Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Punya Harta Rp55,4 Triliun, Bos Starbucks Howard Schultz Ogah Disebut Miliarder

Berikut profil Howard Schultz, bos Starbucks berharta Rp55,4 triliun yang ogah dipanggil miliarder.
Mantan CEO Starbucks Howard Schultz/Istimewa
Mantan CEO Starbucks Howard Schultz/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Mantan CEO Starbucks Howard Schultz yang berharta US$3,7 miliar atau setara dengan Rp55,4 triliun merasa marah ketika dirinya dipanggil miliarder selama sidang Senat pada Rabu, (29/3/2023). 

Hal ini lantaran, Komite Kesehatan, Pendidikan, Perburuhan, dan Pensiun yang dipimpin Senator Bernie Sanders menyebut Schultz sebagai miliarder beberapa kali selama persidangan. 

Dirinya menilai, istilah miliarder telah memiliki konotasi tertentu yang tidak sekadar menggambarkan orang berharta. Schultz tak mau disebut miliarder akibat sudah banyak sterotip yang beredar, di mana banyak yang menduga orang-orang memakai harta demi menguasai politik. 

"Saya tumbuh di perumahan yang disubsidi federal, orang tua saya tidak pernah memiliki rumah. Saya berasal dari nol. Ya, saya punya miliaran dolar. Tapi, itu semua bukan hasil pemberian orang,” katanya. 

Saat ini, Schultz memang tengah diselidiki lantaran adanya praktik pelanggaran di jaringan raksasa rantai kopi tersebut. 

Sidang dilakukan setelah putusan pengadilan di New York pada 1 Maret 2023, di mana pengadilan New York memutuskan Starbucks telah melanggar undang-undang ketenagakerjaan.

Putusan New York menemukan adanya tindakan Starbucks yang menjanjikan keuntungan bagi pekerja dengan mendisiplinkan dan memecat karyawan yang terlibat dalam pengorganisasian serikat pekerja. 

Namun, hal itu dibantah oleh Schultz. Pasalnya, dia merasa perusahaannya telah memperlakukan pekerjanya dengan sangat baik, di mana para karyawan diberikan upah sebesar US$17,50 atau setara dengan Rp262.045 per jam dan tunjangan kesehatan serta opsi saham yang diberikan kepada mereka, yang kemungkinan tidak bisa didapatkan di perusahaan lain. 

"Itulah mengapa Starbucks tidak membutuhkan serikat pekerja," kata Schultz.

Melansir dari Insider, awal mula dirinya mulai terganggu dengan sebutan ‘miliarder’ kala dia memiliki ambisi menjadi presiden Amerika Serikat (AS).

Banyak tudingan dari masyarakat yang menyerang Schultz, di mana miliarder ini dianggap tidak memahami kehidupan sehari-hari masyarakat umumnya, karena dirinya sudah hidup dengan gelimang harta. 

Dia pun angkat suara dan menyatakan kehidupannya justru merupakan "American Dream" karena sukses karena keringat sendiri. 

"Saya dikritik karena seorang miliarder. Mari kita bahas itu. Saya berusaha sendiri ... Saya berpikir demikianlah mimpi orang Amerika, aspirasi Amerika," ujar Schultz di MSNBC.

Schultz sendiri adalah sosok dibalik transformasi bisnis Starbuck yang awalnya hanya kedai kopi sederhana, menjadi salah satu bisnis yang paling diakui dan dihormati di dunia.

Selama empat dekade, Schultz telah berhasil meraih mimpinya untuk mengembangkan kedai kopi lokal dan berhasil mendunia, di mana sebagai mantan CEO, kini dirinya menjabat sebagai CEO sementara dari tahun 2022 hingga 2023. 

Melansir dari Forbes, kekayaannya menyentuh angka US$3,7 miliar atau setara dengan Rp55,4 triliun 

Berasal dari Keluarga Tidak Mampu

Howard Schultz lahir di Brooklyn, New York pada tahun 1953. Schultz dibesarkan oleh kedua orang tuanya yang bekerja sebagai buruh. Keluarga Howard Schultz hidup serba kekurangan, bahkan ayahnya tidak bisa pergi ke dokter untuk berobat ketika pergelangan kakiknya patah. 

Pada saat itu ayahnya yang bekerja sebagai seorang supir jasa antar harus rela kehilangan pekerjaannya. Hal itu memperparah keadaan ekonomi keluarganya. 

Saat sekolah Schultz unggul dalam mata pelajaran olahraga dan berhasil mendapatkan beasiswa untuk Northern Michigan University pada 1971, di mana dia berhasil mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi. Sebelum menjadi CEO Starbucks, beliau adalah seorang sales representative di suatu perusahaan manufaktur

Melansir dari Starbucks Stories, saat masa remajanya dihimpit keadaan ekonomi yang sangat sangat sulit, hal itulah yang mendasari Howard membangun budaya perusahaan Starbucks dengan memperlakukan karyawannya penuh rasa hormat, dan menerima keuntungan yang sesuai. 

Dia ingat masa kecilnya yang selalu kekurangan dan tidak memiliki asuransi. Dengan demikian, dia tidak ingin ada karyawannya yang mengalami nasib yang sama dengannya dahulu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Arlina Laras
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper