Bisnis.com, JAKARTA - Bisnis keluarga memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Berdasarkan dari laporan Daya Qarsa, yang dipaparkan oleh Apung Sumengkar, Managing Partner (CEO) Daya Qarsa, menunjukan bahwa bahwa 95 persen bisnis di Indonesia masih dikategorikan sebagai bisnis keluarga.
Selain itu, bisnis keluarga juga berkontribusi sebesar 82 persen untuk produk domestik bruto Indonesia.
Namun, diketahui juga bahwa hanya 13 persen bisnis keluarga bertahan hingga generasi ketiga. 70 persen bisnis keluarga juga tidak mampu bertahan hingga generasi kedua.
Bahkan kondisi tersebut juga diperparah dengan adanya covid-19. Diketahui bahwa sebesar 47 persen responden menganggap Covid-19 sebagai kekhawatiran utama dalam bisnis keluarga.
Kemudian, diketahui terdapat empat tantangan yang dihadapi dalam bisnis keluarga. Tantangan tersebut meliputi yakni sebagai berikut.
Baca Juga
1. Adanya penurunan bisnis secara signifikan dan kesulitan bertransformasi digital
Dengan kondisi keuangan perusahaan di masa pandemi, maka membuat pendapatan menurun dan tidak memungkinkan perusahaan untuk melakukan transformasi digital.
Hal ini membuat perusahaan menjadi lebih sulit untuk menjangkau pelanggan yang telah banyak mengandalkan saluran digital, terutama dalam berselancar.
2. Perencanaan dan penerapan manajemen suksesi yang belum maksimal
Manajemen suksesi diketahui menjadi aspek penting dalam keberlangsungan bisnis. Namun pelaksanaannya masih terdapat beberapa hambatan.
Pola yang terjadi dalam menghambat implementasi dalam hal ini adalah kurang atau tidak adanya rasa percaya diri dari manajemen senior atau sebelumnya kepada penerus, tidak memberikan kendali atau tanggung jawab lebih, dan kapabilitas yang masih kurang dari generasi penerus sehingga memunculkan ketidakjelasan mengenai penerus perusahaan kedepannya.
3. Memastikan well-being karyawan dan membenahi budaya dan mindset
Dengan mindset dan budaya perusahaan yang konvensional, maka berpotensi menghambat pergerakan bisnis di masa pandemi yang tidak pasti.
Contoh budaya konvensional adalah seperti pengelolaan perusahaan yang masih tersentralisasi, agility dan mindset inovasi karyawan yang rendah, komunikasi yang masih bersifat satu arah dan divisi yang terkotak-kotak.
4. Penerapan sistem tata kelola perusahaan yang profesional
Terkait tata kelola, tantangan yang dihadapi adalah pembagian peran, tanggung jawab dan wewenang yang kurang jelas, kurangnya komunikasi antara stakeholder di dalam bisnis, konflik yang tidak dikelola dengan baik, dan proses dokumentasi yang belum rapi dan transparan.
Namun diantara keseluruhan tantangan, Apung mengatakan bahwa faktor utamanya adalah dikarenakan generasi penerus tidak mau melanjutkan bisnis sebelumnya.
“Rata-rata kami lihat salah satu alasan utamanya karena generasi penerusnya tidak mau melanjutkan lagi bisnisnya, atau mereka melihat enggan untuk melanjutkan bisnis tidak sesuai dengan passionnya” ujarnya.
Kemudian, Disa Novianty selaku Direktur Corporate Strategy & Development Kalla Group, perusahaan yang telah bertahan selama tiga generasi hingga kini juga menyetujui mengenai hal ini.
”Masing-masing orang memang memiliki passionnya sendiri. Ada yang tidak memiliki minat ke bisnis, dan ada yang tidak memiliki minat ke bisnis namun ke startup. Hal inilah kadang-kadang yang membuat ada perusahaan keluarga yang tidak bisa berkembang, atau lahir menjadi beberapa perusahaan lain” Jelasnya.