bergabung kembali ke dalam bentuk-bentuk baru guna menghasilkan barang-barang, jasa-jasa, dan gagasan-gagasan yang memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen yang telah berubah.

“Proses ini mendukung sebuah ekosistem ekonomi yang terus berkembang. Ia bukan produk keinginan politik yang datang begitu saja,” tulis Ian Bremmer dalam The End of The Free Market. Who Wins the War Between States and Corporations? (2010).

‘Penghancuran kreatif’, menurut Bremmer, mendalilkan bahwa industri-industri pembuat barang-barang yang tidak diinginkan lagi akhirnya akan gulung tikar.

Hal itu berarti hilangnya pekerjaan dan hilangnya upah, jenis persoalan yang dapat membuat orang-orang yang putus asa berunjuk rasa ke jalan-jalan menuntut pemerintah.

Seberapa relevan pemikiran Schumpeter itu dengan kondisi di Tanah Air dewasa ini? Rasanya banyak juga yang sesuai perkiraan ekonom itu meski tidak seluruhnya benar. Namun ‘Sang Penghancur’ benar adanya. Ada di depan mata kita: Covid-19.

Persoalannya, kita memang hancur, harus hancur atau (dipaksa) bermetamorfosis menjadi elemen yang sama sekali baru supaya tetap relevan dengan keinginan konsumen di era new normal? Opsi terakhir nampaknya menjadi sebuah tantangan paling keras untuk dijawab dalam satu dekade belakangan ini.

Lalu bagaimana korporasi harus menyikapinya? Apakah menjadi super inovatif saja sudah cukup untuk bertahan? Atau harus lebih ‘gila’ dari itu?

Selama masa transisi besar sebagai dampak hantaman langsung dan tidak langsung disrupsi ini–bisa berupa merger, akuisisi, perubahan model bisnis yang sangat mendasar, pergantian manajemen, pemutusan hubungan kerja atau penjualan yang terjun bebas–peran seorang pemimpin puncak, sang nakhoda, sang CEO akan sangat menentukan.

"Pesan-pesan harian dari sang CEO menjadi kritis untuk mengendalikan rasa aman para pegawai," ujar Evelyn Clark (2004).

Inti pesan yang disampaikan Clark adalah corporate storytelling. Ada seninya, ada strateginya. Bukan sekadar bicara 'kita sudah berada di jalan yang benar', 'kita sudah adaptif', 'kita sudah melakukan efisiensi' atau semacamnya.

Tantangannya adalah, bagaimana pesan harian ini bagian dari visi jangka panjang sang pemimpin yang dapat membaca tanda-tanda zaman bahwa kapal yang dikomandoinya mampu menerjang badai dengan melakukan ‘modifikasi sedemikian rupa’ hingga akhirnya sampai di pelabuhan tujuan dengan selamat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper