Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia menghadapi tantangan sosial dan ekonomi yang makin kompleks. Tingginya angka pengangguran generasi muda, rendahnya partisipasi perempuan dalam ekonomi, serta ketergantungan masyarakat pada bantuan sosial adalah beberapa masalah mendesak yang memerlukan pendekatan inovatif.
Dalam konteks ini, “sociopreneurship” atau kewirausahaan sosial muncul sebagai paradigma baru yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga menciptakan dampak sosial berkelanjutan.
Sociopreneurship memiliki potensi besar untuk menjadi solusi strategis, memperbaiki struktur ekonomi, dan mengatasi persoalan sosial secara holistik.
Berdasarkan perhitungan yang saya lakukan, jika ekosistem ini didorong dan dioptimalisasi oleh pemerintah, pertumbuhan PDB Indonesia dapat meningkat sebesar 0,57%—0,7% setiap tahunnya di mana dapat menjadi salah satu enabler target pertumbuhan ekonomi 8% yang menjadi impian Pemerintah.
Salah satu tantangan utama adalah tingginya angka generasi Z yang tergolong NEET (Not in Employment, Education, and Training). Saat ini, jumlahnya mencapai 9,9 juta jiwa, yang menunjukkan bahwa potensi besar generasi muda belum termanfaatkan secara maksimal. Dengan keterampilan dan pelatihan yang tepat, generasi muda ini dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi.
Sociopreneurship memberikan peluang kepada mereka untuk terlibat dalam bisnis sosial berbasis komunitas, yang tidak hanya menghasilkan keuntungan tetapi juga menciptakan dampak sosial positif.
Baca Juga
Contohnya di Indonesia terdapat startup yang memberdayakan petani lokal melalui teknologi, menciptakan efisiensi dan meningkatkan pendapatan. Jika pendekatan serupa diterapkan untuk memberdayakan generasi muda, mereka dapat menjadi lebih produktif sekaligus mengurangi angka pengangguran.
Selain itu, sociopreneurship juga mampu meningkatkan partisipasi perempuan dalam perekonomian. Berdasarkan data BPS, kontribusi perempuan terhadap PDB Indonesia tidak pernah menembus 40%, angka yang mencerminkan masih adanya hambatan struktural bagi perempuan untuk berpartisipasi secara penuh. Hambatan ini meliputi keterbatasan akses modal, pelatihan, dan jaringan.
Bisnis sosial yang memberdayakan perempuan di daerah terpencil untuk memproduksi kerajinan anyaman, menjadi contoh bagaimana sociopreneurship dapat menciptakan dampak sosial positif sekaligus meningkatkan kemandirian ekonomi perempuan. Dengan dukungan lebih banyak program serupa, perempuan dapat mengambil peran lebih besar dalam perekonomian, memberikan dampak signifikan pada kesejahteraan keluarga dan komunitas mereka.
Namun, salah satu isu yang paling mendesak adalah ketergantungan masyarakat pada bantuan sosial. Berdasarkan data SUSENAS 2024 yang telah diolah, jumlah masyarakat yang bergantung pada bantuan sosial meningkat dua kali lipat sejak 2019, mencapai 7,71%.
Bantuan sosial yang bersifat konsumtif menciptakan ketergantungan, sehingga masyarakat sering kali merasa nyaman dengan status “miskin” karena takut kehilangan akses bantuan jika status ekonomi mereka membaik. Lingkaran setan ini tidak hanya merugikan penerima manfaat, tetapi juga membebani anggaran negara jangka panjang.
TRANSFORMASI BANSOS
Sociopreneurship menawarkan solusi melalui transformasi bantuan sosial (bansos) menjadi program pemberdayaan masyarakat. Model Grameen Bank di Bangladesh menjadi contoh inspiratif bagaimana akses mikrofinansial tanpa jaminan, yang disertai dengan pelatihan usaha, dapat membantu masyarakat keluar dari kemiskinan.
Pendekatan ini memungkinkan masyarakat untuk berwirausaha, menciptakan sumber pendapatan yang berkelanjutan, dan mengurangi ketergantungan pada bantuan.
Di Indonesia, program seperti Ultra Mikro (UMi) dan Mekaar dapat diintegrasikan dengan konsep sociopreneurship untuk memberikan modal usaha sekaligus pelatihan kepada masyarakat miskin. Bagi 9,9 juta Gen-Z maka Program Kartu Prakerja dapat disinkronisasi dengan menghadirkan paket pilihan pelatihan seputar bisnis sosial. Sehingga, kunci utama dalam pembangunan ekonomi kita ke depan adalah melakukan reformasi kulturan dengan cara meningkatkan dan menggaungkan produktivitas nasional.
Meskipun langkah ini tidak populis tetapi mempertahankan bantuan sosial yang menciptakan ketergantungan tanpa kemandirian adalah bentuk kejahatan sosial, karena gagal memberikan edukasi kultural bagi penerima manfaat. Maka dari itu, anggaran perlindungan sosial yang dikucurkan pemerintah dalam program bantuan sosial harus dapat di transformasi menjadi program pemberdayaan sosial yang melibatkan sociopreneur untuk dapat berpartisipasi menyelesaikan permasalahan sosial melalui usaha yang mereka jalankan.
INSENTIF NEGARA LAIN
Belajar dari pengalaman negara lain, regulasi dan insentif dapat menjadi kunci keberhasilan pengembangan sociopreneurship. Di Inggris, misalnya, keberadaan Community Interest Company (CIC) dan insentif pajak seperti Social Investment Tax Relief (SITR) berhasil mendorong pertumbuhan bisnis sosial.
Di Singapura, program VentureForGood memberikan hibah hingga 300.000 dolar Singapura untuk mendukung bisnis sosial tahap awal, sementara Grameen Bank di Bangladesh menunjukkan bagaimana akses mikrofinansial dapat mengubah kehidupan masyarakat amiskin.
Pelajaran dari negara-negara ini menunjukkan pentingnya kebijakan terpadu yang mendukung ekosistem sociopreneurship secara berkelanjutan.
Pada akhirnya, sociopreneurship bukan hanya alternatif, tetapi juga keharusan bagi Indonesia untuk mengatasi tantangan sosial dan ekonomi secara berkelanjutan. Dengan memberdayakan generasi muda, meningkatkan partisipasi perempuan, dan mengubah bantuan sosial menjadi program pemberdayaan, sociopreneurship dapat menjadi solusi holistik untuk memutus lingkaran kemiskinan.
Meskipun kebijakan ini mungkin tidak populis, langkah ini adalah pilihan tepat untuk menciptakan masyarakat yang mandiri, produktif, unggul, dan berdaya siang. Dengan dukungan kebijakan pemerintah, integrasi pelajaran dari negara lain, dan partisipasi aktif masyarakat, sociopreneurship dapat menjadi motor penggerak perubahan yang membawa Indonesia menuju status negara maju yang inklusif dan berkeadilan.