Bisnis.com, JAKARTA - Nugroho Suryo, Dosen Prasetiya Mulya Business School mengatakan masih banyak usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang belum mengetahui pentingnya pengelolaan risiko, sehingga usaha yang baru dirintis banyak yang mengalami kegagalan karena tidak memperhitungkan risiko-risiko yang mungkin muncul dan penanganannya.
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan UMKM rintisan seringkali gagal karena salah langkah.Pertama, gagal mengidentifikasi kebutuhan konsumen. Sehingga arah dan tujuan sebuah barang atau jasa yang ditawarkan tidak jelas, baik konsep maupun sasaran pasarnya.
Kedua, adalah belum matangnya prototype produk atau jasa, tetapi telah dipasarkan demi menyasar konsumen. Hal seperti ini terlalu berisiko dan bisa menyebabkan usaha gagal lebih dini.
“Memang kalau menunggu hingga produk sempurna dulu baru memulai usaha, kemungkinan tidak akan pernah dimulai. Tapi bukan berarti mengabaikan seluruh risiko yang mungkin muncul,” katanya.
Untuk itu, setiap startup diharapkan bisa melakukan studi atau tes pasar sebelum memasarkan produk dan jasanya secara luas. Setidaknya dibutuhkan respons positif dari responden yang bisa meyakinkan si wirausahawan untuk memulai bisnisnya tersebut.
“Tidak perlu semuanya bernilai positif, setidaknya mayoritas dari indikator kepuasan konsumen bisa didapatkan. Sisanya bisa terus diperbaiki dan ditingkatkan setelah bisnis dirilis secara resmi,” katanya.
Setelah usaha dijalankan, jangan lupakan berbagai macam risiko yang terus mengintai. Risiko-risiko tersebut bisa dikurangi dampaknya, atau bahkan bisa dihindari.
Ada berbagai cara yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko usaha tersebut. Salah satu cara yang banyak dipakai untuk mengurangi risiko adalah asuransi. Saat perusahaan membeli asuransi, risiko usaha dipindahkan ke perusahaan asuransi dengan membayar premi.
Namun, asuransi juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, tidak semua risiko dapat diasuransikan. Asuransi hanya cocok untuk mengurangi risiko usaha yang tingkat kerugian yang ditimbulkan tinggi dan tingkat kemungkinan terjadinya kecil. Berarti hanya sebagian kecil dari risiko usaha yang dapat diasuransikan.
Kedua, asuransi dapat menimbulkan keadaan ketika karyawan menjadi teledor karena karyawan tahu bahwa jika ada kerugian maka perusahaan asuransi akan menanggung kerugian tersebut. Walaupun kerugiannya diganti, kejadian yang berisiko tersebut dapat mengganggu operasional perusahaan.
Ketiga, jika pelaku usaha membeli asuransi, maka perusahaan perlu membayar premi, sedangkan masih ada banyak cara lain untuk mengurangi risiko usaha dengan biaya lebih murah.
“Untuk startup, mengelola risiko dengan memindahkannya kepada asuransi merupakan cara terakhir yang bisa dipilih, karena modal yang masih sedikit sehingga harus menghindari kegiatan yang perlu mengeluarkan biaya, termasuk membayar premi,” katanya.
Selain asuransi, ada banyak cara lain yang dapat digunakan untuk menangani risiko usaha. Di antaranya pencegahan risiko, pengurangan risiko, pemindahan risiko, pemisahan risiko, manajemen kontingensi, dan penerimaan risiko.
Pencegahan risiko adalah upaya untuk mengurangi tingkat kemungkinan risiko usaha, misalnya penggunaan bahan sulit terbakar demi mengurangi kemungkinan risiko kebakaran.
Sementara itu, pengurangan risiko merupakan upaya mengurangi besar kerugian. Misalnya dengan menyediakan pintu darurat di pusat belanja sehingga pengunjung dapat keluar gedung jika ada kebakaran.
Pemindahan risiko merupakan upaya untuk mengurangi risiko dengan cara memindahkannya ke pihak lain. “Sebagai contoh, kalau kita parkir di mal, biasanya pada karcis parkir tercantum kalimat ‘Semua kehilangan barang merupakan tanggung jawab pemilik kendaraan’, itu berarti risiko dipindahkan kepada pemilik kendaraan,” katanya.
Pemisahan risiko merupakan upaya mengurangi risiko dengan cara menyebar aset perusahaan. Misalnya, bahan yang mudah terbakar disebar ke tangki-tangki yang lebih kecil dan berjauhan agar jika terjadi kebakaran tidak semua bahan yang mudah terbakar tersebut musnah.
Adapun, manajemen kontingensi merupakan upaya sistematis untuk mengurangi risiko jika terjadi suatu kerugian yang sangat besar. Misalnya, rencana darurat yang sistematis menghadapi gempa bumi besar di pembangkit tenaga listrik.
Dan terakhir, penerimaan risiko ialah upaya untuk menerima risiko usaha, setelah mempelajari bahwa upaya pengelolaan risiko yang lain tidak ada yang cocok atau mahal.
“Perusahaan perlu mengidentifikasi semua risiko usaha secara lengkap. Risiko usaha yang luput diidentifikasi dapat membuat operasional perusahaan terganggu,” paparnya.
Selain yang disebutkan di atas, masih banyak cara lain yang bisa digunakan untuk mengurangi risiko usaha. Untuk itu, para pelaku usaha didorong untuk kreatif mengombinasikan upaya penanganan risiko usaha agar dapat mencapai sasaran risiko usaha yang telah ditentukan dengan biaya yang serendah mungkin.
Sementara itu, untuk para wirausahawan pemula, Nugroho memiliki tips untuk mengurangi risiko bisnis, yakni dengan memiliki mentor berpengalaman. Mentor berperan untuk mengarahkan bahkan mengingatkan atas risiko apa saja yang mungkin terjadi pada usaha di masa depan.
“Perlu ada kolaborasi antara pengusaha muda dan yang sudah senior. Karena para pengusaha muda biasanya memiliki semangat dan energi tinggi, tetapi minim modal dan pengalaman, sedangkan pengusaha senior sebaliknya,” katanya.
Dengan adanya mentor, pengusaha muda bisa dengan mudah mengatur dan merencanakan rencana apa saja yang bisa dilakukan untuk menghindari dan mengurangi dampak risiko yang akan muncul, selain itu mentor juga bisa membantu dalam banyak hal mulai dari pendampingan hingga pendanaan.