Menjelang berakhirnya tahun fiskal 2014, tentunya Anda sibuk menghitung tingkat pencapaian target-target Anda. Berapa yang tercapai dan berapa yang meleset.
Demikian pula dengan kabinet yang baru demisioner atau dewan perwakilan rakyat yang baru berganti anggota, tentunya semua menghitung pencapaian mereka selama diberi mandat dan tanggung jawab (responsibility). Pertanyaannya apakah kita siap mempertanggung jawabkan (accountable) pencapaian kita?
Ada dua ranah yang biasanya kita jalani yakni rumah dan kantor. Wilayah domestik dan publik. Banyak interaksi yang terjadi. Hal itu juga berarti, ada banyak kemungkinan konflik.
Ada banyak tanggung jawab yang tidak dilaksanakan, tetapi dibiarkan begitu saja. Lazimnya, kita cenderung menghindari konflik. Kita cenderung untuk ingkar, diam, dan duduk manis di zona nyaman kita.
Seberapa sering Anda melihat teman kantor yang melanggar prosedur dan Anda diam saja? Atau, banyak tenggat waktu (deadlines) terlampaui karena ketidakdisiplinan dalam pengerjaan? Di keseharian pekerjaan, perkara-perkara sering terbengkalai karena dianggap sesuatu yang lumrah. Mengganggu tapi sering terjadi.
Banyak yang diam dalam kebisingan dalam menghadapi konflik. Diam karena tidak mau bertindak. Bising karena menggerutu di belakang. Di sinilah mulai terjadi potensi terjadinya konflik.
Anda tentu mengenal sosok-sosok di dekat Anda yang bisa begitu mudah menegur mereka. Tidak semua orang bisa seperti itu! Itu seruan yang biasanya terjadi. “Itu sudah bawaan dia, dari sononya,” timpal yang lain. Ya, beberapa orang memang bisa berkata dengan lugas ketika ada hal-hal yang tidak selaras terjadi. Namun, itu juga bukan harga mati.
Akan tetapi berani bicara lantang saja tidaklah cukup. Sikap lugas itu baru sebuah modal. Berapa kali Anda menyaksikan atau bahkan mengalami sendiri, menegur dan petaka pun terjadi. Perbincangan menjadi krusial.
Sesungguhnya, kita perlu mempelajari keterampilan untuk menuntut pertanggung jawaban atau akuntabilitas, dari mereka yang telah membuat komitmen dan melanggarnya.
Survei yang dilakukan oleh VitalSmarts--mitra kerja Dunamis di Amerika Serikat--menunjukkan 50% responden enggan menegur karena takut berakibat negatif. Sebanyak 16% tidak tahu bagaimana cara untuk membicarakannya, sedangkan 10% merasa kesulitan menemukan waktu yang tepat.
Riset ini juga menemukan fakta, 93% responden mengakui bahwa masalah tertunda karena menghindari permasalahan krusial berakibat negatif terhadap pekerjaan sehari-hari.
Akuntabilitas
Masalah keterbukaan ternyata bersifat universal. Bahkan di kalangan masyarakat yang dikenal ceplas-ceplos pun, sulit ketika harus bicara dengan permasalahan yang berisiko tinggi. Mereka paham. Mereka harus bicara ketika ada hal-hal yang mengganggu, tetapi tidak tahu caranya.
Tantangan inilah yang mendorong para penulis buku Crucial Accountability untuk mengurai terlebih dahulu apa yang menghambat seseorang untuk menuntut tanggung jawab dari orang lain. Kita harus menemukan inti masalah.
Di buku dan pelatihan Crucial Accountability, diajarkan bahwa satu-satunya cara untuk memotivasi seseorang yang enggan untuk berubah adalah dengan membantunya menemukan alasannya sendiri. Buat sesuatu yang tidak tampak menjadi tampak.
Kadang-kadang kita terjebak kepada pemikiran sesaat yang bisa mengacaukan untuk waktu yang lama. Kita merasa benar dan ingin terlihat baik. Kita ingin menyelamatkan muka. Kita ingin lari dari konflik.
Di pihak lain, mungkin juga kita tidak menganggap itu sebagai perkara serius. Bisa saja ia menganggap itu sebagai bagian dari budaya yang sudah mendarah daging. Jadwal telat? Prosedur dilanggar? Itu biasa!
Nah, inilah bagian yang krusial. Tugas Anda menjadi lebih menantang karena seakan-akan Anda dibenturkan dengan perkara budaya. Dan memang benar, beberapa perkara akuntabilitas memang sesekali perlu berbenturan dengan hal-hal yang sering dianggap umum. Mereka paham itu salah tapi lazim dilakukan.
Di sinilah logika diolah diharapkan untuk menjadi komandan. Emosi disisihkan. Persoalan akuntabilitas adalah menyangkut kita sebagai bagian dari organisasi.
Apabila hal ini dilanggar, konsekuensinya bisa melebar ke berbagai arah. Mendobrak prosedur kerja bisa membuat teman satu tim menjadi kelimpungan karena harus menutupi kesalahan yang terjadi.
Divisi lain repot karena harus menanggung konsekuensi. Imbasnya saling berkait. Organisasi itu hidup seperti organisme, saling berhubungan dan bisa saling memengaruhi satu sama lain.
Anda bisa memanfaatkan fakta-fakta yang ada sebagai pijakan dalam menyelesaikan masalah. Hindari kesimpulan yang tergesa-gesa dan cenderung menghakimi.
Mungkin posisi Anda lebih tinggi dari dia, tetapi itu tidak membuat dirinya menjadi sukarelawan untuk mengalah dengan apa yang Anda sodorkan.
Sebaiknya, ambil satu masalah yang benar-benar Anda anggap penting dan perlu. Kita tahu, kadang permasalahan itu datang dalam satu paket besar. Ibaratnya, permasalahannya itu datang dalam rombongan berjamaah yang tidak bisa diganggu gugat kecuali dibubarkan saja.
Anda perlu mengambil satu. Dan seperti kita tahu, satu masalah itu tentu akan merembet ke permasalahan lain. Cobalah untuk fokus dan menetapkan prioritas masalah mana yang harus Anda selesaikan. Satu yang paling bermakna dan memiliki dampak signifikan.
Menjadi lemah lembut dan bersahabat adalah salah satu sisi yang menarik. Namun, menjadi tegas adalah kebutuhan. Tentukan penyelesaikan dan tetapkan tolok ukur yang terukur. Sebaiknya hindari menggunakan pernyataan yang mengambang.
Bersikaplah tegas dan lugas dalam hal ini. Buat komitmen bersama. Komitmen artinya disepakati bersama, bukan salah satu pihak saja. Tanggung jawab itu ada di kedua belah pihak.
Menuntut tanggung jawab dengan cara yang elegan, hormat, tapi tegas dapat dipelajari. Crucial accountability adalah nama keterampilannya. Organisasi yang sudah mempelajarinya melaporkan bahwa dampaknya terhadap hasil luar biasa.
Penulis:
Robby Susatyo
Partner, Dunamis Organization Services
KIAT MANAJEMEN: Menuntut Tanggung Jawab
Menjelang berakhirnya tahun fiskal 2014, tentunya Anda sibuk menghitung tingkat pencapaian target-target Anda. Berapa yang tercapai dan berapa yang meleset.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Robby Susatyo
Editor : Setyardi Widodo
Sumber : Bisnis Indonesia Week End edisi 16/11/2014
Topik
Konten Premium