Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kiat Manajemen: Generasi Kerja Kepompong!

Bisnis.com, JAKARTA - Baru-baru ini, entah benar atau tidak, telah beredar luas berita soal mahasiswa bunuh diri gara-gara tidak bisa mengganti tampilan fotonya di HP-nya. Dan baru-baru ini juga dua eksekutif berkeluh kesah soal staf baru mereka.

Bisnis.com, JAKARTA - Baru-baru ini, entah benar atau tidak, telah beredar luas berita soal mahasiswa bunuh diri gara-gara tidak bisa mengganti tampilan fotonya di HP-nya. Dan baru-baru ini juga dua eksekutif berkeluh kesah soal staf baru mereka.

Yang satu berkata, “Belakangan ini, saya bingung dengan anak-anak yang baru masuk kerja di sini.  Mereka itu borosnya luar biasa. Tapi terus berkeluh kesah soal gaji dan saya lihat kayaknya mereka ini ingin cepat-cepat  jadi manager. Kalau bisa hari ini masuk, besok udah mau jadi manager!.”

Sementara yang lainnya berkata dengan kesal, ”Saya merasa anak-anak muda yang kami rekrut sekarang karakternya itung-hitungan, dan cepat menyerah.

Paling susah disuruh kerja ekstra dan kalau kerja nggak ada hasilnya, dibiarin dan ngomongnya, “nggak bisa pak” tanpa merasa bersalah bahwa mereka belum berusaha!.”

Pada awal 2000, seorang psikolog Jepang yakni Tamaki Saito juga mulai memperhatikan suatu fenomena aneh pada generasi muda di Jepang, dan seluruh dunia. Akhirnya, dia pun memunculkan sebuah istilah yakni “hikikomori.” Yakni kecenderungan anak muda untuk menarik diri dari pergaulan sosial, tidak peduli dengan kondisi sosial dan sulit untuk bergaul. Namun herannya, di sisi lain media sosial makin tinggi angka penggunanya.

Berbagai fenomena di atas itulah, membuat saya tertarik untuk membahas soal generasi kerja muda yang mulai memasuki dunia kerja sekarang yang disebut sebagai generasi Y atau genarasi Z. Sebuah generasi yang lahir setelah tahun 1980-an.

Tidak mengherankan, bila beberapa psikolog menyebut generasi ini sebagai generasi kepompong. Mengapa ‘kepompong’? Ilustrasi kepompong menggambarkan kondisi kepompong yang “terlindung rapih, tidak melakukan apapun dan hanya makan dan tidur”. Begitu pula yang banyak dialami oleh generasi setelah era-80 ini. Dan bicara soal kepompong inipun saya teringat sebuah kisah motivasional soal kepompong.

Dikisahkan suatu ketika ada seorang anak sedang bermain dan menemukan kepompong kupu-kupu di sebuah dahan yang rendah. Lantas, anak itu tertegun mengamati lubang kecil tersebut karena terlihat ada seekor kupu-kupu yang sedang berjuang untuk keluar membebaskan diri. Melihat hal itu, si anak jadi iba dan memutuskan untuk membantu si kupu-kupu keluar dari kepompongnya.

Dia pun mengambil gunting lalu mulai membuka badan kepompong dengan guntingnya agar kupu-kupu bisa keluar. Begitu kepompong terbuka, kupu-kupu pun keluar dengan mudahnya. Akan tetapi, apa yang terjadi? Sayap-sayapnya masih berkerut dan ototnya masih kecil. Kupu-kupu itu akhirnya tidak mampu terbang seumur hidupnya.

GENERASI YANG MELINDUNGI

Siapakah yang pantas untuk dipersalahkan atas lahirnya generasi Y dan Z sekarang ini? Tidak bisa dipungkiri, generasi orang tuanya turut memberikan andil. Biasanya, genarasi Y dan Z sekarang ini, berasal dari generasi X atau generasi baby boomer yang lahir dalam masa kesulitan. Karena hidup mereka di era tahun 60 atau 70-an itu relatif lebih susah, mereka pun berpikir, nanti setelah di era anak saya, saya ingin hidup mereka lebih mudah dan gampang.

Akhirnya, sama seperti kepompong itu. Anak mereka sangat dilindungi dan dijaga. Bahkan hidup mereka begitu dipermudah. Padahal anak-anak ini sebenarya butuh untuk melatih otot-otot melawan kesulitan.

Namun, celakanya, semuanya diambil alih oleh orang tuanya. Jadilah generasi yang pola pikir, ekspektasi dan gaya hidupnya berbeda. Kita menyebutnya sebagai generasi Y, yakni generasi yang lebih santai, lebih kreatif, lebih trendi, juga lebih ingin eksis yang dipengaruhi oleh tren dan gaya hidup modern. Atau, ada pula yang menyebutkannya sebagai generasi Z yakni, generasi IT yang hidupnya dikelilingi dengan games, Internet serta media sosial.

Generasi kepompong ini, seringkali dilihat secara negatif di tempat kerja. Mereka dianggap sangat mengaggungkan egaliter, kesetaraan. Sampai-sampai terkesan kurang sopan pada yang lebih tua, bahkan mereka sendiri menganggap sopan santun sebagai hal yang membuang-buang waktu.

Orientasi diri mereka juga sangat tinggi, dan cenderung lebih narsis. Mereka pun rata-rata dianggap cenderung kurang tidak peka dengan masalah sosial sekitarnya. Hidup mereka untuk sekarang dan kurang berpikir konsekuensinya. Merekapun dianggap terlalu ambisius, mau cepat dapat hasil tanpa mau bersusah payah. Itulah pandangan negatif buat mereka.

Sebenarnya, di sisi lain. Ada kelebihan pada generasi ini yang perlu kita lihat. Yakni pertama-tama, IQ mereka lebih tinggi. Merekapun lebih kritis, juga lebih percaya diri. Mereka lebih berani mengekspreasikan diri dan mampu menyesuaikan diri dengan cepat khususnya mengambil manfaat dari teknologi.

Salah satu keuntungan mereka yang hidup di zaman perubahan cepat ini adalah mereka lebih heterogen serta lebih terbuka terhadap perbedaan-perbedaan juga lebih menikmati hidupnya. Ini berbeda dengan bapak ibu mereka, yang cenderung lebih banyak mengkhawatirkan berbagai hal.

BAGAIMANA MENYIKAPINYA

Pertanyaan paling menarik tentunya, bagaimana perusahaan, khususnya para atasan harus menyikapi generasi kepompong ini? Selain memahami bahwa mereka adalah generasi yang berbeda, para pimpinan sekarang pun mulai harus belajar menyesuaikan diri dengan berbicara dengan bahasa mereka serta melalui media yang mereka pakai pula.

Dalam organisasi, gen Y dan Z ini tidak perlu terlalu di-micromanagement. Kasih mereka kepercayaan, diskusi dengan mereka soal tujuan dan cara mengerjakan. Kalau perlu kasih mereka kebebasan menentukan, kapan akan meyelesaikan pekerjaan. Bebaskan mereka untuk mengerjakan. Hanya monitor dan pastikan deadline terkejar.

Begitu pula, kasihlah ruang untuk ekpresikan diri. Ciptakan media perusahaan di mana mereka bisa eksis dan mengungkapkan dirinya. Mulai dari web di perusahaa, Intranet hingga kalau ada acara perusahaan, libatkanlah mereka. Kalau ada majalah dan info perusahaan, kasih kesempatan mereka untuk eksis missal melalui foto-foto ataupun tulisan mereka.

Lebih seringlah memberikan rewards yang sifatnya personal. Bukan lagi cuma gaji, tetapi juga hadiah berlibur, ataupun sebuah kado yang sifatnya sangat personal. Misalkan saja, kado yang sesuai dengan hobi mereka.

Perusahaan juga perlu kurangi sekat-sekat birokrasi. Libatkan mereka untuk kasih masukan. Misalkan, salah satu bank multinasional di Singapura, CEO-nya meluangkan waktu dan ruang di Internet yang sangat “pribadi” di mana karyawannya bisa berinteraksi secara langsung dengan dirinya.

Perusahaanpun pada akhirnya perlu lebih “gaul”. Lihatlah tata ruang kerja perusahaan yang masuk daftar “Best Compay to Work 2013” misalkan Google. Mereka punya ruang bermain, ruang game, ruang relaksasi. Ini bukan berarti perusahaan harus main-main, tetapi paling tidak harus lebih ‘trendi’ dan menyesuaikan dengan kebutuhan sekarang.

Toh, kita lihat perusahaan ini, kinerjanya tidak turun kok. Jadi intinya, untuk menyikapi generasi kepompong ini, perusahaan perlu lebih sadar bahwa angkatan kerja yang masuk sekarang adalah angkatan yang berbeda pola pikir, sikap hidup dan gayanya. Dan jelas-jelas, ini membutuhkan style dan pendekatan pengelolaan SDM yang berbeda terhadap mereka.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper