Bisnis.com, JAKARTA - China Evergrande Group, pengembang real estate tengah menjadi sorotan atas krisis utang yang perusahaannya hadapi hingga menimbulkan kegelisihan bagi akan runtuhnya perekonomian China hingga krisis keuangan global.
Hui Ka Yan yang merupakan pendiri Evergrande Group sekaligus miliarder Tiongkok dan Ketua China Evergrande Group, salah satu pengembang real estat terbesar di Tiongkok telah kehilangan lebih dari 93 persen kekayaannya, dari US$42 miliar atau setara dengan Rp629,8 triliun menjadi sekitar US$3 miliar atau setara dengan Rp44,9 triliun saat ini.
Bahkan, di satu titik, Hui harus menjual beberapa rumah dan jet pribadinya untuk menyelamatkan perusahaan dari utang yang kian besar. Bukan hanya Hui, lima taipan properti terkaya di China juga secara kolektif merugi lebih dari US$65 miliar atau setara dengan Rp974,7 trilun sejak pandemi lalu.
Lantas, sebenernya seperti apa profil bisnis Evergrande yang diisukan bangkrut ini? Berikut ulasan Bisnis selnegkapnya.
Mengutip dari dari BBC, pengusaha Hui Ka Yan mendirikan Evergrande, yang sebelumnya dikenal sebagai Grup Hengda, pada 1996 di Guangzhou, China Selatan.
Grup Evergrande memiliki 565 juta meter persegi (6.080 juta kaki persegi) dengan 1.300 proyek di lebih dari 280 kota di seluruh China.
Dengan perkembangannya yang pesat, membuat Grup Evergrande memperluas lini bisnis dengan membangun taman hiburan, di mana salah satu proyek paling terkenalnya adalah Ocean Flower Island yang berlokasi di Hainan.
Selain itu, pada 2010, Evergrande Group pun mengakuisisi klub sepak bola Guangzhou Evergrande FC dan berinvestasi besar-besaran untuk mendapatkan pemain top. Bahkan, Alibaba juga memiliki 50 persen saham di klub sepak bola tersebut.
Pada Maret 2015, Evergrande mengakuisisi New Media Group Holdings dan menamainya Evergrande Health. Lalu, melalui anak perusahaan Evergrande Health, pada tahun 2018 mengakuisisi 45 persen saham di perusahaan kendaraan listrik Faraday Future seharga US$2 miliar.
Hingga akhirnya, pada Juni 2020, perusahaan ini menyatakan mulai memproduksi mobil listrik pada tahun 2022.
Model Bisnis Evergrande Group
Berdasarkan Financial Times, Evergrande memiliki pendapatan hampir US$78 miliar atas ratusan proyek di lebih dari 200 kota di China. Selama bertahun-tahun, perusahaan ini menjalankan bisnis dengan menggunakan uang pinjaman dan apartemen yang telah terjual sebelumnya untuk secara agresif mengumpulkan tanah dan mengembangkan proyek.
Sepanjang jalan perusahaan membayar miliaran dolar dalam bentuk dividen kepada pemegang saham, termasuk setara dengan lebih dari $5 miliar selama tiga tahun terakhir kepada pendiri, pemegang saham teratas, dan Ketua Hui Ka Yan.
Masalah mulai muncul ketika adanya kebijakan pembatas wilayah atas Covid-19 dan membuat penjualan properti merugi selama berbulan-bulan. Maka, untuk mengatasi masalah ini, perusahaan berupaya mengumpulkan dana melalui penjualan aset dan penawaran ekuitas dan juga menerapkan langkah-langkah pemotongan biaya.
Bisa Picu Krisis Keuangan Global
Evergrande sendiri merupakan salah satu dari tiga pengembang terbesar di China, dengan jejak yang cukup signifikan. Selama bertahun-tahun, banyak investor memberikan uang kepada perusahaan seperti Evergrande karena mereka yakin Beijing akan selalu turun tangan dengan penyelamatan jika keadaan menjadi terlalu goyah.
Meski, selama beberapa dekade, para investor benar. Tapi baru-baru ini, pihak berwenang telah menunjukkan keinginan yang lebih besar untuk membiarkan perusahaan gagal untuk mengendalikan masalah utang China yang tidak berkelanjutan.
Untuk menekankan poin ini, bank sentral China menyalahkan "manajemen buruk dan ekspansi sembrono, sehingga Evergrande kini harus mengatasinya sendiri.
Perusahaan yang saat ini memiliki lebih dari 800 proyek yang sedang dibangun, lebih dari setengahnya dihentikan karena kas yang tidak mencukupi. Ada ribuan perusahaan dari hulu ke hilir yang mengandalkan Evergrande untuk bisnis, menciptakan lebih dari 3,8 juta pekerjaan setiap tahun.
Tidak hanya itu saja, investor asing sekarang khawatir bahwa uang yang mereka miliki mungkin tertahan di China. Bahkan, kepanikan dari investor dan pembeli rumah dapat meluas ke pasar real estate hingga akhirnya menekan harga, memengaruhi kepercayaan yang membuat pasar meragukan kondisi real estate perusahaan properti lain.
Sehingga, atas kasus yang menimpa Evergrande ini tentu dapat mengguncang pasar keuangan global dan mempersulit perusahaan China lainnya untuk terus membiayai bisnis mereka dengan investasi asing.