Bisnis.com, JAKARTA - Ketika mengetahui latar belakang saya sebagai certified recruiter dan berlatar psikologi, seorang presiden direktur pernah berkata pada saya,”Pak Anthony. Saya pernah dikasih tahu seorang pelamar yang tidak lolos psikotesnya. Lalu, waktu saya lihat pengalamannya saya ngotot untuk bertemu. Setelah itu, saya tetap memutuskan berdasarkan intuisi saya untuk menerimanya. Akhirnya, ternyata karyawan itu bisa bekerja dengan sangat baik!”
Lain lagi kasusnya yang menimpa sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit di mana saya pernah menjadi konsultannya. Sewaktu di tes, ada seorang supervisor dari perusahaan competitor yang hendak diterima. CV-nya cukup meyakinkan. Namun, dari hasil psikotes, termasuk dalam kategori tidak disarankan.
Namun, karena supervisor itu berasal dari perusahaan kompetitor yang terkenal, supervisor itu diterima. Tak tahunya, supervisor itu termasuk supervisor yang NATO (No Action, Talk Only).
Bahkan, supervisor inipun tidak masuk dalam masa percobaan. Dua kasus di atas itulah yang sering membuat kita pusing tujuh keliling di saat harus menetapkan apakah seseorang diterima menjadi karyawan atau tidak hanya berdasarkan hasil psikotes saja.
DUA KUTUB KEYAKINAN SOAL PSIKOTES
Saat ini, kita berada di dua kutub keyakinan. Ada yang tidak percaya dengan psikotes sama sekali. Umumnya, mereka yang berasal dari kubu ini komentarnya adalah ”Ala… psikotes itu bisa dipelajari!”, ”Saya enggak percaya psikotes karena enggak menunjukkan kinerja seseorang”.
Di sisi lain, ada yang justru sangat yakin dengan psikotes. Jadi kalau psikotes menunjukkan tidak disarankan, maka apapun alasannya, orang itu pasti tidak akan diterima. Titik. Maka, di antara kedua keyakinan inilah, saya cenderung mengajak kita untuk menyikapi psikotes ini dengan lebih bijaksana.
BAGAIMANA MENYIKAPI HASILNYA?
Awalnya, psikotes adalah sebuah alat saringan (filter) untuk mencari ”yang baik dari yang buruk” ataupun mencari ”yang terbaik dari yang baik”. Jadi, fungsi awalnya sering dikaitkan dengan shortlisted (untuk memperkecil jumlah).
Misalkan saja, untuk merekrut 100 pendaftar yang sama sekali sarjana baru. Maka, psikotes akan memperkecil jumlah yang perlu diproses lebih lanjut. Jadi, di sinilah psikotes membantu kita mengurangi jumlah orang yang perlu ditindak lanjuti.
Umumnya, dalam hasil assessment ataupun hasil psikotes ada tiga kemungkinan yang seringkali kita baca di bawah profil seorang pelamar kerja: disarankan, dipertimbangkan, tidak disarankan. Bedanya? Disarankan, artinya, berdasarkan psikotes, orang ini dianggap layak untuk dikaryakan. Inilah kandidat utama yang bisa langsung dapat lampu hijau untuk proses berikutnya (jadi, diproses berikutnya, bukan berarti harus langsung diterima lho ya!).
Dipertimbangkan, artinya ya lampu kuning. Ada beberapa aspek yang mungkin perlu diperhatikan lebih lanjut. Jadi butuh perhatian yang lebih mendalam untuk menentukan apakah calon ini layak atau tidak. Tidak disarankan, artinya memang tidak memenuhi kriteria menurut alat tesnya.
Namun, ingatlah. Apa pun hasil psikotes, saya anggap bahwa kita baru mengantongi sepertiga dari kemampuan seseorang. Lha, yang dua pertiga lagi apa? Pengalaman saya mengatakan dua pertiga itu terdiri atas (1) hasil penggalian selama interview serta (2) pengalaman teknis.
Jadi, sekarang kita mengerti bahwa ”disarankan” ataupun ”tidak disarankannya” seseorang dalam suatu psikotes sebenarnya hanya memberikan kontribusi sepertiganya saja. Jadi, Anda masih punya PR berikutnya.
Pertama, melihat pengalaman dan kemampuan teknis termasuk prestasinya terkait pekerjaan yang akan dimasuki. Kedua, menggali lebih jauh tentang orang ini (baik melalui interview, ataupun reference check, termasuk dalam tahapan ini). Barulah, setelah semuanya lolos, kita bisa mengatakan kandidat itu sangat aman untuk diterima.
Penjelasan di atas akhirnya memberikan penjelasan kepada kita mengapa ada yang gagal di psikotes, tetapi ternyata ketika diterima ternyata bisa bekerja. Ataupun sebaliknya, hasil psikotesnya bagus tetapi gagal dalam melakukan pekerjaannya.
HATI-HATI DENGAN PSIKOTES
Di perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan sekitarnya seperti Kanada, di mana saya menempuh pendidikan sertifikasi recruiter sewaktu menjalani S-2 saya, psikotes menjadi sangat tidak populer.
Mereka kemudian sangat berfokus pada teknik mengecek pengalaman, referensi kontak langsung dengan perusahaan dulu (biasanya ini dilakukan) serta teknik interview yang mendalam. Itulah sebabnya mengapa di perusahaanperusahaan Amerika Serikat teknik Behavior Based Interview atau Competency Based Interview menjadi lebih populer.
Lantas, kembali ke pertanyaan awal, apa yang membuat psikotes kadang jadi tidak popular dan tidak dipilih? Barangkali, inilah beberapa alasan utamanya! Pertama, soal-soal psikotes yang bocor kemana-mana.
Akibatnya, orang lebih tertarik untuk memberikan apa jawaban yang disarankan daripada apa yang menunjukkan kenyataan tentang dirinya. Kedua, jam terbang psikolog yang kurang atau kurang mengerti bagaimana membaca hasilnya. Coba berikan hasil profil psikotes kepada dua psikolog, maka mereka akan memberikan intepretasi yang beda.
Kalau sudah menyangkut hal ini, jam terbang menjadi kuncinya. Psikolog berpengalaman akan tahu, kapan ia harus menganulir hasil tertentu (karena pertimbangan situasi pekerjaan serta risiko) serta mana yang tidak bisa dikompromikan lagi.
Ketiga, hanya sekadar tren saja dan tidak tahu mengapa psikotes itu dipakai. Kenyataannya, ada banyak perusahaan yang cuma memegang ”kunci” jawaban tetapi ketika ditanya lebih teliti mereka tidak bisa menjelaskan. Jadinya, mereka hanya berkata ”wah, dari dulu prosedurnya memang begini kok”.
Keempat, di antara variasi, mahalnya serta sulitnya mencari alat tes yang pas. Coba tanya pada semua psikolog, pastinya mereka semua akan menganjurkan bahwa psikotes terbaik tidak boleh disamaratakan untuk semua jenis pekerjaan. Namun coba prakteknya sekarang?
Rata-rata, di banyak tempat mau kerjanya administrasi, keuangan, lapangan, semua dikasih psikotes yang sama tanpa terkecuali. Mungkin kalau hanya sekitar 60-70 % sama, hal ini bisa kita terima (misalkan aspek kepribadian), tetapi kalau 100% sama? Karena itulah, memahami situasi ini, banyak perusahan mulai mengembangkan alatnya sendiri dengan tim rekrutmennya.
Namun, proses ini tidaklah mudah dan memakan waktu panjang. Jadi, sekarang mengertilah kita, mengapa alat-alat psikotes mulai makin berkurang dipakai di perusahaan-perusahaan. Di akhir tulisan ini saya hanya memberikan dua komentar. Pertama, kepada para pemimpin yang merekrut.
Jangan antipati ataupun menyerahkan sepenuh pada psikotes. Ingatlah, psikotes hanya memberikan sepertiga infomasi bagi kita. Kedua, saran ini lebih ditujukan kepada para perekrut (rekan-rekan psikologi & HRD), bersikaplah bijak dengan psikotes.
Hargailah tool psikotest sama seperti seorang teknisi menjaga alat kerjanya. Tidak semua tools bisa dipakai untuk sama rata. Sama seperti seorang tukang yang butuh berbagai peralatan kerjanya.
Bedakan fungsinya. Jangan hanya karena tahunya palu, di mana-mana hanya palulah yang dipakai. Lantas, mari selalu update dan jangan malas untuk mengembangkan pengetahuan kita soal psikotes.
Coba search di Internet, lihatlah ada begitu banyak alat tes psikologi yang berkembang. Lalu bandingkan dengan kenyataannya di negara kita? Sejak belasan tahun berlalu, alat psikotes kita cuma itu-itu saja (Kraeplin, Pauli, Wartegg, IST, EPPS).
Persoalannya, tes-tes ini bahkan sudah diajarkan jawabnnya di kursus-kursus latihan kerja. Inilah tantangan buat kita! Pepatah mengatakan, ”Sebagai polisi, kita harus lebih pintar dari pencuri”. Kitapun harus lebih pintar, atau kalau ragu-ragu, mungkin kita lebih baik tidak menggunakannya sama sekali.