Melanjutkan bisnis keluarga yang sudah berjalan, bukanlah perkara yang mudah. Ada yang bisa bertahan hingga beberapa generasi, tetapi tak jarang pula usaha yang sudah dirintis terhenti begitu saja karena tidak ada penerus atau terjadi konflik internal.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh The Jakarta Consulting Group, dari sekian banyak bisnis keluarga yang bertahan, sebagian besar didominasi oleh bisnis keluarga keturunan China (Overseas Chiness Family Business). Beberapa di antaranya, sering kali dijadikan sebagai contoh keberhasilan usaha keluarga antara lain Ciputra Group, Lippo Group, dan Sinar Mas Group.
Secara performa di bursa efek pun perusahaan yang dijalankan oleh para Taipan tersebut menunjukan pergerakan saham yang gemilang, sehingga secara tidak langsung ikut menopang perekonomian negara. Lalu hal apa saja yang membuat bisnis keluarga keturunan China tersebut bisa terus bertahan?
CEO The Jakarta Consulting Group Patricia Susanto mengatakan biasanya usaha yang dijalankan oleh keluarga China dimulai dari berdagang. Karena sebagai perantau, keluarga keturunan Tionghoa tidak memiliki apa-apa kecuali koneksi dan kemampuan untuk bernegosiasi dan berdagang.
Oleh karena itulah, meskipun menjadi perantau, banyak di antara keluarga keturunan China yang sukses dan memiliki bisnis besar. Dan biasanya usaha tersebut berhasil karena mereka bangga dengan bisnis yang dimilikinya.
“Orang Chinese jago dagang karena mereka tidak memiliki tanah atau sawah, dan lainnya, yang mereka miliki hanya jiwa dagang dan koneksi. Ketika berdagang, mereka sangat narsis. Dan narsisme dalam bisnis keluarga menjadi persyaratan mutlak,” ucap Patricia ketika mempresentasikan hasil riset yang didokumentasikan pada buku The Dragon Network: Inside Stories of the Most Successful Chinese Family Businesses, dalam Seminar Manajemen Bisnis Keluarga yang diselenggarakan mahasiswa Atmajaya, Selasa (11/6).
Terkait dengan koneksi atau jaringan, Patricia menilai bahwa warga keturunan Tionghoa memiliki keterikatan emosi yang kuat dengan orang yang satu rumpun dengannya.
Berdasarkan hasil riset yang didokumentasikan dalam buku tersebut, masyarakat China memiliki hobi ‘nepotisme’. Sebab dengan ketidakadaan yang mereka miliki, mereka harus memperkuat ikatan kekeluargaan dan koneksi untuk memajukan dan mengembangkan usaha yang dijalankan
“Orang China memiliki hubungan yang erat secara historis karena itulah mereka lebih senang menjalankan bisnis dengan orang yang satu rumpun, satu bahasa, apalagi bila memiliki dialeg yang sama, sesimple itu,” terangnya.
Di samping itu, keberhasilan dan kesuksesan perkembangan usaha yang dijalankan keluarga China juga tak lepas dari ajaran-ajaran seperti Confucius yang masih melekat dalam kehidupan mereka. Antara lain, ajaran untuk selalu hormat pada orang tua, bekerja keras, hidup sederhana, dan menjaga nama baik.
“Mereka benar-benar harus menjaga nama baik perusahaan, jangan sampai rusak. Karena bila itu sudah rusak, tidak ada lagi yang bisa dijual selain nama.”
Dari ajaran confucius tersebut, ada tiga nilai yang diturunkan dan banyak diterapkan ketika mereka menjalankan bisnis keluarga sehingga usahanya dapat tetap bertahan. Pertama Filial Piety, yakni seseorang diajarkan untuk hormat kepada orang tua. Kedua, Guanxi yakni koneksi antar saudara satu rumpun atau nepotisme. Ketiga, Familisme ketika orang tua mulai mengajarkan anaknya sedini mungkin tentang bisnis, serta jiwa kekeluargaan yang kuat serta menghargai orang lain
“’Nepotisme’ kekeluargaan ini salah satu yang membuat Chinese Family Business bisa berkembang dengan cepat. Mereka kenal dan percaya dengan orang satu rumpun, lalu bekerja sama.”
Meski demikian, yang namanya usaha keluarga tidak bisa lepas dari konflik diantara anggota keluarga, apalagi bila usaha yang dijalankan semakin besar. Namun hebatnya, sambung dia, konflik yang terjadi pada bisnis keluarga keturunan Tionghoa sering tidak terlihat.
Sebab, sebisa mungkin mereka menjaga kondisi keharmonisan keluarga ketika di luar apalagi bila berhadapan dengan klien. “Kalau mereka memperlihatkan konflik ke luar, akan berdampak pada bisnis secara keseluruhan. Hal ini pula lah yang membuat Chinese family business tetap langgeng, selain itu ajaran-ajaran yang melekat tersebut juga terus diturunkan dari generasi ke generasi.”
Menurut Patricia, konflik di dalam bisnis keluarga harus segera dicari jalan keluar, persoalan apa yang sebetulnya terjadi, lalu hal tersebut diceritakan dan dikomunikasikan bersama agar tidak berlarut-larut.
Di samping itu, hal yang juga tidak kalah penting dan menjadi tantangan bagi generasi penerus ialah bagaimana melanjutkan usaha yang sudah dijalankan tersebut sehingga dapat terus berkembang?
Menurut Patricia, sebagai penerus pasti banyak pihak yang akan membandingkan keberhasilan usaha yang dijalankan sebelumnya dengan bisnis yang akan dilanjutkan tersebut, apalagi bila bisnis tersebut sukses dan berkembang cukup pesat. Tentu hal ini menjadi tantangan yang tidak mudah.
Oleh karena itulah, generasi penerus harus memiliki jiwa enterprenuer yang juga kuat. Yang bisa dilakukan oleh generasi penerus ialah ekspansi ke bisnis lain. Bisnis yang sudah ada dilanjutkan dan dikuatkan, tetapi juga perlu mengembangkan dengan masuk ke bisnis lain yang masih memiliki hubungan.
“Gunakan bisnis utama untuk pengembangannya sehingga bisnis yang dijalankan masih sesuai dengan kor terdahulu. Bila perlu jalankan dan kembangkan usaha dari hulu ke hilir. Memang hal ini menjadi tantangan yang sulit bagi generasi penerus.”
Untuk itulah, sebagai penerus, seseorang harus bekerja lebih ekstra dibandingkan pekerja profesional. “Bisnis sendiri dibandingkan dengan kerja bersama orang lain, lebih susah berbisnis sendiri karena harus selalu memikirkan strategi pengembangan usaha.”
Nah, menurut Patricia, untuk seseorang yang merasa sudah siap menjadi generasi penerus maka dapat segera terjun menjalankan bisnis keluarga. Namun, bila merasa belum siap, perlu untuk magang atau bekerja di tempat lain, selain menimba ilmu, juga menempa kemampuan diri.
Jika sudah kuat ketika dimarahin antasan dan bisa mengatasi persoalan yang ada, maka sudah bisa memulai bisnis sendiri. Namun, bila belum merasa kuat, jangan coba-coba untuk memulai bisnis, karena ketika berbisnis akan banyak orang yang siap memarahi kita baik orang tua, pegawai, klien, hingga konsumen
“Menjadi seorang enterprenuer itu tidak gampang, dia harus ditempa dan tahan terhadap segala persoalan sebelum akhirnya masuk dan memegang kendali bisnis keluarga.”