Bisnis.com, JAKARTA – Kualitas dan standarisasi rasa menjadi kunci penting yang harus dijaga oleh para pelaku usaha kuliner jika ingin bisnis yang dijalankan dapat tetap bertahan dan terus berkembang.
Kualitas dan konsistensi rasa ini pula yang membuat Bakmi Naga tetap eksis meski telah berdiri puluhan tahun lamanya sejak 1979.
Mulanya, Bakmi Naga berawal dari usaha gerobakan yang dikembangkan oleh Nyonya Liong di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Barat. Naga sendiri diambil dari nama Liong yang memiliki arti naga dalam Bahasa Indonesia.
Susanty Widjaya, CEO Bakmi Naga Resto mengatakan bahwa sejak tahun 1979 hingga saat ini, kualitas rasa dari Bakmi Naga tidak pernah berubah. Mereka sangat mempertahankan cita rasa yang telah turun temurun diwariskan.Selain itu, Bakmi Naga juga mengusung konsep bakmi sehat yang diproduksi sendiri tanpa pengawet dan bahan-bahan kimia yang dapat merugikan kesehatan konsumen.
“Kami sangat menjaga kualitas, dan Bakmi Naga sendiri juga memiliki cita rasa yang gurih dengan mie yang kenyal. Memang ada pengembangan yang kami lakukan tetapi tetap tidak mengubah kualitas dan otentisitas rasa sejak tahun 1979,” ujarnya, dalam Asensi Talk, Sukses Berbisnis Kuliner bersama Sang Maestro dan Pakar Kuliner Indonesia, Sabtu (27/3/2021).
Dalam pertumbuhan bisnisnya, Bakmi Naga yang semula berawal dari gerobakan kemudian bertransformasi menjadi jaringan restoran waralaba yang gerainya tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dengan mengusung nama Bakmi Naga Resto.
Dengan banyaknya cabang usaha, tentu saja Bakmi Naga harus menjaga cita rasa agar tidak berubah dan berbeda. Untuk itulah, ada standar operasional yang harus diikuti oleh setiap franchisee atau terwaralaba.
Bakmi Naga Resto pun mengubah konsep dari resto lama yang klasik menjadi resto modern dan minimalis. Menyajikan berbagai menu utama bakmi dan menu masakan oriental lainnya yang memiliki cita rasa khas Indonesia.
Sementara itu, di masa pandemi ini, Bakmi Naga Resto juga harus terus beradaptasi dan berinovasi. Apalagi dengan adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang membuat masyarakat tidak bisa makan di tempat.
“Saat itu kami sempat vakum hampir 8 bulan di masa pandemi tetapi kami yakin selama kualitas baik dan terjaga pasti akan tetap menjadi peluang usaha yang bagus,” ujarnya.
Namun sebagai pengusaha, Susanty harus terus memutar otak agar tetap survive. Salah satunya dengan membuka outlet dengan konsep yang lebih minimalis. Lokasinya pun tidak harus di pusat perbelanjaan tetapi di lokasi strategis seperti pujasera, rest area, maupun outdoor.
“Dulu untuk buka Bakmi Naga Resto, sebuah restoran harus memiliki luasan 80 hingga 100 meter per segi tetapi sekarang ukuran minimalis pun bisa yang penting lokasinya strategis. Dengan konsep itu, nilai investasinya pun menjadi lebih terjangkau,” terangnya.
Di samping itu, Bakmi Naga juga menawarkan makanan beku atau froze food yang siap masak dengan berfokus pada penjualan secara online atau delivery order, mengingat perilaku masyarakat yang kini mulai beralih ke dunia online atau digital.