Bisnis.com, JAKARTA - Transformasi digital atau digital transformation merupakan konsep penting yang dianggap dapat menjadi jalan keluar bagi tantangan dan ketidakpastian global yang bergerak dengan percepatan yang makin besar, khususnya di masa Covid-19.
Digital memang seperti pisau tajam bermata dua. Di satu sisi dapat membunuh, tetapi di sisi lain jadi alat yang sangat bermanfaat. Sebagai pisau pembunuh, digital dapat sangat kejam. Pierre Nanterme, CEO Accenture, ketika berbicara di World Economic Forum 2016 mengatakan, "Digital adalah alasan utama lebih dari separuh perusahaan di Fortune 500 menghilang sejak 2000.”
Perusahaan-perusahaan Fortune 500 itu pasti bukan tidak ada uang untuk melakukan transformasi digital namun tampaknya mereka terlambat atau salah strategi. Di sisi lain, transformasi digital apabila dilakukan dengan tepat dan disertai dengan ketekunan untuk mengembangkannya terus menerus maka itu dapat memberikan imbalan lebih dari lumayan.
Transformasi digital Microsoft dalam jangka waktu 5 tahun telah berhasil mendongkrak harga sahamnya hingga 258 persen. Demikian juga deretan perusahaan-perusahaan utama yang lain, seperti Honeywell yang naik 83 persen dalam kurun 3 tahun serta Nike yang melonjak 69 persen dalam waktu 2 tahun, seperti dikutip dari Forbes.
Memahami transformasi digital haruslah dibedakan dengan digitisasi (digitization) dan digitalisasi. Digitisasi terkait dengan konversi dari yang fisik ke digital.
Baca Juga
Jadi bila kita mengganti semua dokumen jadi e-document maka itu baru digitisasi, dan belum bisa disebut transformasi digital. Sedangkan digitalisasi adalah ketika kita mengoptimalkan dan meningkatkan proses melalui teknologi digital, misalnya adalah proses keluhan pelanggan yang dikelola lewat perangkat lunak Salesforce.
Ini sebuah bagian dari transformasi digital, akan tetapi belum menggambarkan keseluruhan. Transformasi digital adalah 'payung besar' yang mengkombinasikan ragam digitalisasi yang saling terkait dan terpadu hingga terjadi potensi lahirnya sebuah model bisnis yang baru.
Apa panduan untuk membangun payung besar transformasi digital itu? Sebuah model transformasi dari Prof Sunil Gupta, dari Harvard Business School dapat membantu kita. Ia menggambarkan bahwa kepemimpinan digital akan berdampak dua hal penting yang merupakan hasil dari transformasi, yaitu penguatan yang utama (strengthen the core) dan membangun masa depan (build for the future).
Ini dekat dengan konsep Prof Rhenald Khasali yang mengatakan ada dua fokus strategi yang penting yaitu yang finite atau yang sekarang, dan yang infinite atau yang ke masa depan. Menurut Gupta, dua hal penting itu digerakkan oleh empat aktivitas terus menerus, yaitu re-imagine business, re-evaluate value chain, reconnect with customers, dan rebuild organization.
Di tempat yang berbeda Microsoft menerjemahkan transformasi digital mereka dengan empat fokus tindakan operasional. Pada 2018, Satya Nadela, CEO Microsoft, menyampaikan empat fokus atau pilar dari transformasi digital di Microsoft, yaitu transform product (transformasi produk), optimize operation (optimisasi operasi), engage customers (keterlibatan pelanggan), dan empower employee (pemberdayaan karyawan).
Gupta tidak membahas 4 pilar transformasi digital dari Microsoft ini namun bila kita amati maka dapat kita temukan bahwa Microsoft seakan menterjemahkan konsep Digital Strategy dari Gupta menjadi tindakan-tindakan yang lebih operasional.
Tabel di bawah ini akan menjelaskan.
Jalan ini memperlihatkan kepada kita. Pertama, transformasi digital yang komprehensif dan tidak sepotong-sepotong, ini menuntut korporasi untuk melakukan empat proses kunci secara berkelanjutan, yaitu re-imagine business”, re-evaluate value chain, reconnect with customers, dan rebuild organization.
Kedua, melalui apa yang sudah terjadi di Microsoft, korporasi dapat menterjemahkan re-imagine business dengan melakukan transformasi produk khususnya di dalam konteks saat ini dapat bertanya produk seperti apa yang diinginkan pelanggan di masa new normal?
Bagaimana kita dapat memahami perilaku pelanggan yang baru dan menawarkan penyesuaian produk atau produk baru yang mereka tak bisa tolak?
Adalah sangat penting untuk menggaris bawahi bahwa perusahaan jangan terjebak dengan sekadar melakukan digitalisasi apabila itu tidak terkait dengan kepentingan pelanggan.
Ketiga, kita bersama belajar tentang sebuah tindakan praktis untuk re-evaluate value chain, yaitu dengan cara melakukan optimisasi operasi melalui pemanfaatan teknologi. Perusahaan dapat melakukan eksplorasi internal untuk menemukan apa yang dapat dilakukan melalui teknologi yang dapat mempersingkat waktu, menghemat biaya, mengurangi risiko dan juga untuk menjadi lebih ramah lingkungan.
Keempat, salah satu cara penting melakukan re-connect with customers adalah dengan cara meningkatkan keterlibatan pelanggan. Ada berbagai sisi untuk melibatkan pelanggan apakah dimulai dari saat masih jadi prospek dengan diajak melakukan cocreation, ketika berproses jadi pelanggan dengan cara memberikan panduan dalam menggunakan produk secara kreatif dan juga seusai pelanggan menkonsumsi produk dengan diajak terlibat memberikan penilaian atau saran yang dilombakan.
Semuanya jadi mungkin dan mudah melalui fasilitasi teknologi bukan?
Kelima, kita bisa melakukan aktivitas rebuild organization adalah dengan cara melakukan pemberdayaan karyawan yang tentunya dengan cara digital. Yang terakhir ini bukanlah yang paling tidak penting karena mana mungkin terjadi transformasi apabila tidak dimulai dengan transformasi sumber daya manusia terlebih dahulu.
Solusi digital sudah terbukti jadi solusi pelatihan karyawan yang lebih murah, lebih cepat sekaligus masif, sebagai contohnya adalah pemanfaatan microlearning untuk pelatihan.
Ketika microleraning diaplikasikan maka tidak ada lagi biaya transportasi, akomodasi dan juga sewa tempat, termasuk tidak perlu lagi menyediakan secara khusus hari untuk pelatihan. Microlearning memungkinkan karyawan berlatih di antara waktu kerja secara sedikit demi sedikit.
Tidak heran apabila penelitian dari Ray Jimenez, PhD memperlihatkan bahwa cara belajar microlearning dapat mengurangi biaya hingga 50 persen dan meningkatkan kecepatan pelaksanaan pengembangan SDM hingga 300 persen.
Sebuah laporan lain dari The Washington Post tertanggal 15 Mei 2000 atau hampir 20 tahun menunjukkan bahwa IBM menghemat hampir US$200 juta setelah beralih ke e-learning. Artinya, teknologi belajar cara daring memang sudah lama memiliki rekam jejak menurunkan biaya.
Jadi, tunggu apalagi?