Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KIAT BISNIS TONY FERNANDES: Kuncinya Adalah Transparansi

Meski baru saja lepas dari masa-masa sulit, harus segera membenahi usaha, dan mempersiapkan dua unit bisnisnya yang akan go public, Tony Fernandes, Chief Executive Officer AirAsia Group, tidak kehilangan semangat. Tony masuk dalam 100 orang paling berpengaruh versi Time.
CEO AirAsia Tony Fernandes, di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta./JIBI-Akhirul Anwar
CEO AirAsia Tony Fernandes, di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta./JIBI-Akhirul Anwar

Bisnis.com, JAKARTA -- Meski baru saja lepas dari masa-masa sulit, harus segera membenahi usaha, dan mempersiapkan dua unit bisnisnya yang akan go public, Tony Fernandes, Chief Executive Officer AirAsia Group tidak kehilangan semangat. Bahkan sosok yang baru saja terpilih dan masuk dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah Time ini mengaku excited menghadapi tantangan ke depan.

Inilah gambaran yang tampak darinya kala dijumpai di sela-sela World Economic Forum, awal pekan ini. “Surprised juga ya, karena berada dalam list [Time 100] yang sama, bersama tokoh seperti Pak Modi [PM India Narendra Modi], Pak Joko Widodo [Presiden RI]. Tentu saya juga bangga dengan airline dan staf saya, karena akhirnya mendapat penghargaan ini,” ujarnya saat disapa Bisnis.

Etos dan semangat yang coba ditunjukkannya sebagai pucuk pimpinan di perusahaan low cost carrier  (LCC) itu boleh jadi sama menggeloranya saat  dia bersama rekannya Kamarudin Bin Meranun membangun AirAsia pada 2001. Dengan idealisme mendemokratisasi perjalanan udara, setelah membeli perusahaan rugi tersebut dari pemerintah Malaysia seharga RM1 atau sekitar US$0,30 dan beban utang sebesar US$11 juta, Tony fokus menyediakan jasa dengan harga terjangkau untuk semua kalangan.

Saat ini, AirAsia menjadi salah satu maskapai penerbangan berbiaya hemat terbesar di Asia dengan jaringan lebih dari 190 kota tujuan. Dalam waktu 13 tahun beroperasi, AirAsia telah menerbangi lebih dari 280 juta pelanggan di Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, India, termasuk penerbangan hemat jarak jauh di Malaysia, Indonesia, dan Thailand.

Lantas apa resepnya untuk membenahi bisnis? Dia mengatakan selain tetap transparan, dan terbuka, dia meyakini orang akan semakin mengenal siapa dan bagaimana AirAsia mengelola bisnis termasuk dalam melatih sumber daya manusia dan menyediakan armada pesawat. “Feeling saya, orang percaya pada kami dan tidak ada masalah,” tegasnya.

Meski diakuinya, kinerja bisnis penerbangan domestik sedikit turun, itu bukan karena faktor kepercayaan tetapi lebih karena ada kebijakan yang kurang kondusif bagi LCC a.l kebijakan tarif batas bawah. Menurutnya, selain regulasi, tantangan terbesar ke depan yang dihadapi adalah banyaknya keputusan yang harus dibuat cepat. Apalagi dalam empat bulan terakhir, misalnya, maskapai itu tidak bisa lagi menjual tiket di bandara-bandara. “Di dunia, ini mungkin hanya terjadi di Indonesia sepanjang yang saya tahu. Padahal, kami terapkan floor price, yang mana memungkinkan orang terbang, ini keunggulan LCC. Seperti halnya Lion, Citilink, AirAsia, maka siapapun kini bisa terbang.”

Namun, dia menyatakan penerbangan hemat alias low fares bukan berarti low safety.  Intinya menurut Tony, model bisnis dengan keselamatan adalah dua isu yang berbeda. Namun dia sangat setuju bahwa keselamatan harus diatur ketat oleh regulasi.

Lalu apa yang membuatnya excited? Dia optimistis dengan sektor pariwisata dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apalagi pemerintah telah menerapkan kebijakan bebas visa. “Kami tertarik dengan pariwisata, termasuk bagaimana menggarap kota-kota sekunder di Indonesia.”

Dia menambahkan, dirinya berharap pemerintah akan berusaha untuk mempermudah bisnis, menyederhanakan regulasi dan meringankan pajak sehingga mampu mendatangkan makin banyak turis. Bahkan dia meyakini, Indonesia dengan potensi keindahan kota dan pulau-pulau destinasi wisatanya seperti Ambon, Raja Ampat, Pulau Komodo, Lombok, dan destinasi lainnya dapat menarik minat kunjungan 40 juta wisatawan, atau di atas target pemerintah sebanyak 20 juta wisatawan. Dia berkeyakinan, meningkatnya kunjungan turis akan mencetak banyak lapangan kerja.

KEBIJAKAN FANTASTIS

Lebih jauh, kebijakan bebas visa yang disebutnya fantastis juga menghadapi tantangan di sektor penerbangan. “Kita butuh hal lain, kalau kita bebaskan visa tapi tak ada airline maka akan menjadi masalah pula. Maka itu kami luang waktu untuk membahas problem di industri aviasi ini.”

Poin inilah yang menjadi pembahasannya dengan Presiden Joko Widodo ketika Tony diundang ke istana negara. “Kami membahas bagaimana agar Indonesia keluar dari kategori II, [peringkat keselamatan penerbangan Federal Aviation Administration (FAA)] yang ‘menghalangi’ airline Indonesia untuk bisa terbang ke sejumlah negara. Lalu, kami membahas bandara karena penting untuk membuat pembedaan skema tarif, misalnya, bandara kecil mengenakan tarif lebih murah agar ini maju. Kami juga membahas kemungkinan bandara [Cengkareng] bisa mempunyai tiga runway lalu bagaimana agar terjadi peningkatan efisiensi dalam lalu lintas udara.”

Tony terkesan dengan perhatian Presiden Jokowi yang ingin mendengar langsung dari industri dan dinilainya, termasuk sedikit dari kebanyakan pemimpin, yang proaktif serta bergerak cepat.

Pertemuannya dengan presiden juga dimanfaatkannya untuk memberikan masukan karena Indonesia dinilainya termasuk negara yang masih menerapkan pajak tinggi dalam hal suku cadang, sementara maskapai di Indonesia juga harus menanggung biaya bahan bakar yang juga tergolong tinggi dibandingkan dengan di negara lain.  

Meskipun nantinya ada unit bisnis yang go public dan berkembang, Tony memastikan tetap akan menerapkan satu model bisnis dan budaya yaitu sebagai LCC. Dia pun membuka kesempatan seluas-luasnya bagi karyawannya untuk maju. Jangan heran jika ada pilot andal meski sebelumnya bertanggung jawab di unit pengadaan, atau ada kru kabin yang kompeten menjabat sebagai CEO. Bahkan, pramugari berpeluang menjadi engineer atau pramugara yang juga memiliki kesempatan untuk masuk divisi marketing.

Meski mengakui tidak menerapkan sistem khusus, kecuali ingin menjadikannya sebagai yang terbaik, perusahaan menyediakan banyak kesempatan baik melalui jalur formal ataupun melalui bea siswa. “Bagi AirAsia, aset terbesarnya ada di orang. Tugas saya adalah mencetak berlian mentah [raw diamond] menjadi berlian sejati [diamond].”

Lalu setelah menjual tim formula satu [F-1], apa rencananya di bisnis olah raga? Tony berseloroh, dirinya hanya ingin kembali pada apa yang dimulainya, diantaranya fokus pada bisnis inti AirAsia.  “Saya suka sepakbola, painfull sebenarnya, karena masih ada lima pertandingan lagi ke depan yang krusial. Tapi penting bagi saya untuk fokus pada AirAsia dan Tune. Basket sudah saya serahkan pada Erick [Erick Thohir, President of Asean Basketball League]. Saya cinta Queens Park Ranger [tim sepakbola], saya juga tetap suka F-1. Namun, saya kira untuk saat ini, cukup ini dulu di sport, ha-ha-ha.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Roni Yunianto
Editor : Setyardi Widodo
Sumber : Bisnis Indonesia Week End edisi 26/4/2015
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper