Bisnis.com, JAKARTA - Sosok Erwin Gunawan, Geraldi Tjoa dan Andi Sie merupakan anak muda yang memiliki inovasi masa kini.
Pasalnya, startup di bidang teknologi agrikultur (agritech) yang mereka besut dinilai memberikan kepedulian pada sumber pangan (food loss) guna menghadirkan sumber nutrisi yang terbaik.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno dan Kepala Badan Pangan Nasional Republik Indonesia, Arief Prasetyo Adi pun memuji inovasi mereka berupa teknologi agrikultur berbentuk pod (GREENS pod).
Ini merupakan penemuan pertama di Indonesia yang mampu menciptakan sistem penanaman dalam ruangan yang terintegrasi dengan Blockchain, Artificial Intelligence (AI), dan Internet of Things (IoT) menarik minat negara lain.
Lantas, seperti apa kisah berdirinya GREENS dan apa alasan mereka ingin memajukan transformasi sistem pangan di Indonesia? Berikut ulasan Bisnis selengkapnya.
Erwin Gunawan, Geraldi Tjoa dan Andi Sie merupakan tiga sekawan yang menjadi ‘juru kunci’ berdirinya GREENS tahun 2018 silam.
Baca Juga
Berbincang dengan Bisnis, Erwin mengisahkan ide awal tercetusnya proyek ini, ketika dia pulang ke Indonesia, setelah 20 tahun lamanya menetap di Amerika.
Ingin Temukan Arti Hidup
Erwin sendiri adalah lulusan Bachelor of Science dari The Ohio State University. Usai menyelesaikan kuliahnya, diketahui beragam pekerjaan sempat dirinya jalani, mulai dari bekerja di bidang supply chain, membangun industri F&B, hingga mendirikan startup distributor, nyatanya masih belum menjadikan dirinya menemukan tujuan hidup.
“Jadi, saya dulu memang selalu mengejar profit. Terbukti, saya mendirikan restoran. Lalu, beberapa waktu kemudian saya berpikir keras, bagaimana ya caranya agar hidup menjadi meaningful, itu ternyata jadi gerbang hingga kami bisa membawa GREENS sampai ke sini,” kata Erwin dalam dalam GREENS Media Tour di Plaza Indonesia, Rabu (11/1/2023) lalu.
Tapi, sebelum mendirikan GREENS, Erwin nyatanya sudah lebih dulu menjadi CEO Software House, di mana perusahaannya ini berupaya mengembangkan ekosistem blockchain di Indonesia.
“Nah, ketika saya merintis perusahaan tersebut. Malah, saya menemukan ada permasalahan lain, di mana di Indonesia, sebanyak 48 juta metrik ton makanan terbuang secara percuma setiap tahunnya, karena akibat penyimpanan, transportasi, dan penjualan hasil pangan yang tidak efisien yang berakhir pada kerusakan hasil panen dan berujung pada berbagai masalah terkait kekurangan gizi bahkan kelangkaan pangan,” katanya.
Menggandeng Praktisi Teknologi
Dengan riset yang sangat panjang, akhirnya Erwin menggandeng beberapa praktisi yang berpengalaman, seperti Geraldi Tjoa yang kini menjabat sebagai Co-Founder & Chief Product Officer GREENS.
Geraldi sendiri punya spesialiasi dalam produksi dan otomasi makanan dengan latar belakang robotika sebagai lulusan Computer Science dari Universitas Pelita Harapan.
“Karena, keluarga saya punya restoran, saya pun punya concern yang sama dengan Pak Erwin. Kami dikenalkan melalui mutual friends, dan akhirnya kami membuat project itu bersama teman Pak Erwin saat kuliah, yaitu Andi Sie yang juga merupakan CEO GREENS, ahli transformasi startup yang kini masih di Amerika,” jelasnya pada Bisnis.
Geraldi menjelaskan, ketika GREENS berdiri pada tahun 2018, dirinya coba membuat solusi berupa ekosistem makanan hiperlokal baru, di mana masyarakat dapat mengonsumsi makanan bernutrisi tinggi yang ditanam dan dipanen di tempat dengan menggunakan platform teknologi.
"Kami ingin menciptakan traceability, sebuah alat manajemen risiko yang memungkinkan pelaku bisnis tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan. Sebaliknya, konsumen juga tahu apa yang dirinya pangan. Semua proses penanaman hingga panen semua tercatat dengan lengkap. Hal tersebut menjadi suatu landasan dari berbagai negara dalam hal kebijakan keamanan pangan. Salah satunya adalah dengan NFT,” jelasnya.
Bagi Geraldi, jika sebelumnya NFT adalah aset digital berbasis blockchain, di mana karya digital mulai dari foto, video, aset dalam game, hingga lukisan digital menjadi bentuk yang paling populer. Tapi GREENS ingin membuat terobosan baru yakni sebuah edible NFT alias NFT yang bisa dimakan.
“Utilitas dari NFT sendiri seringkali menjadi pertanyaan. Jadi, kami membuat NFT yang bisa dinikmati,” ungkapnya.
Adapun, cara kerja dari edible NFT ini, yaitu seorang pengguna mengakses aplikasi GREENS secara digital di dunia virtual seperti Metaverse. Lalu, GREENS sendiri akan menjadi perusahaan yang bergerak di bidang Metafarmer. “Hasil panennya bisa diuangkan ataupun bisa disantap di dunia nyata di stasiun GREENS terdekat,” katanya.
Geraldi menambahkan, untuk saat ini edible NFT masih terus dikembangkan dan menjadi proyek privat.
Berdayakan Petani Lokal
Sebagai startup yang telah terintegrasi sepenuhnya dengan teknologi, nyatanya GREENS tetap tidak melupakan adanya petani lokal di Indonesia.
“Jadi, kami masih tetap punya permintaan terhadap beberapa tanaman dari mereka. Pelan-pelan, lewat cara ini kami juga ingin mengajarkan kepada generasi muda bahwa ada ekosistem pertanian baru. Tanpa harus mengandalkan musim. Karena anak mudalah yang akan menggantikan petani-petani yang sudah ada dan masih bertahan sampai saat ini. Banyak manfaat dari penggunaan teknologi,” katanya.
Kini, GREENS tengah mengembangkan beberapa fitur. Selain, menyempurnakan teknologi Greens pod-nya, diketahui pula bahwa GREENS tengah merampungkan proyek solar panelnya di tahun 2023.
“Kami sebagai startup teknologi memang punya concern atas renewable energy untuk menghadapi environmental issues,” tutup Geraldi.