Bisnis.com, JAKARTA - Peluang besar dengan sasaran pasar sangat luas dari bisnis pembuatan perlengkapan tidur bayi membuat Meutia Savitri berani menyasar pelanggan dari negeri jiran.
Perempuan yang memiliki merek Peellowhand tersebut mulai merambah pasar luar negeri sejak 2 tahun terakhir. Pesanan pertamanya datang dari orang Indonesia yang tinggal di Malaysia. Tak lama kemudian, pesanan pun mulai berdatangan secara langsung karena referensi produk dari akun instagramnya @pellowhand.
Saat itu, dia mengirimkan produknya ke luar negeri melalui jasa ekspedisi. Ternyata ongkos kirimnya terlampau tinggi, karena volume dan berat baby bedding set yang cukup besar. Kemudian dia mencari jalan keluar untuk menyiasati tingginya jasa pengiriman.
“Ongkos kirimnya bisa sama dengan harga produknya, saya pikir ini tidak bisa jalan dan berkembang kalau terkendala biaya kirim,” paparnya.
Akhirnya dia mendapatkan ide untuk mengirim produk ke luar negeri hanya kulit atau sarungnya saja, alias tanpa menggunakan isian bantal, guling dan alas tidur, sehingga produk bisa dikemas lebih kecil dengan berat yang lebih ringan.
“Saya sarankan pembeli untuk membeli kulitnya saja, nanti saya beri arahan untuk mengisi dan menjahit dengan sederhana. Ongkos kirimnya bisa berkurang separuh,” katanya.
Dengan ide tersebut, akhirnya pelanggan di Negeri Jiran bisa mendapatkan produk dengan harga dan ongkos kirim yang relatif terjangkau, sehingga membuat mereka tidak kapok untuk memesan produk dari Peellowhand.
Adapun, produk Peellowhand tersebut dihargai beragam, tergantung dari kelengkapan yang dipesan pembeli. Untuk pemesanan selimut atau bantal guling saja dibanderol pada kisaran Rp175.000-Rp375.000, sedangkan perlengkapan tidur komplet dengan bumper dihargai sekitar Rp450.000-Rp500.000.
“Untuk yang memesan kulitnya saja, saya potong harganya sekitar Rp20.000-Rp30.000,” katanya.
Proses pemesanan produk dari luar negeri tidak jauh beda dengan pemesanan dari Tanah Air. Sebelum produksi dimulai, diperlukan proses dan waktu yang cukup panjang untuk diskusi terkait desain yang diinginkan pelanggan, mulai dari pemilihan jenis kain, motif dan model.
“Diskusi dilakukan melalui aplikasi pesan singkat, karena ini merupakan produk custom, kita harus benar-benar sabar untuk memenuhi keinginan pemesan,” katanya.
Sebelum mulai diproduksi, pemesan harus membayar seluruh tagihan di muka dengan harga yang telah dikonversi ke kurs di negara masing-masing. Setelah, produk selesai dibuat, maka pemesan tinggal membayar ongkos kirim sesuai dengan jasa ekspedisi yang diinginkan.
“Ada yang ingin cepat sampai, biasanya ongkos kirim bisa sampai Rp600.000, tapi ada juga yang minta harga paling murah meskipun satu bulan baru sampai,” katanya.
Saat ini, mayoritas pesanan dari luar negeri datang dari Malaysia, disusul oleh Brunei Darussalam, kemudian Singapura. Sedangkan untuk pasar dalam negeri sekitar 50% dari total pesanan datang dari Jakarta dan sekitarnya.
“Saya pikir prospek pemasaran ke luar negei masih sangat besar, karena saya lihat harga produk serupa di negara asalnya bisa tiga kali lebih mahal dari harga yang saya tawarkan,” paparnya.
Untuk itu, dia juga harus pintar-pintar mengelola harga agar berdaya saing dibandingkan dengan produk di negara pemesan, termasuk dengan perhitungan ongkos kirim. []