Yang fana adalah waktu, kita abadi
(Sapardi Djoko Damono).
Bisnis.com, JAKARTA - Rasanya baru kemarin kita menyambut tahun baru 2013, membuat rencana-rencana baru, menetapkan target-target baru berikut strategi baru di kalender yang baru, kini kita hampir mengakhiri tahun baru ini.
Tahun ini menjadi lama, karena itu akan segera berakhir, lalu kalender berganti menjadi 2014. Yang fana adalah waktu, pembuat almanak yang abadi, dan kita tiba-tiba sudah tua. Barangkali karena kita keasyikan bekerja, mengisi waktu, menempuh hidup yang rutin dan rudin. Kita asyik lalu kita lupa betapa waktu terus merangsek membawa kita kearah tujuan akhir.
Pertanyaannya lalu kita isi apa hari kemarin itu? Sudahkah target dan rencana-rencana baru di awal tahun itu kita patuhi? Apa hasilnya? Apakah kita lebih baik dari tahun lalu? Atau malah mandeg bahkan mundur? Kata orang sebaik-baiknya manusia, yaitu orang yang beruntung, jika hari ini lebih baik dari hari kemarin. Sudahkah?
Sederet pertanyaan itu biasanya menghampiri kita tiap akhir tahun, penanda waktu pada kalender itu. Apa yang baik dan apa yang buruk sehingga kita bisa memilah untuk meninggalkan yang merugikan, mempertahankan yang menguntungkan, dan membuat target serta strategi baru agar tahun depan kian beruntung.
Barangkali mudah saja secara teori memilah dan menentukan yang baik dan buruk itu. Ciri kedewasaan adalah mampu membedakan keduanya. Namun, tak jarang kita kesulitan memecahnya. Apalagi banyak hal di sekeliling kita yang abuabu, terbentuk antara yang belum-sudah, tak jelas warna dan sifatnya. Itu karena kita sendiri yang menciptakan ukuranukurannya juga tak jelas.
Misalnya, apakah strategi A cocok dengan rencana B sehingga hasil akhirnya C. Karena tak jelas ukurannya, A menjadi A1, B menjadi B-1, dan C pun tak tepat benar pada output yang kita inginkan di awal. Alih-alih bisa membedakan kita malah terjebak pada siklus kekacauan rencana dan strategi kita sendiri.
Begitu juga dengan organisasi. Kita yang menggerakannya seringkali bingung ketika mempraktekkan teori yang diterjemahkan ke dalam praktek sehari-hari, apalagi mendelegasikannya ke anggota tim yang punya pemikiran dan daya tangkap berbeda-beda.
Daya tafsir tak sama akan menghasilkan output yang beda pula. Sebagai dirigen, para manajer akan kesulitan menggerakkan organisasi agar seirama dan ritmis mencapai visi dan misi. Karena itu sehebat apapun organisasi, ia perlu konsultan yang berfungsi seperti pelatih dalam sepak bola. Era pelatih-bermain pada 1990-an sudah berakhir. Di Eropa pada masa itu kita mengenal para pelatih yang merangkap pemain ada pula pelatih-tak bermain.
Ada yang berhasil tapi lebih banyak yang gagal. Sebab manusia kian berkembang, gizi kian baik, karena itu teknik bermain bola juga kian canggih.
KEUNGGULAN TIM
Pelatih yang ikut bermain di lapangan tak akan melihat kelemahan dan keunggulan tim sendiri maupun lawan. Berbeda dengan dengan pelatih yang membaca permainan dari pinggir lapangan.
Dia akan lebih konsentrasi memikirkan strategi karena tak sambil ngos-ngosan mengejar bola.
Itulah kenapa sebagai penonton kita bisa lebih jago berkomentar saat menonton pertandingan sepak bola. Itulah kenapa kita melihat segala kelemahan pemain PSSI tiap kali bertanding melawan kesebelasan negara lain. Mata kita lebih awas melihat kelemahan karena hanya itu indra yang kita pakai—sambil duduk makan kacang dan menghirup kopi panas yang maknyus.
Pelatih yang tak terlibat permainan akan melihat tim secara utuh. Begitu pula seorang konsultan bagi perusahaan. Dia akan melihat secara lebih objektif area yang tak dilihat para pemain dalam organisasi yang sudah habis energinya untuk mempraktekkan konsep dan strategi untuk menggapai visi dan misi organisasinya.
Dan seorang pelatih biasanya dilengkapi dengan ilmu membaca peluang: psikologi, manajemen, konfl ik, strategi, lengkap dengan ukuranukurannya. Dalam hal organisasi, tools seorang konsultan salah satunya adalah Organization Effectiveness Cycle atau siklus efektivitas organisasi.
Apalah arti organisasi modern yang diisi orang-orang hebat dan kantor hebat jika tak efektif. “Alat” ini ditemukan oleh Stephen R. Covey, penulis buku laris The 7 Habits, yang dirancang untuk mengdiagnosis perusahaan: menemukan penyakit dan memberi resep penyembuhannya.
Dalam arti luas, siklus efektivitas juga untuk menemukan apa yang sudah dan belum dicapai organisasi disesuaikan dengan visi dan misinya. Untuk mencapainya para konsultan bersama-sama dengan para pemangku kepentingan membahasnya dalam lokakarya dua hari. Hari pertama adalah diagnosis: mencari penyebab kegagalan dan keberhasilan.
Target dan hasil tahun 2013 akan dibedah berikut faktor-faktor yang menyebabkannya. Misalnya, perilaku apa yang mendorong target-target bisa dipenuhi. Sebaliknya kondisi apa yang menyebabkan pencapaian target laba malah melempem?
Ada enam aspek yang akan diteliti, yaitu 1) sistem, 2) struktur, 3) sumber daya manusia, 4) sistem informasi, 5) sistem pengembangan, dan 6) pengambilan keputusan. Apakah keenamnya saling terakit dan saling dukung sehingga sesuai dengan target serta visi dan misi perusahaan.
Sebab keenamnya saling mengkait. Jika ada satu saja yang mur dan bautnya tak pas, strategi dipastikan akan berantakan mencapai hasil yang diinginkan. Misalnya, pengambilan keputusan berlangsung demokratis, tapi informasi target yang tak merata membuat hasil akhir hanya bisa dicapai separuhnya.
Separuhnya lagi gagal karena informasi yang tersalurkan tak merata. Setiap orang mendapat informasi yang tak utuh sehingga 50% tenaganya terpakai bukan untuk mencapai tujuan bersama.
Nah, pada hari kedua, akan dibahas bagaimana strategi ke depan agar hal itu tak terjadi lagi. Penulis Amerika Serikat Mark Twain pernah berkata bahwa “tahun depan kita akan menyesali apa yang tidak kita lakukan, bukan apa yang sudah kita lakukan.”
Maka sebelum menyesal baiknya dievaluasi lagi tujuan dan strategi juga proses dalam organisasi kita.